
“IRONIS! Bangunan Masjid Jami’ di jalan Peneleh V No. 41 bukan merupakan bangunan Cagar Budaya, tetapi berada di dalam Kawasan Cagar Budaya Kampung Peneleh, sesuai Keputusan Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45/004/402.1.04/1998/15 tanggal 13 Januari 1998. Kok bisa?”
Oleh Syarif Thayib*
SEJARAH panjang Kampung Peneleh tidak berhenti pada masa Kerajaan Majapahit. Peneleh juga memiliki sejarah perkembangan Islam di Surabaya. Dimana perkampungan Peneleh dijadikan sebagai tempat singgah Sunan Ampel sebelum menginjakkan kaki di Kawasan Ampel Denta.
Peneliti Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) Adrian Perkasa menyebutkan, kampung Peneleh menjadi satu di-antara kampung yang disinggahi oleh Raden Ahmad Rahmatullah atau Sunan Ampel, sebelum ia berlabuh ke Ampel, tahun 15 Masehi lalu (Radar Surabaya, 13 Mei 2019).
Sunan Ampel singgah ke Peneleh melalui jalur sungai Kalimas yang pada masa itu menjadi jalur transportasi terbesar, karena kawasan Peneleh terletak paling dekat dengan sungai, maka singgahlah Sunan Ampel ke kawasan ini. Setelah sebelumnya juga sempat transit di Kembang Kuning.
Kebenaran masjid Peneleh sebagai peninggalan Sunan Ampel didukung oleh penggunaan kayu jati gelondongan tegak lurus sebagai penyangga atap masjid. Sama persis dengan bangunan masjid Jawa lama pra kolonial, seperti masjid Ampel, masjid Demak, masjid kesepuhan Cirebon, dan lain-lain.
Selain itu, bangunan Masjid Peneleh memiliki kekuatan arsitektur langka. Atapnya menyerupai perahu terbalik, sehingga menjadi bangunan masjid paling iconic, dan satu-satunya di Indonesia.
Butuh Perjuangan
Sebagai masjid bersejarah, Masjid Peneleh selalu menarik untuk diberitakan oleh media/koran Belanda yang terbit di Surabaya, seperti Soerabaijasch Handelsblad. Media ini pada edisi 24 November 1894 memberitakan, bahwa tangga dan pintu Masjid Peneleh pernah rusak karena sambaran petir saat terjadi badai pada malam 23 November 1894.
Menyusul media De Indische Courant atau Surat Kabar India, terbitan 13 Agustus 1924 memberitakan tentang pelebaran bangunan Masjid Peneleh (sebelah selatan). Hal ini bisa dilihat dari posisi atap masjid yang menyerupai perahu terbalik tepat di tengah masjid dan sisi utara saja. Sedangkan sisi selatan tampak ada bekas pelebarannya.
Koran berbahasa Belanda itu menyebutkan, bahwa perkumpulan Ta’miroel Massadjid yang didirikan oleh pendiri Nahdlatoel Oelama KH. Wahab Chasbullah (Muhammad, 2022) menginisiasi perluasan Masjid Peneleh yang didukung oleh berbagai donatur, termasuk perusahaan seperti San Liem Kongsie, Soerabajasche Tegelfabriek, dan Maurice Wolff.
Kebenaran berita koran di atas diperkuat oleh Kitab Penyerap Gemuruh karya KH. Wahab Chasbullah (Kiai Wahab) yang diterbitkan oleh Percetakan al-Irsyad Surabaya pada 16 Muharram 1343 H, atau bertepatan dengan 17 Agustus 1924.
Dalam kitab itu dijelaskan, bahwa pelebaran Masjid Paneleh Surabaya awalnya menimbulkan polemik. Pokok permasalahannya adalah sekitar masjid merupakan area pemakaman. Bolehkah melebarkan masjid dengan menggeser makam?
Untuk menjawab perihal boleh tidaknya memperbesar masjid dengan menggusur makam tersebut, Kiai Wahab melakukan empat langkah. Mulai meneliti perihal makam, studi literatur fiqhiyah, istifta, hingga Bahtsul Masail.
Yang pertama kali diteliti oleh Kiai Wahab adalah perihal siapa-siapa yang dimakamkan di sekitar Masjid Paneleh tersebut. Adakah makam Waliyullah, ulama, hafidz Quran, orang yang melanggengkan adzan di sana.
Selanjutnya, yang diteliti adalah status kepemilikan tanah. Ternyata tanah tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, begitu pula nadzirnya. Sehingga tanah kubur tersebut dinyatakan sebagai tanah Majhul dan dihukumi Mal Dlo’i (harta yang tersia-sia).
Dengan dua hal tersebut, kuburan yang ada boleh dipindahkan serta tanah makam itu juga boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti halnya pelebaran Makam Paneleh.
Dua hal tersebut menjadi informasi yang wajib dicari berdasarkan pada literatur kitab fiqih yang ada. Setidaknya Kiai Wahab merujuk pada Kitab Syarwani yang merupakan hasyiyah dari Kitab Tuhfatul Muhtaj. Sedangkan tentang kepemilikan tanah, ia merujuk pada kitab I’anah Tholibin.
Sebagai ahli fiqih, Kiai Wahab memang mendasarkan semua argumentasinya pada kitab-kitab fiqih yang muktabarah di kalangan pesantren. Selain dua kitab tersebut, ia juga merujuk pada Al-Umm, Minhajul Qowim, Tafsir Al-Baghawi, Jamal Hasyiyah Muhtaj, Fathul Jawad, Jam’ul Jawami’, dll.
Selain melakukan kajian pustaka sendiri, dalam kitab tersebut Kiai Wahab juga melengkapinya dengan istifta (meminta fatwa) kepada ulama di Jawa maupun di Mekkah. Seperti kepada Syekh Said Yamani, Syekh Baqir, Syekh Ahmad Nahrawi, dan Kiai Abdul Muhith.
Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari (kakeknya Presiden RI keempat Gus Dur) juga dimintai pendapat oleh Kiai Wahab yang dibalas dalam bentuk surat.
Sebagaimana tradisi di NU saat ini, keputusan fiqhiyah tidak bisa diambil secara mandiri meski telah memiliki kajian yang mendalam. Namun, tetap harus dirembukkan dalam kajian bersama yang dikenal dengan “Bahtsul Masail”.
Ada 14 Kiai yang menjadi peserta Bahtsul Masail, yaitu KH. Munthoha Bangkalan, KH. Hasyim Jombang, KH. Said Ampel, KH. Azhari Surabaya, KH. Mas Alwi Sepanjang, KH. Mas Abdullah Tawangsari, KH. Bisri Jombang, KH. Zakariya Surabaya, KH. Said Paneleh, KH. Basuni Paneleh, KH. Syarif Surabaya, KH. Faqih Sedayu, Gresik, Kiai Ahmad Dahlan Kebondalem Surabaya dan Kiai Wahab sendiri yang bertempat tinggal di Kertopaten Surabaya.
Dari 14 Kiai yang hadir, hanya dua Kiai yang tidak setuju pelebaran Masjid Paneleh dengan menggeser makam. Yaitu, KH. Faqih dari Sedayu-Gresik dan KH. Ahmad Dahlan dari Kebondalem-Surabaya.
Atas berbagai kajian dan hasil Bahtsul Masail yang menyetujui pelebaran (sisi selatan) 101 tahun yang lalu, akhirnya Masjid Paneleh peninggalan Mbah Ampel dan napak tilas perjuangan para Kiai itu menginspirasi santri/ arek-arek Suroboyo istiqamah menjaga dan merawat dengan sepenuh hati selamanya. Alfatihah.