
“Pernyataan Presiden PKS mengingatkan semua pengurus, termasuk PKS di Jawa Timur, bahwa, politik kesejahteraan harus benar-benar berpihak pada rakyat.”
Oleh Irwan Setiawan*
MUNAS VI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang, baru saja digelar merupakan momentum penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Tidak hanya menjadi ajang konsolidasi internal, Munas VI PKS juga menjadi ruang artikulasi gagasan tentang rencana strategis politik kebangsaan PKS dalam 5 tahun ke depan.
Munas PKS kali ini bukan sekadar ritual lima tahunan, tetapi juga pengokohan untuk menghadirkan politik yang lebih membumi, relevan, dan inklusif.
Ilmuwan politik Giovanni Sartori menegaskan bahwa partai politik memiliki fungsi utama sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat. Dengan kata lain, partai tidak boleh hanya sibuk mengurus dirinya sendiri, melainkan harus mampu menyerap aspirasi masyarakat, lalu memperjuangkannya dalam ruang kebijakan.
Dalam konteks inilah Munas VI PKS menjadi penting dalam rangka mengokohkan PKS ke depan agar tetap mampu memperkuat peranannya sebagai artikulator kepentingan rakyat. Tantangan tersebut kian relevan di Jawa Timur, provinsi dengan jumlah penduduk besar dan keragaman sosial yang tinggi.
Jawa Timur adalah provinsi strategis. Dari sisi politik, ia sering disebut sebagai “barometer nasional”. Dinamika di Jawa Timur kerap menjadi cermin arah politik Indonesia. Di wilayah inilah PKS diuji, bagaimana menghadirkan politik yang bukan hanya berbasis identitas, tetapi juga berbasis solusi.
PKS di Jawa Timur telah melakukan sejumlah terobosan. Kehadiran kader di legislatif, program sosial yang menyentuh masyarakat, serta komunikasi politik yang terbuka menjadi pijakan penting.
Namun, semua capaian itu bukan berarti jalan PKS ke depan akan mudah. Konsolidasi menghadapi pilkada serentak, dinamika politik nasional, serta ekspektasi publik yang semakin tinggi menjadi tantangan nyata.
Filsuf politik Jürgen Habermas menekankan pentingnya demokrasi deliberatif — demokrasi yang bertumpu pada ruang dialog publik. Partai politik, dalam kerangka ini, seharusnya bukan hanya alat perebutan kekuasaan, tetapi juga wahana percakapan bersama, tempat lahirnya solusi yang disusun secara partisipatif.
Bagi PKS Jawa Timur, gagasan ini sangat relevan. Dengan basis masyarakat yang heterogen, pendekatan dialogis menjadi keharusan. Politik yang hadir bukan untuk menggurui, melainkan mendengar. Politik yang tidak hanya menawar program, tetapi juga mengajak warga merumuskan bersama agenda perubahan.
Jawa Timur masih dihadapkan pada sejumlah problem mendasar: ketimpangan antarwilayah, kesejahteraan petani dan nelayan yang stagnan, serta kebutuhan lapangan kerja bagi generasi muda. Semua ini harus ditangani dengan serius.
Di titik inilah PKS harus menegaskan dirinya sebagai partai solusi. Politik yang diperjuangkan tidak boleh jauh dari dapur rakyat, sawah petani, dan perahu nelayan. Hilirisasi pertanian, penguatan UMKM, digitalisasi pasar tradisional, serta keberpihakan pada kelompok rentan harus menjadi agenda nyata.
Hal tersebut sejalan dengan arahan yang disampaikan — dalam pidato kebangsaannya — Presiden PKS Al Muzzammil Yusuf, bahwa
“Dari gelombang protes itu, kita mendengar suara mahasiswa, anak-anak muda Gen-Z, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat sipil lainnya yang menyuarakan keresahannya atas kondisi bangsa hari ini, jangan abaikan aspirasi mereka.”
Pernyataan ini mengingatkan semua pengurus termasuk PKS di Jawa Timur bahwa politik kesejahteraan harus benar-benar berpihak pada rakyat, khususnya mereka yang suaranya sering diabaikan.
Namun, semua agenda politik tersebut tidak akan berumur panjang jika tidak dibarengi dengan kaderisasi yang kuat dan berkelanjutan. Samuel Huntington menegaskan bahwa institusionalisasi partai ditandai oleh adaptasi, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Keempatnya hanya bisa terjaga bila partai terus melahirkan kader-kader baru yang memiliki integritas, kapasitas, serta loyalitas terhadap nilai perjuangan.
Dalam hal ini, Presiden PKS, Al Muzzammil Yusuf sudah menegaskan pentingnya agenda kaderisasi ini yaitu “Fokus program dan anggaran pada Kader, Kaderisasi, dan Pelayanan Publik (K2P2) dengan intensifikasi pembinaan kader internal dan ekstensifikasi rekrutmen kader baru.”
Bagi PKS, pembinaan kaderisasi harus menjadi prioritas. Tidak cukup hanya menggembleng kader di ruang ideologi, tetapi juga membekali mereka dengan keahlian manajerial, sensitivitas sosial, serta kemampuan membaca zaman.
Munas VI PKS, dengan demikian, tidak boleh berhenti pada agenda struktural semata. Ia harus melahirkan narasi besar tentang bagaimana partai hadir untuk rakyat, sekaligus mempertegas pentingnya kaderisasi sebagai jantung partai. Dari Jawa Timur, pesan yang ingin disampaikan adalah: politik harus menjadi jalan perubahan, bukan sekadar kompetisi elektoral.
PKS harus mampu memperluas makna politik menjadi pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan ruang advokasi bagi mereka yang lemah suaranya. Dan semua itu hanya mungkin jika kader-kader partai siap menjadi ujung tombak perubahan.
Pada akhirnya, Munas VI menjadi momentum reflektif sekaligus prospektif. Reflektif, karena PKS harus belajar dari capaian dan hikmah periode-periode sebelumnya. Prospektif, karena akan menyusun rencana strategis menuju politik yang lebih membumi, inklusif, dan berkeadilan.
Dari Jawa Timur perlu mengirimkan pesan optimisme bahwa politik bisa dijalankan dengan wajah yang ramah, dengan hati yang tulus, dan dengan pikiran yang terbuka. Bahwa partai tidak hanya hidup di gedung parlemen, melainkan juga hadir di pasar, di sawah, di laut, dan di jalanan tempat rakyat menaruh harapan.
Munas VI harus menjadi tonggak baru: mengokohkan PKS bukan hanya sebagai partai politik, tetapi juga sebagai gerakan rakyat untuk keadilan dan kesejahteraan, dengan kaderisasi sebagai pondasi utama. Akhirnya, Selamat dan Sukses Munas VI PKS.






































