
“Berhentinya kerja otak manusia akibat AI, perlu direspon dengan moratorium. Kecanggihan yang didapat dari pengembangan topografi, telah merugikan otak manusia sendiri.”

Oleh Achmad Murtafi Haris, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
PERKEMBANGAN “kecerdasan buatan” atau artificial intelligence (AI), mengundang decak kagum sekaligus kekhawatiran. Kemampuan AI dalam menjawab berbagai pertanyaan dengan data dan narasi yang bagus membuat kerja akademis sangat dimudahkan dan dimanjakan. Kerja analitik dan karya tulis yang bagus yang untuk mencapainya menempuh waktu bertahun-tahun melalui beberapa jenjang pendidikan, dilibas oleh AI dalam sekejap.
Dalam kajian tafsir manajemen seumpama (kebetulan yang nulis dosen UIN), AI mampu menyebutkan ayat al-Quran dan menjelaskan korelasi langsung dan tidak langsung dengan ilmu manajemen. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh seorang ahli namun memakan waktu dan konsentrasi. Sementara AI melakukannya dalam satu menit. Hal ini menimbulkan pertanyaan, masih relevankah jenjang pendidikan formal yang panjang itu di era AI?
AI hanya membutuhkan pertanyaan pancingan (promp) yang spesifik agar artikel yang diinginkan hadir sesuai harapan. Kemampuan bertanyalah yang tepat yang dibutuhkan dan jenjang pendidikan formal tidak perlu sepanjang selama ini. Penanya cukup berbekal kritisisme dan wawasan yang memadai untuk itu. Dengan asumsi bahwa data umum, analisa dan penulisan dilakukan oleh AI, maka tugas akademisi adalah penyedia data khusus yang belum dijangkau oleh AI. Tugas akademisi pun berkurang drastis hingga dua pertiga dan tuntutan kompetensi akademik pun menurun seiring dengan itu.
Kenyataan yang mengurangi banyak beban kerja otak tentu tidak menguntungkan tumbuh kembang otak manusia yang berkapasitas satu juta gegabyte. Dengan pemanfaatan yang rata-rata di bawah 20℅, bagaimana pula dengan adanya AI, tentu otak semakin kosong.
AI sendiri mengatakan agar jangan muncul ketergantungan pada AI. Gunakan ia seperlunya. Bukan karena jawaban AI salah, tapi sayang otakmu yang nganggur dibuatnya. Kegiatan asah otak menjadi rendah karenanya. Untuk itu gunakan AI sebagai pembanding karya ilmiahmu. Atau gunakan ia seminimal mungkin seperti untuk memperbaiki tulisan yang secara bahasa tidak baik. Atau jika Anda bukan penutur bahasa Inggris, gunakan AI untuk mengoreksi dan memperbaiki artikel berbahasa Inggris. Untuk yang satu ini, saya jamin bakal ciamik. Namun lagi-lagi ini membuat tuntutan mengasah keterampilan menulis menjadi menurun. Jika semula ada mata kuliah academic writing, kini ia pelan-pelan seperti tenggelam. Begitu pula dengan nasib copy editor berbayar.
Narasi ilmiah yang mengandung sisi subyektif penulis menjadi kabur lantaran AI. Padahal yang diinginkan dari sebuah narasi adalah kekhasan menulis dari sang penulis. Narasi mengandung perspektif yang terbangun dari keterbatasan penulis yang itu diapresiasi karena orisinil. Gaya bahasa yang kaku dan dangkal adalah narasi penulis yang apa adanya yang lugu dan jujur yang bagi pembaca mempunyai nilai dan kesan tersendiri.
Setiap orang pasti berbeda dalam menulis sebuah fakta. Seorang dengan wawasan dan pengalaman yang luas berbeda dalam menulis fitur dibandingkan dengan orang yang tidak dengan kelebihan itu. Aspek emosi tidak tampak dalam tulisan dengan AI. Dan untuk apa pula seorang dosen harus membaca serius makalah mahasiswa kalau itu bukan narasinya. Bukannya dikadalin tuh membaca tulisan hasil AI.
Berhentinya kerja otak manusia akibat AI, perlu direspon dengan moratorium. Kecanggihan yang didapat dari pengembangan topografi, telah merugikan otak manusia sendiri. Untuk itu kemajuan ini perlu di-delay. Berkaca dari masa lalu, setidaknya terdapat dua temuan besar manusia yang sengaja dihentikan karena bahaya yang diakibatkan. Yaitu senjata pemusnah massal dan revolusi biologi molekuler. Yang pertama terkait dengan pembuatan rudal jarak jauh atau yang berdaya rusak tinggi seperti bom atom dan nuklir. Jika yang pertama telah membunuh seratus ribu nyawa manusia di Nagasaki dan Heroisma (1945) dalam waktu sekejap, maka yang kedua bisa membasmi 2 juta manusia dalam sekali ledak. Kecanggihan manusia dalam persenjataan telah mendorong Albert Einstein sang ilmuwan fisika untuk menghentikan perkembangannya. Betapa kecerdasan manusia dalam teknologi berujung memangsa dirinya sendiri. Ini melebihi anak durhaka terhadap orang tua.
Selain itu, revolusi biologi telah membawa ilmuwan pada temuan kloning yang berhasil melahirkan makhluk hidup tanpa melalui perkawinan sel sperma dan indung telur tapi dari sel itu sendiri yang dikembangkan hingga menjadi janin dan bayi yang merupakan duplikat atau foto kopi dari pemilik sel. Ini terjadi tanpa keberadaan orang tua laki dan perempuan tapi murni dari sel satu makhluk hidup yang dikembangkan di laboratorium. Meski prosentase kecil, beberapa uji coba berhasil dilakukan atas binatang ternak dengan rasio keberhasilan tertinggi 20 – 25% pada sapi dan domba. Sementara tikus dan lainnya di bawah 3%. Perkembangan selanjutnya mengarah ke kloning manusia yang sontak menimbulkan penolakan dari para ilmuwan dunia dengan alasan etika. Perusahaan Clonaid mengklaim berhasil melahirkan bayi kloning manusia pertama yang diberi nama Eve. Namun kabar ini tidak dipercaya oleh mayoritas karena lemahnya bukti kongkrit yang tidak kunjung ditunjukkan sosok bayi hasil kloning itu.
Walhasil kloning manusia hingga kini tidak terjadi dan apa yang dikabarkan Clonaid lenyap ditelan bumi. Sebagian mengatakan bahwa tingkat keberhasilan kloning manusia lebih tinggi daripada binatang. Kendati demikian ia tertolak secara aklamasi. Para ilmuwan tidak ingin lahir banyak bayi manusia tanpa orang tua dengan DNA, karakter dan keahlian yang sama dengan pemilik sel. Lembaga rumah tangga akan langka dan berganti dengan pusat pembibitan manusia seperti pembibitan sapi perah, udang windu dan padi unggulan.
Meski dampak kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) tidak sefatal dua contoh yang sepakat dibatasi dengan ketat pada senjata pemusnah massal dan ditolak sepenuhnya untuk kloning manusia, tapi perkembangan AI patut mengundang penyikapan bersama. Sebagai media efisiensi dalam membuat artikel, PowerPoint, dan konten video, dan kerja analitik, AI sangat membantu dunia profesional. Namun dalam dunia akademik, ia menghentikan atau mengurangi kerja otak dan asah skil secara signifikan. Tanggung jawab akademis menjadi kabur karena normalisasi kerja ilmiah dibuatkan AI. Untuk itu kemajuan ini perlu moratorium agar manusia kembali pada kecerdasan otak sendiri. Sebelumnya Moratorium telah terjadi pada teknologi militer karena memangsa nyawa manusia. Juga terjadi pada kloning karena memangsa keturunan manusia. Untuk AI perlu moratorium serupa karena memangsa otak manusia. (*)
Ket.foto: pinterest.com





































