Taufik Maulana, S.Sos, M.AP, Pranata Humas Ahli Muda Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (dok/duta.co)

Oleh: Taufik Maulana, S.Sos, M.AP, Pranata Humas Ahli Muda Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur

Ketika media sosial pertama kali hadir sebagai bagian dari lompatan digital abad ke-21, banyak pihak memandangnya sebagai ruang demokrasi baru yang menjanjikan. Platform-platform seperti Twitter (kini X), Facebook, Instagram, hingga TikTok dianggap sebagai oase kebebasan berekspresi dan akses informasi. Namun, seiring waktu, harapan itu justru berbalik menjadi kekhawatiran. Media sosial yang seharusnya menjadi arena diskusi dan kontrol sosial, kini berubah menjadi lahan subur bagi narasi gelap yang merusak tatanan berpikir publik.

Istilah “narasi gelap” merujuk pada konten-konten manipulatif yang sengaja dirancang untuk membentuk persepsi publik secara tidak jujur. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dari “pabrik-pabrik digital” yang bekerja secara sistematis. Mulai dari framing yang menyesatkan, hoaks yang sengaja diproduksi, hingga serangan karakter terhadap tokoh-tokoh yang dianggap lawan politik atau pembawa kritik.

Pabrik narasi gelap bekerja dengan pola yang nyaris seragam. Mereka mengidentifikasi isu yang sedang ramai, membangun narasi yang membelokkan makna sebenarnya, menyebarkannya secara masif lewat jaringan akun palsu atau buzzer, lalu membanjiri ruang digital dengan framing tunggal yang memojokkan kelompok tertentu. Efeknya sangat kuat, karena ia mengandalkan algoritma, emosi, dan kelengahan publik dalam menyaring informasi.

Di titik inilah kita menyaksikan erosi nalar secara perlahan. Dalam banyak kasus, terutama dalam konteks politik atau kebijakan publik, publik cenderung bereaksi terhadap narasi yang paling viral ketimbang yang paling faktual. Kebenaran menjadi relatif. Validasi tidak lagi bertumpu pada data atau sumber terpercaya, melainkan pada seberapa banyak suatu narasi dibagikan atau diulang oleh akun-akun yang tampaknya kredibel.

Kondisi ini menjadi semakin parah ketika narasi gelap diadopsi atau bahkan diproduksi oleh aktor-aktor yang memiliki kuasa, baik secara politik, sosial, maupun ekonomi. Kita menyaksikan bagaimana kritik terhadap kebijakan publik sering kali dibalas bukan dengan klarifikasi terbuka, melainkan dengan kampanye pembusukan terhadap pengkritik. Dalam banyak kasus di beberapa daerah di Jawa Timur, misalnya, warga yang mempertanyakan transparansi proyek publik justru dijadikan target serangan digital oleh akun-akun anonim yang menyebarkan stigma “anti-pembangunan” atau “provokator”.

Yang lebih mencemaskan, praktik semacam ini kadang diamini dan difasilitasi oleh lembaga resmi atau pejabat publik. Tidak sedikit pejabat yang memiliki “tim medsos” atau “operator digital” yang bertugas menggiring opini, bukan untuk menjelaskan kebijakan secara rasional, melainkan untuk membentuk persepsi dengan teknik propaganda. Maka, komunikasi publik yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat berubah menjadi alat pertahanan dari kritik.

Fenomena ini tidak bisa dibiarkan. Narasi gelap bukan hanya merusak reputasi individu, tapi juga menciptakan ketidakpercayaan sistemik terhadap institusi. Jika publik terus-menerus disuguhi kebohongan yang dibungkus dalam kemasan narasi persuasif, maka skeptisisme akan merajalela. Dan ketika publik kehilangan kepercayaan, maka kredibilitas pemerintahan bahkan kebenaran itu sendiri menjadi taruhan.

Komunikasi publik yang sehat tidak bisa dibangun di atas kebohongan. Ia membutuhkan tiga fondasi utama: transparansi, etika, dan literasi. Pertama, transparansi menuntut pemerintah untuk jujur dan terbuka terhadap informasi publik. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah menjamin hak warga untuk tahu. Maka, setiap informasi tentang kebijakan publik seharusnya bisa diakses dengan mudah dan dipahami secara lugas. Komunikasi yang baik bukan hanya menyampaikan, tetapi juga menjelaskan.

Kedua, etika menjadi rambu moral dalam komunikasi digital. Setiap aktor komunikasi termasuk humas pemerintah, ASN, maupun penyelenggara negara lainnya perlu menjunjung tinggi prinsip-prinsip etis dalam menyampaikan informasi. Tidak menyebarkan hoaks, tidak menyerang lawan secara pribadi, dan tidak menggiring opini dengan cara yang manipulatif. Etika bukan sekadar sopan santun, melainkan fondasi untuk membangun kepercayaan jangka panjang.

Ketiga, literasi digital menjadi benteng terakhir masyarakat. Di tengah banjir informasi, publik perlu dibekali kemampuan untuk memverifikasi fakta, mengenali jejak digital, dan memahami struktur narasi. Literasi tidak hanya soal teknologi, tapi juga soal kemampuan berpikir kritis, skeptis terhadap informasi yang viral, dan peka terhadap framing yang tidak adil.

Pabrik narasi gelap tidak akan hilang begitu saja. Ia akan terus beroperasi selama ada keuntungan politik dan ekonomi yang bisa diperoleh darinya. Tetapi kita bisa melawannya dengan menghidupkan kembali budaya berpikir sehat. Media sosial tidak harus menjadi medan pertempuran, ia bisa menjadi ruang diskusi. Tidak semua orang yang berbeda pendapat adalah musuh. Tidak semua kritik berarti kebencian. Dan tidak semua yang viral adalah benar.

Pemerintah, dalam hal ini, memegang peran sentral. Alih-alih memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menggiring opini, pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam komunikasi publik yang jujur dan etis. Humas pemerintah harus berani mengambil posisi sebagai fasilitator dialog, bukan sekadar corong informasi satu arah. ASN harus menjadi contoh dalam literasi informasi, bukan bagian dari jaringan penyebar kebisingan digital.

Sebagaimana kata pepatah: dalam kegelapan, cahaya sekecil apa pun menjadi penuntun. Maka, di tengah gelombang narasi gelap dan erosi nalar ini, mari kita nyalakan kembali cahaya komunikasi yang sehat: lewat transparansi, lewat data, lewat empati, lewat akuntabilitas dan partisipatif. Karena hanya dengan nalar, demokrasi bisa bertahan. Dan hanya dengan etika, komunikasi bisa dipercaya. (*)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry