Oleh : Zulfikar Ardiwardana Wanda, S.H., M.H. 

DRAMA penembakan yang berujung maut terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J hingga saat ini masih terus bergulir sejak dinyatakan meninggal pada Jumat, 08 Juli 2022.

Sebanyak 5 orang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Timsus atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan secara berencana oleh Bharada Richard Eliezer (Bharada E), Bripka Ricky Rizal (Bripka RR), Kuwat Ma’ruf (KM), Irjen Ferdi Sambo (Irjen FS) dan Putri Chandrawathi (PC) yang semuanya dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo. Pasal 55 jo. Pasal 56 KUHP.

Beragam opini dan analisa terkait kesahihan kejadian kasus yang masih menjadi misteri ini kerapkali menghiasi layar kaca maupun di media sosial termasuk persoalan motif di balik pembunuhan berencana dari para pelaku. Publik masih mempertanyakan apa motif sebenarnya dari pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku yang kemudian banyak memunculkan berbagai isu dan teori dari berbagai pihak yang sifatnya relatif subjektif.

Irjen FS sendiri telah menyatakan dalam kesaksiannya bahwa motif pembunuhan itu dilakukan karena harkat dan martabat keluarganya telah dilecehkan oleh mendiang Brigadir J terlepas benar atau tidaknya keterangan itu yang masih perlu didalami lagi nanti dalam proses persidangan.

Terkait maraknya opini yang mengatakan bahwa motif pembunuhan kepada Brigadir J harus dibuktikan oleh aparat penegak hukum sedikit banyak telah menimbulkan distorsi mindset terhadap berjalannya penegakan hukum kasus ini. Kolom ini terbatas membedah persoalan hukum harus atau tidaknya motif untuk dimunculkan dan dibuktikan dalam tahapan proses penegakan hukum.

Motif Bukan Unsur Ketiadaan Pertanggungjawaban Pidana

Norma pidana dalam konteks pembunuhan, termasuk pembunuhan berencana sekalipun tidak mencantumkan unsur atau elemen motif sebagaimana yang dikonstruksikan dalam ketentuan Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Sistem pemidanaan umum yang KUHP anut terbatas pada kebenaran deskriptif normatif dari sumber yang terlacak dalam Memorie van Toelicting (Pembahasan Rancangan) ketika Wetbook van Strafrecht/WvS (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Asli) dibuat di negeri Belanda tahun 1881.

Kemudian Kolonial Belanda turut memberlakukan WvS ke koloni Hindia Belanda (sebutan Indonesia selama masa penjajahan) tahun 1918 yang hingga selepas kemerdekaan Indonesia pun ternyata KUHP warisan belanda diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sampai sekarang.

Kebenaran deskriptif normatif dalam konteks hukum pidana dimaknai apabila perbuatan yang dilakukan telah mencocoki rumusan elemen-elemen delik (bentanddeel delict) maka terhadap pelakunya sudah memenuhi syarat untuk dipidana kecuali terdapat alasan-alasan yang menggugurkan atau menghapus pertanggungjawaban pidananya (strafuitsluitingsgronden).

Maksudnya adalah orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dapat dijatuhi pidana karena harus ditelisik terlebih dulu apakah pelaku tersebut setidaknya memiliki 3 (tiga) syarat kemampuan yaitu (1) kemampuan untuk menentukan niat, kehendak maupun rencana atas perbuatan yang dilakukan, (2) kemampuan menyadari bahwa perbuatannya dipandang tidak patut oleh masyarakat serta (3) kemampuan menginsyafi hakikat dari perbuatannya tersebut baik atau buruk sebagaimana yang tertuang dalam yurisprudensi dengan merujuk Pasal 44 KUHP yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).

Alasan pemaaf merupakan alasan yang menyebabkan gugurnya sifat dapat dicela/kesalahan yang dilihat dari kondisi subjektif si pelaku tindak pidana. Selain ketentuan Pasal 44, dasar alasan pemaaf juga tersebar dalam Pasal 48 KUHP (daya paksa), Pasal 49 ayat (2) KUHP (pembelaan terpaksa yang melampaui batas) dan Pasal 51 ayat 2 (menjalankan perintah jabatan yang tidak sah).

Pada prinsipnya tindak pidana atau delik selain mengandung unsur kesalahan (schuld) yang terbagi atas kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa) sebagaimana yang disinggung di atas, juga terkandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) baik yang tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam rumusan norma pasalnya.

Dalam konteks sifat melawan hukum, hapusnya pertanggungjawaban pidana juga disebabkan adanya alasan pembenar (rechtvaardiginggronden) yang menggugurkan sifat atau unsur melawan hukum dari suatu tindak pidana yang apabila diteropong lebih mengedepankan aspek perbuatannya secara objektif dibandingkan dengan aspek kondisi si pelaku.

Dasar alasan pembenar bisa dilacak dalam Pasal 48 KUHP (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) KUHP (pembelaan terpaksa), Pasal 50 KUHP (menjalankan peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 ayat 1 (menjalankan perintah jabatan yang sah). Alasan pemaaf dan pembenar ini pada akhirnya akan bermuara pada diketukkannya putusan lepas dri segala tuntutan hukum (onslag van rechtvervolging) jika terbukti di muka persidangan,

Motif Sebagai Dasar Pemberat dan Peringan Pembunuhan Berencana

Kembali pada elemen motif bahwa setelah dikaji secara teoretis dan normatif, bukan bagian dari alasan pemaaf dan alasan pembenar sebagaimana yang dipaparkan di atas. Persoalan motif lebih merupakan sesuatu hal yang berada di luar rumusan delik pidana yang sifanya metafisika. Motif dapat dipergunakan (jika motifnya sudah diketahui) dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Penyidik dan surat dakwaan oleh Penuntut Umum hanya untuk mengonstruksi rangkaian perbuatan pelaku.

Motif juga diperlukan dan dipergunakan sebagai dasar pemberat dan/atau peringan pidana terhadap terdakwa yang sifatnya sekunder bagi Penuntut Umum dalam penyusunan surat tuntutannya (requisitor) dan hakim dalam menjatuhkan putusannya.

Meskipun demikian bukan berarti motif harus dibuktikan keontentikannya karena sebagaimana yang dikemukakan di awal bahwa delik pembunuhan termasuk pembunuhan berencana tidak mengharuskan adanya motif. Motif memang diperlukan tapi tidak wajib dibuktikan.

Logikanya bagaimana membuktikan secara pasti dan akurat terkait hal yang abstrak dalam pikiran dan hati. Tugas hukum pidana hanya sejauh membuktikan rumusan elemen-elemen yang telah tertuang dalam pasal. Oleh karenanya, meskipun motif para pelaku pembunuhan berencana terhadap mendiang Brigadir J belum jelas diketahui secara pasti, tidak menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak memproses secara hukum dan memidanakan para pelaku tindak pidana tanpa adanya alasan penghapus pidana.

*Penulis adalah Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry