“Dengan demikian, tayamum sosial mengajarkan bahwa yang penting bukan menang, melainkan bagaimana tetap menjaga hati dan hubungan dalam kondisi kalah.”
Oleh W Eka Wahyudi*

INDONESIA pada akhir Agustus lalu dihantam protes besar. Ribuan orang dari berbagai titik daerah di Indonesia melancarkan aksi protes atas ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah. Ketimpangan sosial ekonomi menjadi pemicu.

Namun, bahan bakar emosi masyarakat sayangnya banyak diprediksi ditunggangi oleh oligarki lama yang kalah dalam percaturan politik nasional. Fenomena kalah dalam pengaruh sosial, pilihan politik, jabatan, atau bentuk kompetisi lain sering kali menghadirkan dinamika psikologis yang cukup kompleks.

Hal ini lumrah belaka, karena manusia cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok, ideologi, atau posisi tertentu sebagai bagian dari self-concept, yakni bagaimana ia memandang nilai dan harga dirinya.

Ketika seseorang atau kelompok merasa “kalah”, baik dalam hal simbolik maupun konkret, kondisi ini dapat memunculkan social comparison negatif yang melahirkan rasa iri, kecewa, bahkan permusuhan.

Alih-alih melihat pihak lain sebagai sahabat atau kerabat yang sejatinya dekat, ia justru dipersepsi sebagai “lawan” yang mengancam identitas, kepentingan dan harga dirinya.

Memaknai Kekalahan

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini tampak jelas pada momen pemilu, pemilihan jabatan atau pemilihan organisasi. Dua sahabat yang sebelumnya akrab bisa tiba-tiba renggang hanya karena berbeda pilihan politik.

Persaingan jabatan di tempat kerja pun sering menimbulkan gesekan; orang yang gagal mendapatkan posisi bisa berubah sikap terhadap kolega yang terpilih. Fenomena ini menunjukkan bahwa kalah tidak hanya soal hasil akhir, tetapi juga menyangkut bagaimana seseorang memaknai kekalahan itu dalam hubungannya dengan orang lain.

Pada titik tertentu, perasaan kalah dapat bertransformasi menjadi kebencian karena mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Individu yang tidak siap menerima kekalahan akan lebih mudah menyalahkan pihak lain, menganggap lawan sebagai sumber penderitaan, atau bahkan memutus relasi demi menjaga citra diri. Inilah yang membuat orang yang mestinya dekat berubah menjadi asing, bahkan musuh.

Oleh karena itu, kemampuan mengelola emosi, menerima realitas, serta membangun kesadaran bahwa hubungan kemanusiaan lebih bernilai daripada sekadar kemenangan sesaat menjadi kunci agar kalah tidak berarti kehilangan segalanya.

Ketika realitas tidak sesuai dengan harapan -misalnya kekalahan dalam perebutan posisi dan pengaruh-otak manusia merasa “tidak nyaman”.

Untuk mengurangi ketidaknyamanan itu, sebagian orang memilih jalan yang paling mudah: mengubah cara pandang terhadap orang lain. Mereka yang tadinya sahabat dianggap lawan, dan yang tadinya dekat diposisikan sebagai ancaman. Mekanisme ini menjelaskan mengapa persahabatan bisa retak hanya karena kalah.

Namun, bila kita mampu melihat kekalahan secara lebih dewasa, kita akan menemukan sisi positifnya. Kekalahan bisa melatih kerendahan hati, kesabaran, dan kemampuan menerima bahwa dunia tidak selalu berpihak pada kita. Bahkan dalam tradisi spiritual, kalah sering dipandang sebagai jalan untuk membersihkan hati dari kesombongan dan menumbuhkan empati pada sesama. Dengan perspektif ini, kalah bukan akhir, melainkan sebuah ruang belajar.

Relasi manusia lebih berharga daripada sekadar kemenangan sesaat. Kekuasaan, jabatan, maupun pengaruh sosial bersifat sementara, sedangkan persaudaraan dan persahabatan dapat menjadi kekuatan jangka panjang yang menopang kehidupan. Karena itu, barangkali yang perlu kita latih bukan hanya strategi untuk menang, tetapi juga kearifan untuk menerima kekalahan.

Tayamum Sosial

Dalam tradisi Islam, tayamum dilakukan ketika air sebagai sumber bersuci utama tidak tersedia. Tayamum bukan sekadar pengganti, tetapi bentuk kearifan untuk tetap menjaga kesucian meski sarana ideal tidak ada. Jika kita tarik ke dalam kehidupan sosial, maka “tayamum sosial” bisa dimaknai sebagai kemampuan menjaga kebersihan hati, keutuhan persaudaraan dan solidaritas nasional, dan kesadaran kemanusiaan meskipun situasi tidak berjalan sesuai keinginan kita, misalnya ketika mengalami kekalahan dalam jabatan, politik, atau pengaruh sosial.

Orang yang kalah cenderung larut dalam frustrasi, iri, bahkan kebencian. Padahal, kekalahan bukan alasan untuk menodai hubungan kemanusiaan. Di sinilah tayamum sosial berfungsi: ketika air kejernihan hati terasa “hilang”, seseorang tetap mencari cara menjaga kesucian dirinya dengan kesabaran, kelapangan dada, dan kemampuan memaknai kekalahan secara bijaksana. Dengan “tayamum sosial”, ia memilih tidak membalas kebencian dengan kebencian, tidak menjauh dari sahabat karena kalah bersaing, dan tidak menjadikan lawan sebagai musuh permanen.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh yang relevan. Dua kolega yang bersaing merebut jabatan bisa tetap bersalaman dengan tulus meski salah satunya kalah; seorang tokoh masyarakat yang tidak terpilih dalam kontestasi politik bisa tetap mendukung pemimpin baru demi kebaikan bersama. Inilah konsep bersuci yang harus ditunjukkan dalam konteks kepemimpinan nasional kita hari ini. Menjaga kesucian persatuan dan kesatuan meski “air kemenangan” tidak berhasil miliki.

Dengan demikian, tayamum sosial mengajarkan bahwa yang penting bukan selalu menang, melainkan bagaimana tetap menjaga hati dan hubungan dalam kondisi kalah. Sebagaimana tayamum dalam ibadah membuat kita tetap layak menghadap Tuhan, membuat kita tetap layak menghadap sesama manusia dengan martabat dan keluhuran.(*)

*W. Eka Wahyudi adalah Sekretaris LPTNU Jatim, Wakil Rektor Unisla.

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry