SILATURAHIM ‘KAKAK-ADIK”: Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah H Haedar Nashir saat silaturahim keluarga besar NU dan Muhammadiyah di Kantor PBNU, Jakarta, Jumat (23/3). (ist)

JAKARTA | duta.co – Pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengadakan silaturahmi di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Timur. Dalam pertemuan bertema ‘Mewujudkan Islam yang Damai dan Toleran Menuju Indonesia Berkeadilan’ itu, disinggung isu terkini. Salah satunya pidato Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto soal prediksi ahli intelijen AS bahwa Indonesia bubar pada 2030.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyampaikan, NU bersama dengan Muhammadiyah memiliki cita-cita yang sama, yakni menyelamatkan dan menjaga keutuhan NKRI. “Indonesia itu negara yang beriman dan bertakwa. Dalam Alquran disebutkan, bangsa yang beriman dan bertakwa akan tetap ada,” tutur Kiai Said di Gedung PBNU lantai 5 Jakarta, Jumat (23/3).

Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas, dari Sabang hingga Merauke. Tidak hanya wilayah yang luas, Indonesia juga kaya akan budaya. “Keutuhan NKRI bukan hanya keutuhan geografi, bukan hanya keutuhan wilayah, tapi juga keutuhan budaya,” katanya.

Kiai Said menegaskan, bangsa Indonesia harus bangga akan budayanya. Ia mencontohkan beberapa kiai, seperti Gus Dur, Gus Mus, Habib Quraish Shihab, Prof Said Agil Munawwar, dan Mbah Maimoen belajar ke negara Arab tetapi pulangnya membawa ilmu, tidak dengan budayanya.

“Silakan belajar ke Australia kayak Pak Mukti (Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah), tapi pulang harus bawa teknologi dan ilmu saja. Jangan bawa budaya,” kata kiai lulusan Arab Saudi itu.

Hal itu karena budaya Indonesia, menurut Kiai Said, lebih mulia dan lebih bermartabat. Ia mencontohkan di Arab, adik memanggil kakak tidak dengan sebutan penghormatan seperti Mas atau Kang. Pun istri kepada suami. Mereka menyapa dengan namanya . “Belum lagi, kita lagi sujud, mereka biasa saja melangkah di atas kepala kita,” ucap kiai asal Cirebon itu.

Indonesia itu darul muahadah (negara kesepakatan) atau darussalaam (negara perdamaian). Sejak dulu, NU dan Muhammadiyah sepakat akan negara Indonesia. Hal ini diwakili oleh KH Wahid Hasyim dari NU dan H Kahar Muzakkir dari Muhammadiyah di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Senada dengan Kiai Said, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga mengungkapkan, Indonesia bukan sekadar fisik. “Indonesia bukan fisik. Indonesia juga bukan instrumen yang vakum,” katanya.

Mengutip ungkapan Bung Karno, alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan, jiwa Indonesia terletak pada filosofis groundslagh-nya, yakni Pancasila dan agama. “Di situ ada jiwa, ada pikiran, ada cita-cita di mana bangunan Indonesia diletakkan,” ujarnya.

Sebanyak 260 juta bangsa Indonesia memahami cita-cita memahami cita-cita tersebut. Mereka yang akan mewariskan pemikiran tersebut. Inilah yang akan terus NU dan Muhammadiyah tanamkan kepada generasi muda ke depan.

“Indonesia eksis ketika nilai-nilai dan cita-cita kebangsaan yang diletakkan oleh pendiri bangsa itu tetap lengkap menjadi alam pikiran, menjadi jiwa,” kata Haedar.

Jika iman dan takwanya hilang, nilai perjuangannya luruh, dan cita-cita serta filosofis groundslagh-nya tidak ada, menurut Haedar, Indonesia bisa bubar. Tapi ia optimistis, Indonesia akan tetap utuh jika tiga hal di atas tetap dipegang teguh. “Jadi, selama tiga hal itu terpenuhi, insyaallah kita akan tetap eksis,” ujarnya.

 

‘Kakak ke Adik Sulung’

Haedar juga menyebut silaturahminya ke PBNU merupakan kunjungan “kakak ke adik sulung”. Selain itu, silaturahmi ini juga bentuk silaturahmi antara Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan.

Haedar mengatakan, Muhammadiyah dan NU memiliki akar sejarah persahabatan yang panjang. Kiai Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU merupakan sahabat dekat.

“Ini kekayaan luar biasa dari tokoh kita. Sejak awal mereka menyatu dalam ke-Indonesia-an untuk perjuangan kemerdekaan,” ujar Haedar masih di Kantor PBNU.

Menurut Haedar, Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim, mereka membangun Indonesia dengan semangat persatuan. Keduanya satu napas jika berkaitan dengan pembangunan Indonesia.

Karena itu, kata Haedar, silaturahmi kali ini bukan sesuatu yang spesial. Sebab, Muhammadiyah dan NU memiliki pemikiran sama tentang Indonesia dan juga bersahabat sejak lama.

Haedar menjelaskan, tentang pertemuan yang berlangsung. Menurutnya, terjadi diskusi tentang keislaman. Keberislaman masyarakat Indonesia terus mengalami proses.

“Kalau kita baca, perekatan, kebersamaan tapi juga kemauan untuk maju. Ini kekuatan kita. Kebersamaan itu karakter Indonesia. Biarpun bermacam-macam golongan, tapi kita Indonesia,” kata Haedar.

 

Sampaikan Lima Poin

Usai pertemuan, PBNU dan Muhammadiyah sepakat untuk mengeluarkan sikap berkaitan dengan tahun politik pada 2018 dan 2019. Ketum PBNU Kiai Said mengatakan, pertemuan ini memiliki maksud dan tujuan melakukan tiga hal. Pertama, terus menyerukan saling menolong melalui sedekah dan derma.

“Kedua, menegakkan kebaikan. Ketiga, mengupayakan rekonsilisasi atau perdamaian kemanusiaan,” ujarnya melalui rilis resmi.

Menurut dia, parameter dan ukuran sehatnya sebuah bangsa dan negara salah satunya bisa dilihat dari tegak dan kokohnya tali persaudaraan kebangsaan, ekonomi yang tumbuh merata, akses pendidikan yang mudah, terbukanya ruang-ruang dalam menyampaikan pendapat, serta tegaknya hukum sebagai instrumen untuk meraih keadilan.

“Bangsa yang kuat dan sehat juga tercermin dari semakin berkualitas dan berdayanya masyarakat sipil,” kata dia.

Berkaitan dengan hal itu, PBNU dan PP Muhammadiyah menegaskan lima poin penting. Pertama, NU dan Muhammadiyah akan senantiasa mengawal dan mengokohkan konsensus para pendiri bangsa bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Indonesia adalah megara yang memiliki keanekaragaman etnis suku, golongan, agama yang tetap harus dijaga dalam bingkai perstuan dan kesatuan bangsa,” ujar Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.

Kedua, NU dan Muhammadiyah secara proaktif terus melakukan ikhtiar-ikhtiar bagi peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup warga. Terutama mengembangkan pendidikan karakter yang mengedepankan akhlakul karimah di semua tingkatan atau jenjang pendidikan. “Serta melakukan penguatan basis-basis ekonomi keumatan dan juga peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” ucap Haedar.

Ketiga, NU dan Muhammadiyah menyeru kepada pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam upaya mengurangi angka kemiskinan dan mengurangi angka pengaguran serta melakukan upaya-upaya yang terukur agar kesenjangan ekonomi dan sosial segera teratasi dengan baik.

Bersama Bangun Iklim Kondusif

Yang keempat, mengimbau seluruh warga NU dan Muhammadiyah agar bersama-sama membangun iklim yang kondusif dalam kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan di tengah era sosial media yang butuh kehatian-hatian lebih. Mengingat bertebarannya pelbagai macam informasi hoaks, ujaran kebencian dan fitnah yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa.

“NU dan Muhammadiyah berkomitmen untuk menghadirkan narasi yang mencerahkan melalui ikhtiar-ikhtiar dalam bentuk penguatan dan peningkatan literasi digital sehingga terwujud masyarakat informatif yang berkahlakul karimah,” tegasnya.

Kelima, kata Haedar, memasuki tahun 2018 di mana kita akan menghadapi apa yang diistilahkan sebagai tahun politik maka marilah kita bersama-sama menjadikan ajang demokrasi sebagai bagian dari cara kita sebagai bangsa untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hendaknya dalam demokrasi perbedaan jangan sampai menjadi sumber perpecahan.

“Perbedaan harus dijadikan sebagai rahmat yang menopang harmoni kehidupan yang beranekaragam. Karena demokrasi tidak sekadar membutuhkan kerelaan hati menerima adanya perbedaan pendapat dan perbedaan pikiran, namun demokrasi juga membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan cinta kasih antarsesama,” tutupnya. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry