Oleh : Limas Dodi
MENGAPA moderasi beragama begitu penting di Indonesia? Umumnya, khalayak menjawab cocok dengan kultur keberagamaan nusantara, mencegah radikalisme dan fanatisme. Namun pengamatan penulis, konsep moderasi beragama itu “kata lain” dari “ketuhanan”atau “bentuk lain” dari Indonesia itu sendiri. Berbicara moderasi beragama, berarti sedang membirakan negeri ini, karena tanpa dicetuskan nama dari “moderasi beragama”, pola kehidupan sosial kita memang sejak Indonesia lahir dari perut bumi pertiwi, sudah berjenis kelamin “agama (bukan hanya Islam) yang moderat”
Kenapa disebut “kata lain” dari “ketuhanan”? sangat erat jawabannya dari pertanyaan, kenapa tujuh kata pada sila pertama diubah, dari konsep Islam formalitas menjadi Islam Substansial.
Ketuhanan, adalah lambang pengakuan bahwa negara ini bukan hanya pemeluk Islam, bukan hanya penganut Kristen atau Hindu, tapi negeri ini bersifat plural. Kata “Tuhan” menjadi representasi dari kekuatan super power yang disembah dan diyakini sebagai dzat yang maha kuasa oleh masing-masing agama.
Ketuhanan, menggambarkan tentang kebebasan meyakini dzat yang agung, tanpa paksaan. Ketuhanan, mencerminkan seluruh otoritas teologis yang dilindungi dan diwujudkan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
“Nur” Keragaman
Sama halnya dengan konsep moderasi beragama, seluruh agama yang memang “telah ada” dan menjadi “detak jantung” sebelum negara ini terbentuk, adalah eksistensi dari Indonesia itu sendiri; satu tubuh dan tidak dapat dipisahkan. Inilah yang disebut “bentuk lain” dari Indonesia; sebuah bentuk kehidupan sosial, keberagamaan dan bertuhan yang taat.
Adam Collemen, seorang tokoh pendeta German yang hidup abad ke-18, menyebut setiap negara beragama memiliki hidden core values, nilai yang membentuk negara dan menyatu, diyakini, disadari oleh bangsanya.
Bahkan sebenarnya, negara seperti China, Amerika Serikat dan Selandia Baru, berjaya sebagai top ten negara terbaik karena mereka memiliki core values yang dibentuk melalui kekuatan supranatural, keyakinan kepada kebenaran yang oleh China disebut ying dan yang. “Ketuhanan” yang dikonsep dengan kebebasan meyakini, kemudian diakui oleh negara, menjadi candu di setiap negara maju.
Lalu siapa yang membentuk pola sosial kita? Tentu qodrat ilahi yang tidak bisa dilawan atau menutup mata. Keragmaan, bagi bangsa Indonesia adalah kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, bukan untuk ditawar, melainkan diterima (taken for granted). Keragaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama yang banyak dikagumi oleh negara lain di dunia, sebagai negara yang mampu bertahan bahkan dijadikan rule model perdamaian dunia.
Itu artinya, keragaman yang kita miliki sama sekali bukan bencana, bukan masalah, namun sebaliknya, banyak negara seperti Mesir, Yaman, Pakistan bahkan Libya yang mencumburui Indonesia. Mereka tidak mampu mengolah nilai agama menjadi toleran, namun kerap membumbui agama dengan sikap fanatis.
Seikat ungkapan Noesjirwan (w. 1981), “there is no way that a bright light can be dimmed by man, unless the darkness comes on its own”. Seperti denting hikmah yang disentil oleh Imam al-Ghazali tentang kekuatan nur ala nur (cahaya di atas cahaya), menggambarkan tentang cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan, menyinari seluruh dunia, sebuah keniscayaan, tidak dapat diredupkan oleh manusia sehebat sekalipun, namun hanya akan datang gelap, bila Tuhan menginginkan sebagai alamiah.
Cahaya yang mendatangkan ketentraman, kesejukan dan hikmah. Begitupu pula keragaman, adalah nur (light) yang keberadaannya mendatangkan ketenangan bagi kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Keragaman adalah cahaya, kehendak Tuhan, yang tidak dapat dilawan.
Bercermin pada Telaga Sendiri
Ini juga menjawab kenapa kita harus mengusung moderasi beragama?
Tentu selain agama dan budaya yang beragam, setiap agama atau aliran kepercayaan seringkali terdapat perbedaan penafsiran atau suatu hal yang dianut, terutama terkait dengan dengan ritual dan praktik beragama. Biasanya, setiap penafsiran tersebut didukung dan memiliki pengikut yang meyakini kebenaran atas tafsir. Lalu, apakah kita harus berontak dan memaksa yang berbeda penafsiran mengikuti kita? Tentu tidak, jika dipaksakan akan terjadi gelombang di tubuh ajaran agama itu sendiri. Tapi selama ini tidak, karena satu sama lain memahami dan memaklumi. Kalau dalam agama kita sendiri dimaklumi, kenapa berbeda dengan agama lain dianggap cela? Kita bisa berkaca pada telaga (agama, read.) kita sendiri.
Di era demokrasi yang terbuka, perbedaan pandangan di antara warga negara biasa terjadi. Namun negara dan institusi lainnya, mengelola sedemikian rupa sampai semua aspirasi dapat disalurkan. Begitu pula dalam beragama, konstitusi kita tidak hanya menjamin kemerdekaan umat beragama, tapi aspirasi umat beragama dibakukan dalam aturan bahkan ideologi bernegara. Semua aspirasi dibuka, semua warga negara walaupun beda agama disamakan dalam konteks bifore of the law and nations, semua pandangan diakomodir. Lalu kenapa dalam hal keragaman tidak dapat diterima? namun semua pandangan diterima di era demokrasi?
Mari kembali pada habitat bahwa kita harus berkaca pada telaga (ideologi, read) sendiri.
Telaga (negara, read.) kita, sejatinya sangat agamis, karakternya santun, toleran, tolong menolong, mengusung gotong royong dan gemah ripah. Jangan sampai, limbah ekstrimes, radikalis, merusak sendi-sendi keragaman, jangan sampai limbah tersebut berkembang biak tumbuh dan berkembang. Telaga kita menjadi cerminan banyak negara, adat istiadat kita banyak dilirik oleh negara metropolitan, bahkan budaya yang yang kita jalin, dikagumi oleh banyak orang asing, mereka rela tinggal di nusantara mengingat budayanya yang sejuk, tidak ada konflik, harmonis dan meriah. Moderasi agama adalah telaga yang jernih, senantiasa menjernihkan dari masa ke masa.
*Penulis adalah #PKDP2024UINSATU