
“Dalam ajaran agama, puasa mengajarkan pengendalian diri, memperkuat persaudaraan, serta meningkatkan kepedulian terhadap mereka yang berkekurangan.”
Oleh Tim Mimbar Katolik
UMAT Islam telah memasuki bulan suci Ramadan, sementara umat Katolik akan memulai masa Prapaskah. Kedua momen ini adalah waktu penuh rahmat yang mengundang refleksi, pertobatan, dan pertumbuhan iman. Menyongsong hari-hari istimewa ini, saya ingin berbagi sedikit permenungan tentang makna puasa dalam kehidupan bersama.
Saat membaca buku Harta Karun Timur Tengah: Kisah Bijak Para Sufi karya Idries Shah, yang diterjemahkan oleh mendiang pujangga Indonesia Sapardi Djoko Damono, saya menemukan sebuah kisah yang menarik. Kisah tersebut berjudul: Mimpi dan Irisan Roti. Berikut ceritanya:
Mimpi dan Irisan Roti
Tiga musafir dalam perjalanan panjang menjadi sahabat. Mereka berbagi suka dan duka, saling menguatkan dalam kelelahan. Suatu hari, mereka menyadari bahwa bekal yang tersisa hanyalah sepotong roti dan seteguk air dalam kendi.
Mereka pun berselisih tentang siapa yang berhak mendapat makanan dan minuman itu. Karena tidak mencapai kesepakatan, mereka memutuskan untuk tidur dan membiarkan mimpi mereka menentukan siapa yang layak mendapatkannya.
Keesokan paginya, mereka berbagi mimpi masing-masing:
Musafir pertama berkata, “Aku bermimpi berada di tempat yang begitu indah dan damai. Seorang bijaksana berkata kepadaku, ‘Kau layak mendapatkan makanan itu karena kehidupanmu yang berharga dan pantas dipuji.'”
Musafir kedua berkata, “Aku bermimpi melihat seluruh masa lalu dan masa depanku. Seorang lelaki bijak berkata, ‘Kau yang paling berhak atas makanan itu karena kebijaksanaan dan kesabaranmu. Kau harus makan agar bisa menjadi penuntun bagi manusia.'”
Musafir ketiga berkata, “Aku tidak bermimpi apa pun. Namun, dalam tidurku, aku merasakan dorongan kuat untuk bangun, mencari roti dan air itu, lalu memakannya. Dan itulah yang kulakukan.” (Idries Shah, 1984, hlm. 16)
Makna Puasa dalam Relasi dengan Sesama
Kisah para Sufi ini mengandung makna yang kaya. Setiap pembaca dapat menafsirkannya dari perspektif masing-masing. Kisah para Sufi di atas menggambarkan dilema moral: apakah kita memilih berbagi dengan adil, ataukah kita membiarkan egoisme menguasai diri? Saya mencoba memaknainya melalui pemikiran filsuf Prancis, Emmanuel Levinas, tentang wajah (le visage) dan yang lain (l’Autre)
Menurut Levinas, wajah bukan sekadar raut muka, tetapi kehadiran orang lain yang menuntut kita untuk bertindak secara etis. Saat kita melihat wajah seseorang, muncul panggilan untuk bertanggung jawab terhadap keselamatannya (Franz Magnis Suseno,2005:hal.87). Kita diingatkan bahwa orang lain bukanlah objek dalam hidup kita, tetapi subjek yang memiliki martabat dan hak. Kehadiran mereka selalu “menyapa” kita untuk dikasihi, diperhatikan, dan dihormati.
Selain itu, gagasan yang lain (l’Autre) dalam pemikiran Levinas menekankan bahwa hubungan manusia seharusnya tidak didasarkan pada dominasi atau penguasaan (Franz Magnis Suseno,2000:hal.97), melainkan pada penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan. Relasi kita dengan sesama bukanlah tentang siapa yang lebih unggul atau yang lebih hebat atau yang lebih penting, tetapi tentang bagaimana kita membuka diri dalam dialog dan kasih.
Berdasarkan ulasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika hidup dalam kebersamaan, egoisme hendaknya ditekan. Kita hendaknya memberi ruang pada keadilan dan kepedulian kepada sesama.
Puasa: Peziarahan Rohani Menuju Kepedulian
Umat Islam akan memulai Ramadan pada 1 Maret 2025, sedangkan umat Katolik memasuki Prapaskah pada 5 Maret 2025 dengan perayaan Rabu Abu. Keduanya adalah masa pertobatan dan refleksi yang mengajak kita untuk lebih peduli kepada sesama.
Dalam ajaran agama, puasa mengajarkan pengendalian diri, memperkuat persaudaraan, serta meningkatkan kepedulian terhadap mereka yang berkekurangan. Momen ini menjadi kesempatan untuk merenungkan bagaimana kita dapat lebih hadir bagi orang lain, bukan sekadar dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam sikap batin yang penuh kasih.
Sebagai seorang Katolik, saya ingin mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi seluruh umat Muslim. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam, yang mengajarkan kesabaran, ketulusan, dan kasih terhadap sesama. Saya berdoa semoga bulan suci ini membawa kedamaian, kebahagiaan, dan keberkahan bagi saudara-saudari Muslim. Semoga pula masa Prapaskah bagi umat Kristiani menjadi waktu refleksi yang mendalam, untuk semakin menumbuhkan nilai-nilai kasih, perdamaian, dan persaudaraan sejati.
Pada akhirnya, puasa mengajarkan kita untuk ada untuk yang lain. Dengan demikian, semoga perjalanan spiritual ini membawa kita semakin dekat kepada Tuhan dan semakin peduli terhadap sesama manusia.
*Dikirim oleh Hendrikus Ingrid Meze Doa (ASN Ditjen Bimas Katolik)