
JAKARTA | duta.co – Ada kabar, Kamis (11/12/25) Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menggelar Rapat Pleno di PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
Sama, Pj Ketum PBNU Dr (HC) KH Zulfa Mustofa — yang baru mendapat amanah dari Rapat Pleno versi Rais Aam PBNU, juga akan melakukan konsolidasi internal. “Sabtu (13 Desember 2025 red.) nanti kita lakukan konsolidasi,” kata Pj Ketum PBNU KH Zulfa Mustofa, terlihat duta.co, Rabu (10/12/25).
Zulfa kemudian meminta agar Prof Nuh menjelaskan program ke depan. “Ada empat program yang menjadi fokus PBNU. Pertama, konsolidasi internal. Itu suatu keharusan. Kedua, percepatan capaian kinerja baik yang berkaitan dengan keputusan di daerah maupun yang sudah ditetapkan pada program kerja PBNU atau amanat muktamar Lampung,” tegas Prof Nuh yang juga Rais Syuriyah PBNU.
“Yang ketiga, yang tidak kalah penting adalah menyiapkan Konbes dan Muktamar sebaik-baiknya. Karena ini, sekali lagi jiwanya, ruhnya, kita (NU) memasuki 100 tahun kedua, satu abad berikutnya. (Kempat) menyiapkan NU masa depan terkait dengan Harlah NU ke-100 tahun Masehi pada 31 Januari mendatng,” tegas Prof Nuh.
Jika melihat Pleno PBNU yang berlangsung di Hotel Sultan, tampaknya prahara PBNU masih jauh dari selesai. “Terpilihnya KH Zulfa Mustofa saya kira semua manut or (atau) ngucapkan selamat dan sukses. Ternyata oh ternyata, bakal masuk babak kedua yang lebih administratif dan dramatis. Simak lagi kisah struktural NU sambil seruput Koptagul, wak!,” tulis warganet nahdliyin.
Aru Lego Triono menulis di nu.or.id, bahwa, ada aspirasi kedua pihak yang perlu disederhanakan (bahasanya) untuk khalayak ramai. Yaitu Kelompok Sultan yang dipimpin Kiai Miftach yang telah menetapkan Pj Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa dan Kelompok kedua, Kelompok Kramat yang menilai keputusan Kiai Miftach bertentangan dengan AD/ART. Kelompok ini juga menyebut Kiai Miftach tak pernah memberikan ruang tabayun dan klarifikasi yang cukup kepada Gus Yahya untuk menjelaskan semua hal yang dituduhkan.
Entah, yang jelas, Hotel megah (Sultan), dengan backdrop mewah, wajah-wajah serius, dan mikrofon berjejer rapi. Di atas kertas, ini disebut Rapat Pleno PBNU. Tapi di lapangan, suasananya lebih mirip “drama musikal tanpa penonton.” Dari 216 anggota yang seharusnya hadir, cuma 56 yang nongol. Presentasenya 25,9%. Kalau ini nilai raport, langsung dipanggil orang tua. “Kalau ini konser, EO sudah gulung tikar. Kalau ini tahlilan, malah dituduh tak ada berkat,” demikian warga nahdliyin ngudoroso (berkeluh kesah) menyampaikan pendapat.
Namun, ujarnya, para penyelenggara tetap percaya diri. “Rapat ini sah,” kata Prof Mukri, seolah undangan yang sudah dikirim itu adalah tiket menuju surga legalitas. Bagi mereka, sah tidaknya rapat itu bukan ditentukan oleh manusia yang hadir, tetapi oleh niat batin dan distribusi undangan yang sudah memenuhi syarat.
“Kira-kira logikanya begini, kalau undangan sudah dikasih, tapi yang datang cuma panitia dan cleaning service, ya tetap sah. Yang penting WA terkirim, centang dua, tanpa perlu biru,” terusnya.
Di sisi berlawanan, kubu Gus Yahya sedang mempraktikkan level tertinggi dari tawadhu bercampur luka batin. Mereka menolak rapat itu mentah-mentah. Alasannya jelas, “Pleno kok isinya segelintir orang? Dari 29 Mustasyar, cuma dua yang hadir, dan itu pun mungkin karena salah masuk ruangan. Dari 53 Syuriyah, hanya 19. A’wan 7 dari 40. Tanfidziyah 21 dari 62. Lembaga 5 dari 18. Banom 2 dari 14. Grup WA alumni TK saja lebih aktif dibanding ini,” katanya lagi.
Meski begitu, rapat minimalis ini tetap produktif. Mereka berhasil menetapkan Pj Ketum, KH Zulfa Mustofa, penyair dari tanah Banten. Penetapan itu seakan ‘mengabaikan’ dawuh Mustasyar Tebuireng, dan menegaskan secara filosofis bahwa “nasihat kiai sepuh itu bukan keputusan struktural.” Intinya, kalau kiai bilang “jangan ribut,” itu cuma kayak notifikasi harian aplikasi, boleh dibaca, boleh di-skip. Saran itu bukan larangan, apalagi tamparan.
“Kubu Gus Yahya tak mau ikut arus. Mereka memilih jalur spiritual, mengikuti dawuh para kiai, menolak pemakzulan, dan menganggap rapat itu sebagai pleno rasa-rasa. Tidak sah secara organisasi, tidak valid secara ruhani, dan tidak pantas secara batiniah. Mereka yakin, legitimasi itu bukan pada tangan yang mengangkat palu, tapi pada tangan-tangan sepuh yang mengangkat doa. Sayangnya, AD/ART belum menyediakan kolom “divalidasi oleh langit,” tulisnya.
Publik pun bingung. Yang mana yang benar? Yang hadir tapi minoritas? Atau yang absen tapi mayoritas? Apakah demokrasi boleh dijalankan oleh 25,9% manusia? Apakah rapat yang kursinya lebih banyak dari pesertanya tetap disebut rapat? Kapan episode ini tamat? Sebelum Ramadhan atau setelah Muktamar? Waallahu’alam bish-shawab.
Yang ditakutkan, konflik merembet ke fisik. Misalnya, soal penguasaan Kantor PBNU di Jl Kramat Raya 164. Jangan-jangan ini jadi rebutan. Pun masalah stempel pengesahan, mana bisa akur kalau demikian. Begitu juga keabsahan MenkumHam. “Inilah episode yang masih sangat menegangkan,” jelas seorang warga NU di Medsos nahdliyin. (mky)






































