Persaingan bisnis. Pabrik rokok Indonesia berikut petani tembakaunya sedang dalam bidikan asing. (FT/Kretek.co)

JAKARTA | duta.co – Hukum merokok masih debatable. Bahkan ada yang mencurigai perdebatan ini lantaran permainan asing yang ingin menguasai bisnis rokok filter. Selasa (29/8/2017) Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesi bekerja sama dengan Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Indonesia Institute for Social Development (IISD) memunculkan kembali perdebatan itu dalam Diskusi Publik “Harga Rokok dan Kemiskinan: Pandangan Pemuka Agama“. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas menjadi pembicara dalam diskusi ini.

Menurut Anwar, organisasinya (Muhammadiyah) mengharamkan rokok karena berdampak buruk bagi kesehatan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. “Menghukumi sesuatu yang belum jelas perlu dua pendekatan, yaitu syariah dan ilmiah. Dalam pendekatan syariah, Allah menghalalkan segala sesuatu yang baik dan mengharamkan yang buruk,” kata Anwar dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Selasa (29/8/2017) sebagaimana dikutip Antara.

Lalu, Anwar mengatakan, untuk mengetahui apakah rokok merupakan barang yang baik atau buruk, sementara dalam Alquran tidak ada ayat tentang rokok, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam secara empiris. Dia menyebutkan, hasil penelitian para ilmuwan menyatakan rokok mengandung zat-zat yang berbahaya. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan epidemik rokok telah menyebabkan 4,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit karena rokok.

“Bila pengendalian tembakau tidak dilakukan dengan baik, WHO menyatakan bisa mengancam delapan juta nyawa pertahun,” ujarnya lagi. Islam sendiri, kata Anwar, mengajarkan umatnya agar dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan apalagi kematian.

Salah satu hadis juga melarang mengonsumsi barang yang memabukkan dan melemahkan fisik. “Islam juga melarang perilaku boros dan menghambur-hamburkan uang. Orang yang boros adalah sahabat setan,” ujarnya pula.

Selain Anwar sebagai pembicara kunci, pembicara lain yang hadir adalah Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Bambang H Wijaya, Bendahara Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Ida I Dewa Gede Ngurah Utama, Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Soesatyo, dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkana. “Umat Islam juga diajarkan untuk memikirkan orang lain. Tidak boleh mencelakai diri sendiri maupun orang lain,” kata Anwar, menambahkan.

Tetapi, rilis WHO yang menyatakan epidemik rokok telah menyebabkan 4,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit karena rokok, banyak yang mencurigai sebagai alat perang dagang. Dengan memusnahkan rokok asli Indonesia terutama kretek, maka, negeri ini akan menjadi konsumsi asing. Di samping itu, petani tembakau akan gulung tikar.

Karena itu, Nahdlatul Ulama (NU) tidak mau larut dalam pengharaman. Bahkan, di sejumlah bahtsul masail NU, hokum rokok tetap makruh, bahkan bisa mubah kalau diperlukan. Sampai kiamat, NU tidak akan menghukumi haram.

Dari dulu hingga sekarang hukum asli rokok mengalami ketetapan sesuai konteks ke-Indonesiaan. Salah satu referensi utama sebagai pegangan ulama NU adalah, kitab (buku) berbahasa Arab berjudul “Irsyad al- Ikhwan li Bayani syurbi al-Qohwati wa al-Dukhon (tuntunan bagi segenap saudara penjelasan tentang minum kopi dan kretek)” karya Syekh Ihsan Jampes Kediri. Satu referensi yang ada pada abad ke-20 (1901-1952), dan merupakan potret karya ulama nusantara dalam membahas secara detail hukum merokok.

Kitab Irsyadul Ikhwan ini adalah syarah atau penjelas dari kitab “Tazkirah al- Ikhwan fi Bayani Qahwati wa al-Dukhan (pengingat saudara untuk penjelasan mengenai kopi dan kretek)” karya KH Dahlan bin Abdullah at-Tarmasi al-Fajitani.

Dalam kitab Irsyad al- Ikhwan, Syekh Ihsan Jampes menegaskan bahwa hukum merokok adalah boleh (jawaz) yang memuat sifat makruh (dibenci). Makruhnya rokok disyaratkan jika orang yang merokok bisa meninggalkan aktifitas merokok, namun jika tidak bisa meninggalkannya, hukum makruh menjadi gugur. Hukum makruh lain adalah jika perokok meletakkan kreteknya yang telah disulut di sembarang tempat hingga merusak barang seperti Alquran, atau mengotori masjid.

Menurut K Jadul Maula budayawan dan mantan ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PWNU Yogyakarta menegaskan, bahwa sepanjang sejarah bahsul masail (tradisi sidang memutuskan masalah) PBNU, kretek tidak pernah dibahas sebagai fokus atau topik khusus dalam forum sidang penetapan hukum. Bahasan tentang kretek hanya didapati pada bahsul masail tingkat daerah.

Pada tingkat daerah bahsul masail tentang rokok atau kretek terjadi di Kudus pada tahun 1980. Menurut cerita KH Sya’roni Ahmadi, ulama asal Kudus yang pada saat itu ada dalam forum bahsul masail tersebut, menceritakan bahwa para ulama yang hadir pada saaat itu terdiam sesaat memandang almarhum KH Turaichan Adjhuri as Syarofi saat mau memimpin bahsul masail dengan menyulut sebatang kretek disaat bahasan utamanya adalah masalah hukum merokok.

Kemudian para ulama menghentikan bahasan masalah kretek setelah mendapat jawaban isyarat dari almarhum KH Turaichan Adjhuri as Syarofi. Pada akhirnya almarhum KH Turaichan Adjhuri as Syarofi memutuskan hukumnya makruh. Namun di sela-sela penjelasan, salah satu ulama bernama almarhum KH Hambali mengintrupsi dengan mengatakan jika tidak merokok, beliau tidak dapat mengajar. Kemudian almarhum KH Turaichan Adjhuri as Syarofi menjawab dengan tegas, hukum kretek bagi almarhum KH Hambali ‘wajib’.

Pada 2010, bahasan tentang kretek muncul kembali dalam forum bahsul masail para kiai NU di Surabaya, sebagai bentuk perlawanan terhadap hasil ijtima’ (pertemuan) anggota Majlis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang Sumatra Barat, tahun 2009. Dalam pertemuan MUI tersebut hasilnya adalah mengeluarkan fatwa haram am (haram secara umum) untuk rokok.

Keluarnya fatwa haram am, menurut almarhum KH Aziz Masyhuri yang saat itu datang dalam pertemuan di Padang Panjang, bahwa keputusan yang diumumkan tidak mewakili dinamika perdebatan yang telah berlangsung, dan tidak sesuai kesepakatan awal yang telah diumumkan oleh KH Ma’ruf Amin (selaku ketua sidang) yaitu memutuskan ikhtilaf (terjadi perbedaan), antara boleh dan tidak boleh merokok.

Kebolehan merokok didasarkan pada kitab “Irsyad al- Ikhwan” karya Syekh Ihsan Jampes Kediri. Ketidakbolehan merokok didasarkan pada unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan. Dan dalam Alquran tidak ada satupun teks yang mengarah langsung tentang ketidakbolehan merokok. Hasil bahsul masail di Surabaya yang dihadiri para Kiai NU Jawa Timur dan beberapa dokter, memutuskan hukum merokok mubah (boleh).

Pembahasan perihal hukum merokok dalam NU bukan saja didasarkan semata pada aspek hukum islam dan dalil dari para ulama. Namun sejatinya juga memperhatikan aspek-aspek sosiologis, di mana begitu banyak masyarakat NU yang hidup berdampingan dengan tembakau atau cengkeh. Di antaranya menjadi petani tanaman tersebut.

Pertimbangan bahwa jutaan orang warga NU yang hidup dari tanaman tembakau dan cengkeh, serta begitu lekatnya kretek secara historis dengan masyarakat nusantara, dipadukan dengan berbagai hukum dan dalil islam, telah menghadirkan satu keputusan tentang rokok dan merokok yang bukan dijadikan sebagai produk dan aktifitas haram. (ant,bmc)