Oleh : M. Shoim Anwar
Korupsi di Indonesia masih menjadi masalah utama dalam kehidupan bernegara. Pencegahan dan pemberantasan korupsi, sejak reformasi 1998, belum sesuai yang diharapkan, bahkan semakin buruk. Amanah untuk memberantas dan mencegah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seperti tertuang dalam UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 seakan tidak berpengaruh apa-apa. Penyelenggara negara mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih belepotan dengan korupsi. Kata-kata Lord Anton (1834-1902) “Power tends to corrupt”, kekuasaan cenderung korup, masih tetap relevan.
Jauh sebelum reformasi 1998, korupsi juga menjadi masalah krusial di Indonesia. Sama seperti saat ini. Penegakan hukum tidak berjalan. Media massa yang menyuarakan adanya korupsi dikontrol sangat ketat oleh penguasa. Salah satu jalan untuk menyuarakan adalah melalui karya sastra. Karya sastra menjadi kanalisasi dan informasi terkait korupsi. Melalui wacana sastra, tampak bahwa modus kekuasaan dari dulu hingga hari ini masih sama, yakni meminggirkan pihak-pihak yang berusaha mencegah dan membongkar korupsi.
Nasib malang menimpa Darma. Dia dikeluarkan dari perusahaan minyak negara karena mengungkap terjadinya korupsi di tempatnya bekerja kepada harian Nusa Raya. Para petinggi perusahaan kebakaran jenggot karena kebobrokan institusinya dimuat di koran. Bukan hanya Darma yang bernasib malang. Hidayat, salah seorang manajer, juga dinonaktifkan sementara karena diduga ikut membocorkan informasi tersebut. Hidayat akhirnya dipaksa mengundurkan diri ketika dia terang-terangan menentang korupsi yang dilakukan atasannya di perusahaan yang mirip “negara dalam negara” tersebut. Maka sempurnalah perkomplotan para koruptor.
Peristiwa di atas adalah kisah dalam novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH (1990). Darma dan Hidayat menjadi whistleblower atau pengungkap terjadinya korupsi dari sumber intern. Wacana sastra telah menunjukkan bahwa posisi mereka sangat rawan karena jaringan koruptor selalu mencari jalan secara licik untuk menyingkirkannya. Sebagai peniup peluit, Darma dan Hidayat sangat sadar dengan posisinya.
Hal yang sama dialami oleh Sirad dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer (1954). Peran Sirad dikebiri oleh atasannya, dikucilkan dan tidak diberi peran sesuai dengan keahliannya: “Sirad selalu lemah lembut itu kini merupakan setan garang bagiku, ia merupakan bahaya, ia merupakan kucing kalau aku kelak menjadi tikus. Dia pasti kusingkirkan, kupindah ke bagian lain. Tapi, kalau keburu-buru akan terbongkar seluruh niatku. Harus pelan-pelan”.
Dalam novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari (2002) juga terdapat tokoh Kabul yang diintimidasi karena menentang korupsi yang dilakukan atasannya. Kabul akhirnya memilih mundur dari tempatnya bekerja karena hati nurani. Yang lebih tragis dialami oleh tokoh Urip dalam novel Memburu Koruptor karya Urip Sutomo (2009). Tokoh Urip diteror dan dijebloskan ke tahanan karena dia rajin memberitakan perkara korupsi.
Nasib para whistleblower dalam novel Indonesia mengingatkan kita pada kejadian serupa dalam kehidupan nyata. Masih ingatkah kita pada mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji? Dia sangat berjasa dalam mengungkap jaringan korupsi di lembaga peradilan dan perpajakan dengan aktor Gayus Tambunan. Susno Duadji akhirnya juga dipenjarakan oleh korpsnya dengan tuduhan melakukan korupsi di masa yang telah lampau.
Beberapa waktu lampau Polri berusaha menangkap penyidik Jenderal Djoko dengan mengerahkan puluhan provos menggeruduk gedung KPK. Ini memiliki nuansa yang mirip dengan kasus Susno Duadji karena penyidik Jendral Djoko adalah Kompol Novel Baswedan, anggota polri yang dikaryakan di KPK. Novel mungkin lebih tahu perilaku tikus yang berada di rumahnya sendiri. Alasan bahwa Novel melakukan kejahatan delapan tahun yang lalu menjadi alasan polri untuk menangkapnya. Mengapa kasus yang konon melibatkan Susno Duadji dan Novel Baswedan tidak diselesaikan pada masa lampau? Kita juga masih ingat sang whistleblower Agus Chondro, anggota DPR periode 1999-2004, yang mengungkap jaringan korupsi di DPR terkait pemilihan Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Agus telah dipenjarakan, tapi para aktor besarnya begitu sulit diadili.
KPK juga tak dihenti-henti digembosi dengan berbagai cara oleh jaringan koruptor, termasuk pemerintgah sendiri. Kasus yang ditimpakan ke Antasari Azhar dan Abraham Samad juga tak boleh dilupakan. Puncaknya, para petinggi KPK yang terkenal berintegritas dipinggirkan dan dinyatakan tidak lulus dalam Tes Wawasan Kebangsaan, padahal sebelumnya mereka sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sementara para pegawai KPK yang dinyatakan lulus dijadikan ASN. Sempurna sudah pemberangusan KPK karena mereka dengan mudah dimutasi jika tidak menurut kemauan penguasa. Sejak saat itu keberadaan KPK tidak bergigi dan tidak independen lagi.
Pemberantasan korupsi dan KPK benar-benar mengalami langkah mundur selama pemerintahan Presiden Jokowi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjamur. Menjelang akhir pemerintahan Jokowi selama 10 tahun, wartawan senior Goenawan Mohamad menangis saat di depan para wartawan. Seperti ditulis oleh Kompas.com (4-11-2023), “Dia juga mengatakan bahwa Jokowi telah berdusta terkait sikapnya terhadap pencalonan Gibran setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan syarat usia capres-cawapres yang memuluskan langkah Gibran. ‘Siapa yang bisa kita percaya. KPK tidak bisa dipercaya lagi. MK tidak bisa dipercaya lagi. Presiden yang kita sayangi tidak bisa dipercaya lagi. Lalu siapa? Itu krisis yang serius,’” kata Goenawan lagi.
Institusi peradilan ternyata benteng yang rapuh. Melalui novel 86 karya Okky Madasari (2011) tampak bahwa jaringan koruptor telah merasuk ke hakim, jaksa, pengacara, hingga tukang ketik di pengadilan. Istilah “86” dalam dunia kepolisian yang awalnya bermakna dapat dimaklumi atau dipahami akhirnya berubah menjadi “tahu sama tahu” alias korupsi. Novel ini merupakan kesaksian Okky sewaktu menjadi wartawan. Dengan kondisi seperti itu munculnya sang whistleblower tentu memerlukan kekuatan ekstra.
Karya sastra, mulai dari teori mimetik di masa Plato, teori pembiasan, teori reaksi, hingga teori representasi Stuar Hall telah mengisyaratkan bahwa wacana sastra dapat menjadi cermin kehidupan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, melalui roman sejarah Max Havelaar karya Multatuli (1859), jaringan korupsi yang melibatkan bupati Lebak (Banten) dan jaringan kolonial bukanlah hal yang mudah diatasi. Sebagai pejabat yang berkewajiban memberantas korupsi, Havelaar tak mampu melaksanakannya. Dia akhirnya mengundurkan diri. Karya sastra Indonesia pascakemerdekaan dengan konsisten mengisyaratkan bahwa korupsi merupakan hal pelik sehingga sang whistleblower yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan.
Dalam sebuah institusi, meski jaringan korupsi telah membelitnya, tentu masih ada orang-orang yang berintegritas tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Mereka berusaha membentengi dirinya dari pengaruh “zaman edan” seperti ditulis oleh Ranggawarsita dalam serat Kalatida. Kita diminta agar tetap ingat dan waspada terhadap godaan. Orang-orang berintegritas tinggi sebenarnya telah dipersonifikasikan melalui tokoh Sirad dan Kabul dalam novel Pramoedya dan Ahmad Tohari di atas. Mereka merupakan kunci untuk mengungkap berbagai kasus korupsi dari sumber internal.
Baik dalam novel maupun praktiknya usaha para whistleblower sering kandas karena pengaruh kekuatan politis sangat kuat. Perkomplotan antar unsur birokrasi pemerintah, partai politik, dan pengusaha sangat kuat sehingga posisi whistleblower jadi terkepung. Tahun 1963 Mochtar Lubis telah menuliskannya dalam novel Senja di Jakarta. Novel yang ditulis Mochtar Lubis sewaktu dipenjara tahun 1957 tersebut tidak bisa terbit dalam bahasa Indonesia sehingga terbit di Singapura dalam bahasa Inggris Twilight in Jakarta. Tahun 1964 novel tersebut terbit di Malaysia dalam bahasa Melayu. Baru tahun 1970 novel itu muncul dalam bahasa Indonesia, itu pun diterbitkan sendiri oleh Mochtar Lubis melalui Badan Penerbit Indonesia Raya.
Adanya fungsi ganda yang kontradiktif sebagai penanda korupsi telah ditampakkan pada terjadinya tindak korupsi. Di satu sisi pelaku adalah pihak-pihak yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum atau negara, tetapi di sisi lain wewenang tersebut justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Fungsi ganda yang kontradiktif makin tampak ketika muncul whistleblower yang senantiasa dipersulit posisinya. Jaringan koruptor berusaha keras mencari-cari kesalahan whistleblower sebagai alat balas dendam.
Karena pelaku korupsi umumnya adalah mereka yang memiliki wewenang atau kekuasaan, pihak yang dipersulit posisinya biasanya adalah para bawahan yang mengetahui tindak korupsi tersebut. Hal yang sama dialami oleh Basar sebagai kepala desa dalam Orang-Orang Proyek sehingga dia tidak berani menolak adanya tindak korupsi karena takut diancam dan diteror, dianggap tidak loyal, bahkan dituduh terlibat gerakan komunis. Tokoh Kabul juga mendapat tekanan dari atasannya ketika tidak menyetujui adanya penyimpangan dalam proyek: “Untuk memeriksa atau bahkan menahan Dik Kabul, mereka akan menemukan banyak alasan. Misalnya, menghambat pelaksanaan program pembangunan, tidak loyal kepada pemerintah, menentang Orde Baru, sampai pada indikasi bahaya laten komunis. Dan sekali Dik Kabul berurusan dengan aparat keamanan, nama Dik Kabul akan masuk daftar hitam. Dik Kabul akan tetap diawasi dan mungkin tidak akan dapat bekerja di mana pun.”
Pernyataan “mereka akan menemukan banyak alasan” dalam kutipan di atas menjadi sangat penting dalam rangka melindungi jaringan koruptor. Berbagai penggembosan yang diarahkan ke KPK selama ini adalah contoh yang nyata.
“Nggak kapok-kapok merusak citra, rupanya….” itu adalah sindiran Mr Pecut di harian Jawa Pos ketika polri diberitakan membidik penyidik lain di KPK. Tokoh Urip yang rajin memberitakan kasus korupsi dalam novel Memburu Koruptor dimusuhi banyak pihak dan akhirnya ditahan. Teks novel menyatakan “adanya motif-motif dendam di balik itu”.
Keberadaan whistleblower memiliki potensi besar untuk membongkar jaringan korupsi. Efek penghilangan potensi pada whistleblower terjadi karena ada usaha untuk menutupi, mengganti tujuan dan nilai, serta menghilangkan jejak-jejak pihak yang korup. Efek penghilangan potensi bersifat sangat luas, bahkan sampai pada penghilangan nyawa.
Dengan menghilangkan potensi yang melawan, para aktor berharap dapat melakukan korupsi dengan lebih leluasa. Dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat; Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik(1955-1980), tahun 1978 Bung Tomo menulis bahwa Kapolri Hugeng Imam Santoso dipecat karena berani membongkar rahasia kendaraan-kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Indonesia secara tidak sah oleh orang-orang dekat Presiden Soeharto. Soemitro Djojohadikusumo juga dipecat sebagai menteri perdagangan karena “ia tidak mau lagi tunduk pada perintah-perintah Jalan Cendana” untuk memberi fasilitas khusus.
Dalam situsnya KPK menyatakan akan melindungi para whistleblower. Ini harus dipegang teguh dan dilaksanakan. Fenomena adanya “corruptors fight back” menjadi semakin nyata. Wacana budaya dalam bentuk novel bukan saja berfungsi sebagai representasi, melainkan dapat menjadi pemodelan untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang. Tahun 1954 Pramoedya Ananta Toer telah menuliskannya dalam novel Korupsi. Ternyata, 71 tahun setelah itu, masalah korupsi dan nasib whistleblower semakin nyata. Novel Indonesia masih dapat menjadi guru bagi masyarakatnya. ***
*) M. Shoim Anwar adalah sastrawan, dosen Universitas Adi Buana Surabaya , menyelesaikan doktor dengan disertasi “Representasi Korupsi dalam Novel Indonesia”. Dia lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, JawaTimur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya,dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya (Unesa) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia hingga menyelesaikan program doktor. Tahun 2024 mendapat Penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai Sastrawan Berdedikasi dalam Berkarya Selama Minimal 40 Tahun.