Syamsul Ghufron – Dosen PPG Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)

Sekalipun penggunaan bahasa Indonesia sudah diikrarkan pada 28 Oktober 1928, masih perlu upaya keras dan terpadu untuk meningkatkan bentuk dan penggunaan bahasa Indonesia. Sudah cukup lama pula terdengar ungkapan ”berbahasa Indonesia yang baik dan benar”, namun bukan berarti ungkapan itu sudah terwujud dalam penggunaan bahasa Indonesia. Karena itu, perlu upaya-upaya meningkatkannya.

Kaidah Gramatikal Baru Hasil Modernisasi

Bahasa bersifat dinamis. Kedinamisan bahasa tidak terlepas dari adanya dinamisitas pemakainya. Bahasa Indonesia tergolong dalam bahasa yang sedang berkembang. Dalam perkembangannya itu, bahasa Indonesia menyerap kata-kata dari bahasa asing dan bahasa daerah. Pada kaidah gramatikal (tata bahasa) pun tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan. Kaidah gramatikal memang harus dijadikan tolok ukur benar tidaknya bahasa seseorang. Karena itu, pada kaidah gramatikal ini sangat penting adanya pedoman baku bagi para penggunaannya dalam berbahasa.

Adapun kaidah gramatikal baru yang tidak terdapat dalam kaidah bahasa Indonesia sebelumnya di antaranya: nama prefiks meng-, alomorf menge-, fungsi pelengkap, dan klasifikasi verba transitif dan intransitif. Sebenamya pengambilan nama prefiks meng- atau me- hanyalah masalah pemilihan satu di antara enam buah alomorf yang dimiliki morfem prefiks tersebut (empat yang lain adalah mem-, men-, meny-, dan menge-). Konsep yang mendasari penamaan awalan meng- ini adalah bahwa bentuk meng- itu adalah bentuk yang paling banyak muncul dalam kaitan fonem awal yang menjadi kata dasamya.

Terbitnya buku TBBBI pada tahun 1988 mengokohkan status alomorf menge- dalam bahasa Indonesia karena secara jelas dinyatakan pada bagian morfofonemik prefiks meng- yang berbunyi, “Jika meng- ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuknya berubah menjadi menge-. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak diterbitkannya buku TBBBI itu secara resmi alomorf prefiks meN- yang semula jumlahnya lima bertambah satu yaitu alomorf menge- menjadi enam. Keenam alomorf meN- yang dimaksud adalah  me-, men-, mem-, meng-, meny-, dan menge-.

Buku TBBBI secara tegas membedakan fungsi objek dari fungsi pelengkap. Dengan kata lain, sejak terbitnya buku tersebut, fungsi pelengkap menduduki tempat yang jelas, yaitu sesudah predikat, sama dengan objek, tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya.

Sebelum adanya buku TBBBI, verba aktif dibedakan atas verba aktif transitif dan verba aktif intransitif. Pada buku TBBBI Edisi I (1988) verba aktif dibedakan atas verba transitif (meliputi verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba transitif-taktransitif), verba semitransitif dan taktransitif, dan verba berpreposisi. Pada buku TBBBI Edisi III (1998) verba aktif dibedakan atas verba transitif (meliputi verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba semitransitif), verba taktransitif (berpelengkap dan tak berpelengkap), dan verba berpreposisi.

Modernisasi Tanpa Implementasi

Sayang, hasil modernisasi bahasa Indonesia tersebut belum tersosialisasi secara maksimal apalagi terimplementasi. Hal itu terbukti bahwa sampai saat ini masyarakat bahkan kaum terpelajar pun masih sangat sedikit yang mengenal kaidah gramatikal tersebut. Karena itu, perlu upaya-upaya implementasinya di antaranya.

Sosialisasi Bahasa Indonesia Standar

Usaha pembinaan bahasa Indonesia harus dimulai dengan kegiatan sosialisasi hasil-hasil pengembangan. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai media. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media massa baik cetak maupun elektronika. Sosialisasi dapat pula dilakukan melalui pendidikan-pendidikan formal dari SD sampai PT. Dapat pula sosialisasi itu dilakukan melalui penataran para guru dan dosen yang menjadi subjek utama dalam penerapan kaidah gramatika di lembaga pendidikan formal.

Kegiatan ini sangat urgen karena berdasarkan pengamatan dan penelitian sampai saat ini banyak di antara para pemakai bahasa Indonesia tidak mengenal kaidah-kaidah yang terdapat dalam TBBBI yang sudah ada sejak 1988 itu. Mereka bukan hanya para siswa atau mahasiswa, melainkan juga para guru dan dosen.

Implementasi Kaidah pada Situasi Formal dan Karya Tulis Ilmiah

Kaidah gramatikal yang sudah mantap haruslah diimplementasikan pada situasi formal dan karya tulis ilmiah. Salah satu situasi formal yang penting dalam hal ini adalah lembaga pendidikan formal. Penerapan kaidah dapat dimulai dari sana. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan kaidah gramatika yang sudah mantap ke dalam materi pembelajaran atau perkuliahan di tingkat SD sampai PT. Tentu saja ini dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan  dan perkembangan siswa/mahasiswa.

Kegiatan tersebut merupakan jalan pembuka ke arah implementasi kaidah yang sebenarnya. Dengan jalan itu, kaidah-kaidah gramatikal dapat diimplementasikan tidak hanya pada situasi-situasi formal, tetapi terutama juga pada karya-karya tulis ilmiah yang disusun mereka. Jika ada pemakaian yang menyimpang dari kaidah pada bahasa mereka, para guru dan dosen harus segera mengingatkan dan membenarkan. Kegiatan seperti ini harus dilakukan secara terus-menerus sehingga kaidah yang mantap itu benar-benar diimplementasikan dalam pemakaian bahasa Indonesia.  *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry