JAKARTA | duta.co – Kecurigaan terhadap kecurangan Pemilu masih dirasakan masyarakat terkait adanya temuan e-KTP milik warga China yang juga masuk DPT. Meski disebut salah input data NIK, tapi patut dicurigai ini kekeliruan yang fatal dan bisa jadi modus untuk tujuan tertentu.
“Jadi, bukan kekeliruan, masih ada kemungkinan lain, yakni disengaja keliru. Tujuannya apa, harus diselidiki oleh polisi,” kata Abdul Wahib, warga Cianjur, Kamis pagi tadi.
Penerbitan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-el) bagi warga asing rupanya tidak diketahui banyak orang. Yang unik, jumlahnya juga lumayan banyak. Bahkan Chief Executive Officer (CEO) Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi, Muhammad Taufik mengaku baru tahu adanya aturan KTP-el khusus tersebut.
“Kami dikejutkan dengam adanya e-KTP untuk warga negara asing,” katanya dalam konferensi pers di kantor Seknas Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2).
Politisi Partai Gerindra ini juga tidak tahu mekanisme UU yang mengatur WNA boleh memiliki KTP-el seperti halnya WNI.
Namun yang pasti, lanjut Arief, karena ketidaktahuan petugas di tempat pemungutan suara (TPS) bukan tidak mungkin KTP-el milik warga asing bisa disalahgunakan untuk mencoblos.
Maka dari itu, ia mendorong instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mempublikasikan secara terperinci warga asing yang memegang KTP-el. Bahkan kalau bisa ditempel di TPS.
“Kalau nggak dibuka berarti nggak ada datanya. Kalau nggak dibuka, bohong lagi. Kita minta kepada KPU orang negara asing yang punya KTP itu didata oleh KPPS di daerah masing-masing,” pungkasnya.
Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI), Yudi Syamhudi Suyuti, menceritakan pengalamannya beberapa kali menjadi tim pemenangan Pemilu di Pilkada, justru pemilih ganda menjadi kekalahan calon hebat yang didukung massa pemilih kuat dan solid.
“Teknik ini ternyata beragam modelnya tapi gaya dan modusnya baku. Sekarang di Pilpres, gunakan NIK KTP ganda tapi namanya beda. Modus begini, matematikanya sama. Tapi gayanya saja yang beda,” kata Yudi dalam keterangannya, Kamis (28/2) pagi.
Tapi ketika dilaporkan ke KPU atau KPUD selalu berkilah meski pemilihnya ganda tetap dihitung satu. “Ternyata itu cuma bujuk rayunya saja. Tapi saat sekarang ini sepertinya ada skenario yang akan membalikkan fakta dengan penanaman cara pandang, ada upaya-upaya untuk melemahkan kredibilitas KPU dari pihak-pihak tertentu,” katanya.
Ia curiga skenario ini dipasang kubu rezim dan para spin doctor untuk membuat apologetik atau alasan pembenaran.
“Lihat saja banyak profesor bicara seperti itu, juga petinggi partai dan debat-debat di level warung kopi hingga ruang sosial media,” jelasnya.
Menurutnya, ini indikasi sebuah kekuasaan di suatu negeri yang tidak mau turun atau tidak mau dibantah, meski kesalahannya sudah telanjang.
“Sebuah gerbong rezim seperti ini, di zaman Romawi disebut tiran,” ulasnya.
Yudi pun mendorong koalisi parpol pengusung dan pendukung pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno harus berembug supaya permasalahan ini bisa diatasi dengan cara cerdas.
“Karena situasi ini berpotensi menyulut kerusuhan massal dan besar-besaran,” tegas Yudi mewanti-wanti. (rmol/wis)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry