“Nasihat pendiri Dalwa kepada putranya itu, benar-benar sebuah warning untuk siapapun, bahwa janganlah sekali-kali kita merasa “unggul”, baik dalam hati, pikiran atau mindset, apalagi ditunjukkan dengan perbuatan melalui gestur tubuh dan seterusnya dibandingkan yang lain.”
Oleh Syarif Thayib*

ADA video viral yang membuat penulis terperanjat. Seorang tokoh berhidung mancung dan bersorban putih berjalan masuk ke acara Shahibul Beit atau tuan rumah. Sang tokoh terlihat cuek (menolak bersalaman) ketika beberapa anak muda mendekat. Tetapi tersenyum ramah ketika “bersalaman” dengan sesama hidung mancung.

Kejadian di atas tentu tidak bisa digeneralisasi, bahwa, semua orang mancung, bersorban, begitu. Selain karena durasi videonya sangat singkat, juga diambil dari sudut pandang yang memang tidak menguntungkan sang tokoh. Atau bisa jadi hal itu bagian dari “framing” yang dibuat oleh si pemilik konten.

Tetapi di sisi lain, seorang kolega penulis menceritakan pengalaman yang hampir sama, yaitu saat ia berjumpa dengan “senior” di sebuah kantor di luar negeri. Kebetulan mereka sama-sama bertugas di sana, walau beda “kantor”.

Sang “senior” tersenyum ketika menjawab salamnya. Namun beberapa detik kemudian, sang “senior” langsung menjauh tanpa ba-bi-bu. Padahal biasanya, kalau ia jumpa dengan “senior” lain di situ atau di sebuah hotel, pasti disambut ramah, diajak ngobrol ba bi bu. Bahkan selalu ditawari makan. Maklum, sang “senior” sedang berposisi sama-sama shohibul beit.

Heemm.. sudahlah, tidak perlu penulis lanjutkan ke”Baper”an kisah itu disini. Mungkin di antara mereka memang beda “level”. Bukan “level” si mancung bersorban dengan si pesek berkopyah. Tetapi sekedar relasi urusan duniawi antar “yunior” dan “senior”.

Selang beberapa saat kemudian, penulis tertegun dengan ceramah singkat Habib Segaff bin Hasan bin Ahmad Baharun, pengasuh pesantren Darullughah Wadda’wah (Dalwa) Bangil – Pasuruan, yang juga Rektor Universitas Islam Internasional Dalwa.

Beliau menceritakan nasihat Ayahnya, Almaghfurlah Alhabib Hasan bin Ahmad Baharun, atau biasa dipanggil Abuya oleh putra-putri dan santri-santrinya, supaya tidak merasa “lebih baik” dibandingkan yang lain.

“Wahai Segaff, jangan kamu merasa lebih baik dari siapapun..!! Kalau kamu merasa lebih baik dari satu orang saja di antara yang lain, Ayo bersumpah “demi Allah”. Adakah satu amalan baik saja, yang kamu merasa yakin bahwa amal baikmu itu diterima Allah SWT..??”

Kedua, lanjut Abuya, “Adakah satu kesalahan (dosa)mu, yang kamu merasa yakin bahwa Allah SWT telah memberimu ampunan terhadap dosamu itu..??”

“Kalau kamu tidak yakin dengan keduanya, maka jangan sekali-kali kamu merasa “lebih baik” dari siapapun.” tegas Abuya kurang lebihnya kepada Habib (muda) Segaff.

Nasihat pendiri Dalwa kepada putranya itu benar-benar sebuah warning untuk siapapun, bahwa janganlah sekali-kali kita merasa “unggul”, baik dalam hati, pikiran/ mindset, apalagi ditunjukkan dengan perbuatan melalui gestur tubuh dan seterusnya dibandingkan yang lain.

Sekali lagi, janganlah kita merasa lebih baik karena ilmunya, karena kegantengannya, karena kekayaannya, karena jabatannya, karena kepiawaiannya, karena kepintarannya, atau karena apapun terhadap siapapun.

Ingatlah, ketika Tuhan sangat marah kepada Iblis yang dengan congkaknya berkata: “Aku lebih baik dari Adam. Aku tercipta dari api, sedangkan dia dari tanah.” (QS. Shad: 76).

Meski mungkin bisa saja oleh sesama makhluk, api dianggap lebih “tinggi” dari tanah, tetapi Allah membenci pada kesombongan Iblis yang merasa dirinya “lebih baik” dari makhluk-Nya yang lain.

Nabi Musa pun nyaris “dipecat” dari status kenabian, andai saja beliau “berhasil” membawa satu makhluk yang dirinya merasa lebih baik dari makhluk itu.

Suatu ketika, Allah SWT memberi “challenge” kepada Nabi Musa yang bergelar Kalimullah (bisa berdialog langsung dengan Allah SWT). Nabi Musa diminta Allah untuk membawa satu makhluk (manusia atau hewan) saja yang Nabi Musa merasa lebih baik dari makhluk itu.

Setelah blusukan di pemukiman padat penduduk dan pasar kumuh. Nabi Musa sempat berpikir dirinya “lebih baik” dari orang gila yang dijumpainya disana. Tetapi begitu tahu ketahanan fisik orang gila itu “mengungguli” Nabi Musa, karena orang gila itu tetap sehat (tidak sakit) meski makannya sembarangan dan jorok, Nabi Musa akhirnya mundur, tidak jadi membawa orang gila itu, karena Nabi Musa merasa fisiknya tidak sekuat dia.

Begitupun ketika menjumpai seekor Anjing korengan dan kakinya pincang. Nabi Musa sempat terlintas dalam benaknya, inilah makhluk yang “level”nya di bawah dia. Tetapi begitu melihat gigi Anjing yang besar-besar, putih mengkilap, dan kuat. Akhirnya, Nabi Musa tetap mengakui bahwa Anjing itu memiliki “kelebihan” lain dibandingkan dirinya.

Walhasil Nabi Musa kembali menghadap Allah dengan tangan hampa. Dan menceritakan semua kejadian dari hasil blusukannya itu. Kemudian Allah SWT berfirman, yang artinya kurang lebih: “Untunglah kamu tidak membawa makhluk yang kamu merasa lebih baik darinya. Andai kamu bawa satu saja dari mereka menghadap-Ku, maka kuberhentikan kamu secara tidak hormat dari status kenabian.”

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan pernah masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun sebutir biji Dzarrah.”

Sementara dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT berfirman: “Yang namanya kesombongan itu pakaian-Ku, dan keagungan itu adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang mengambil salah satu atau keduanya dari-Ku, maka Aku akan memusuhinya, Aku akan menjerumuskannya, dan Aku tidak mempedulikannya.”

Walaupun begitu, Allah SWT tetap senang dan bangga jika kita selalu berusaha meneladani sifat-sifatNya yang 99 dalam Asmaul Husna, kecuali satu. Apa itu?

Almutakabbir: Yang Maha Sombong. Karena hanya Dia-lah yang berhak Sombong, mas bro..(*)

Dr Syarif Thayib adalah Dosen UINSA & STAI Masjid Nasional Al Akbar Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry