“Pendekatan ini mengundang decak kagum. Di satu sisi, siapa yang menyangka bahwa keberkahan bisa dihargai 20%? Di sisi lain, bukti nyata bahwa agama bisa menjadi penggerak ekonomi tanpa kehilangan esensinya.”
Catatan Cak AT*
DI DUNIA pesantren, ada satu nama yang membuat kepala investor berputar sekaligus memutar kantong: Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya, Sumatera Selatan. Pesantren yang berusia 57 tahun ini tak hanya mengajarkan kitab kuning dan menghafal Al-Qur’an, tetapi juga menjadi tempat eksperimen finansial yang penuh kreativitas.
Kiai Mudrik Qori, pengasuhnya, memperkenalkan dan menerapkan model pendanaan mulai dari Turnkey Project hingga _Build, Operate, Transfer_ (BOT). Model BOT mungkin sudah biasa Anda dengar, namun model Turkey diubahnya skemanya. Siapa sangka, dunia pesantren bisa menjadi arena usaha ekonomi berskala triliunan?
Berdiri sejak 10 Juli 1967, Pesantren al-Ittifaqiah kini telah berkembang menjadi lembaga pendidikan berkelas internasional dengan ciri khas pendidikan al-Qur’an. Dengan lebih dari 7.800 santri, 31.488 alumni, dan ratusan tenaga pendidik serta karyawan, Al-Ittifaqiah tampil menjadi simbol pesantren modern yang tetap menjunjung tinggi tradisi.
Mengelola sembilan kampus di atas lahan seluas 114 hektar, pesantren ini tak hanya menghasilkan ulama dan intelektual, tetapi juga pelaku bisnis kreatif. Termasuk di dalamnya sejumlah rencana proyek bernilai triliunan rupiah.
Mari kita mulai dengan mahakarya terbaru mereka: Baghdad Smart City, proyek impian yang berada di Kampus D, salah satu dari sembilan kampus pesantren ini. Dengan luas lahan mencapai 295 hektar di atas tanah kering dan 100 hektar lahan basah, proyek ini akan menciptakan kawasan terpadu berisi fasilitas pendidikan, wisata religi, hingga area komersial bernuansa edu-wisata.
Lokasinya? Sangat strategis! Hanya selemparan batu dari kampus baru Universitas Sriwijaya, selain dekat jalan tol, dan akses langsung ke wilayah lain. Seolah mengatakan, “Ayo, datanglah! Kami di pusat semuanya!” Indragiri sendiri merupakan kabupaten baru, dengan sejumlah sungai besar berikut bentangan deltanya yang sangat luas.
Namun, di balik nama megah dan lokasi ciamik itu, terletak pola pendanaan yang tak kalah menarik. Proyek ini menggunakan kombinasi Turnkey Project dan BOT. Ya, model pembiayaan ini, setelah dimodifikasi oleh Kiai Idris, benar-benar menunjukkan bahwa “spiritualitas” dan “investasi” bisa duduk bersama di meja makan.
Bagi yang belum tahu, Turnkey Project ala Al-Ittifaqiah adalah pola pendanaan di mana investor bertindak seperti seorang dermawan sekaligus pedagang ulung. Mereka mendanai proyek, menerima tambahan “keberkahan” sebesar 20% dari total nilai proyek, dan pesantren melunasinya dengan mencicil selama lima hingga sepuluh tahun. Jangan salah, keberkahan di sini bukan hanya tentang pahala—ia menawarkan profit nyata di depan mata.
Misalnya, pembangunan gedung bisnis, mall, gedung sekolah dan ratusan ruang kelas sebelumnya berhasil diselesaikan oleh Pesantren al-Ittifaqiah dengan pola ini, mencapai nilai Rp 25 miliar. Dengan sukses seperti itu, siapa investor yang tidak tergoda oleh janji keuntungan sekaligus pahala?
Di dunia infrastruktur, pendanaan turnkey dikenal sebagai mekanisme pembiayaan proyek di mana penyedia memberikan modal untuk membangun suatu proyek secara menyeluruh hingga siap digunakan (turnkey). Dalam konteks ini, istilah “turnkey” mengacu pada proyek yang diserahkan kepada pemiliknya dalam keadaan siap pakai, di mana semua aspek perencanaan, pembangunan, dan penyelesaian proyek telah diselesaikan oleh kontraktor atau pengembang.
Tak cukup dengan Turnkey, Al-Ittifaqiah juga mengandalkan Build, Operate, Transfer (BOT), sistem pendanaan yang sudah lazim dalam dunia infrastruktur. Dalam model ini, investor membangun dan mengoperasikan proyek untuk jangka waktu tertentu, sebelum akhirnya menyerahkannya kembali ke pesantren. Jadi, pesantren tak hanya mendapatkan fasilitas tanpa harus membayar di awal, tetapi juga mendapat pengalaman operasional langsung dari investor.
Jika BOT terdengar terlalu kapitalis untuk pesantren, ingatlah bahwa Al-Ittifaqiah adalah contoh nyata bagaimana tradisi salaf bisa berpadu dengan modernitas. Mereka bahkan menyebutnya “beramal jariyah sambil untung.”
Dari proyek raksasa hingga pola pendanaan kreatif, Al-Ittifaqiah membuktikan bahwa pesantren bisa menjadi kekuatan ekonomi. Dengan sembilan kampus seluas 114 hektar, mereka telah membangun asrama, ruang kelas, hingga usaha bisnis yang menjadi sumber pendanaan pendidikan berkualitas, yang sebagiannya gratis.
Tak hanya itu, Baghdad Smart City juga menjadi simbol cita-cita besar mereka untuk mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa peradaban Baghdad abad pertengahan. Dengan potensi sebagai kawasan captive market, proyek ini diharapkan tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga pusat ekonomi yang menyatukan banyak kabupaten di sekitarnya.
Pendekatan ini tentu saja mengundang refleksi sekaligus decak kagum. Di satu sisi, siapa yang menyangka bahwa keberkahan bisa dihargai 20%? Di sisi lain, inilah bukti nyata bahwa agama bisa menjadi penggerak ekonomi tanpa kehilangan esensinya.
Namun, pola ini juga mengundang refleksi. Apakah pola Turnkey dan BOT hanya alat pragmatis untuk membiayai proyek besar, atau justru menjadi bukti bahwa dunia pesantren telah menemukan cara baru untuk bertahan di era modern?
Walhasil, Al-Ittifaqiah tidak hanya membangun gedung, tetapi juga membangun kepercayaan. Mereka mengajak semua pihak untuk berpikir ulang tentang potensi pesantren. Jika pola ini sukses, siapa tahu, Baghdad Smart City bisa menjadi model bagi pesantren lain di seluruh Indonesia.
Karena itu, mari kita doakan agar proyek ini sukses, bukan hanya karena nilai ekonominya, tetapi juga karena semangat besar yang menjadi landasannya. Siapa bilang pesantren hanya tempat menghafal? Di sini, inovasi bertemu keberkahan, dan keduanya sama-sama memanen pahala dan keuntungan!
*Cak AT adalah Ahmadie Thaha, Naskah Ditulis di Kampus D Pesantren al-Ittifaqiah Indragiri.