SURABAYA | duta.co – Kritik Ketua Umum PP Muhamadiyah Prof Haedar Nashir terkait kondisi berbangsa dan bernegara, melalui akun media sosial pribadi, mengatakan cinta berlebihan disertai eksklusivitas menutup diri akan rasa ketahanan (jika tidak dikelola secara benar) itu bisa memupuk benih nasionalisme ekstrem.

Kritik ini mendapat tanggapan beragam masyarakat. Memang tidak ditujukan kepada pihak-pihak tertentu, menurut pengamat politik di Jatim, kritik tersebut merupakan warning bagi seluruh anak negeri, termasuk Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) dan Banser yang akhir-akhir ini membuat ‘sensasi’ sehingga menimbulkan kehebohan di Indonesia.

Sosialog asal Unesa Surabaya, Agus Mahfud Fauzi mengatakan bahwa sikap NKRI harga mati sebagai simbol lembaga, itu sah-sah saja. Dan itu tidak bisa diganggu oleh orang-orang yang mau memainkan institusi Banser.

“Menurut saya, sikap oknum Banser dalam kasus pembakaran bendera kemarin, belum termasuk ekstrem nasionalisme, karena Banser pada dasarnya seperti Kokam milik Muhammadiyah yang mempunyai rasa cinta tanah air,” ujar Agus Mahfud saat dikonfirmasi Selasa (30/10/2018).

Ia menilai pernyataan Ketum PP Muhammadiyah itu, adalah lampu kuning bagi semua lembaga yang, akhir-akhir ini komunikasinya kurang bagus. Sehingga pandangan seseorang berbeda.

“Beliau sebagai tokoh agama, sering memberi nasehat yang baik untuk manusia dan lembaga supaya tidak terjebak pada pemahaman yang salah, sehingga mereka menjauhkan dari peringatan tersebut. Bagus,” jelas pria asli Ponorogo ini.

Diakui Agus Mahfud, gejala ekstrem nasionalisme mungkin sudah ada, yaitu yang berlebihan tanpa memperhatikan lembaga lain.

Senada, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdus Salam mengatakan, bahwa Banser itu tumbuh dalam taman sari, taklimnya NU yang inklusif dan rahmatan lilalamin, takdzim dan tawadlu pada ulama.

“Dalam semua lintasan zaman, Banser sudah teruji melindungi kelompok minoritas dan menjalankan tugas sosial kemasyarakatan dalam bingkai rahmatan lilalamin,” tegas Surokim.

Banser memang harus berada dalam bingkai itu. Keputusan NU yang khitthah, tidak masuk dalam wilayah politik praktis, adalah tepat bagi Banser. Tetapi, harus pula diakui bahwa tarikan politik mendekati Pemilu seperti ini terasa semakin kuat.

“Karenanya, patriotisme Banser tidak bisa dinilai dalam satu kasus yang kemudian mendegradasi peran yang, selama ini sudah dilakukan. Banser memang tidak luput dari  provokasi zaman, ini yang harus diperhatikan,” ungkapnya.

Ansor dan Banser Perlu Konsolidasi

Hingga saat ini, kata Surokim, Banser belum pernah, dan tidak akan mengkhianati perjuangan NKRI, dan jika ada provokasi yang membuat Banser overacting, itu juga harus dinilai secara proporsional dan komprehensif. Itu bisa diingatkan dengan jalan yang maslahah, tidak reaktif.

“Banser NU jika melihat dari catatan sejarah, termasuk yang otonom yang tak terkoneksi dengan kelompok internasional apa pun. Patuhnya hanya pada ulama dan kiai NU. Kontektualisasi gerakannya alami dan lokal genuine khas Indonesia,” beber peneliti senior Surabaya Survei Center.

Pernyataan Haedar, lanjut Surokim, sejatinya ingin mengingatkan semua pihak agar berhati-hati dan mewaspadai distorsi-distorsi gerakan yang dapat memantik kebencian yang justru membahayakan ghirah umat Islam itu sendiri.

“Banser saya kira masih jauh dari semua itu, kalau sekarang ada riak-riak ekstrem, itu hanya reaktif atas provokasi kelompok lain. Justru kelompok-kelompok yang hilang respek dan defisit tenggang rasa itu yang patut dicap sebagai gerakan ekstrem nasionalis,” pungkas Surokim.

Bahwa ‘angin’ nasionalisme ekstrem harus diantisipasi, semua setuju. Semua juga sepakat, Ansor dan Banser segera melakukan konsolidasi, agar tidak terprovokasi. Terlebih menjadi alat politik orang lain. Karena NKRI ini sangat membutuhkan peran kebangsaan Banser.

Sekedar diketahui, dalam akun twitter milik pribadinya, Prof Haedar mengatakan Nasionalisme Ekstrem yang dimaksud adalah tumbuhnya ideologi ultranasionalisme seperti di Italia, Jerman dan Jepang pada era Perang Dunia 1 dan 2.

“Cinta yang mengandung cemburu buta sekaligus kehilangan rasionalitas, akan memandang orang lain sebagai ancaman dan musuh negara hanya karena berbeda ekspresi cintanya kepada Indonesia. Indonesia seakan miliknya sendiri,” ujar Haedar melalui Twitter@HaedarNs. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry