
“Gelar Pahlawan Nasional untuk Pak Harto, memang, krusial. Tetapi, di antara dua pandangan ini, jalan tengah yang bijak adalah mikul duwur mendem jero. Menghargai jasa, memahami luka, dan menulis sejarah dengan hati yang adil.”

Oleh Dr H Romadlon Sukardi, MM*
PADA suatu hari tahun 1984 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Presiden Soeharto duduk bersama KHR. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, dan KH. Ahmad Shidiq. Dalam keheningan ruang pesantren, kekuasaan bertemu dengan kebijaksanaan. Di sana, para ulama menasihati pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan spiritualitas bangsa.
Pertemuan itu menjadi titik balik relasi negara dan Nahdlatul Ulama. KH. Ahmad Shidiq menegaskan bahwa Pancasila adalah mitsaqan ghalizha — perjanjian luhur antara rakyat dan negara. KH. Ali Ma’shum menambahkan, “agama dan negara tidak perlu saling menaklukkan, cukup saling menuntun.”
Sejak saat itu, hubungan NU dan pemerintah Orde Baru bertransformasi dari ketegangan menuju kemitraan yang hati-hati namun produktif.
Kini, ketika wacana pengusulan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali bergulir, bangsa ini diajak menengok kembali hubungan historis dan spiritual antara ulama dan negara. Dalam pandangan para kiai besar seperti Gus Dur, KH. Idham Chalid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin, Soeharto bukan hanya penguasa, tetapi sosok yang pernah menjaga stabilitas bangsa dan memberi ruang bagi kebangkitan umat.
Menyelami Sejarah dengan Cahaya Masa Depan
Setiap pemimpin meninggalkan jejaknya sendiri. Mereka bukan malaikat tanpa cela, melainkan manusia yang berjuang di tengah badai zamannya. Dari Soekarno hingga Soeharto, dari masa revolusi hingga pembangunan, Indonesia tumbuh dari tangan-tangan yang menanggung berat sejarah di pundaknya.
Wacana penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan pro dan kontra. Gus Mus mengingatkan pentingnya kehati-hatian moral, sementara sebagian pihak melihatnya sebagai langkah rekonsiliasi dan penghargaan terhadap jasa besar pembangunan bangsa. Di antara dua pandangan ini, jalan tengah yang bijak adalah mikul duwur mendem jero: meninggikan jasa, menenggelamkan luka dengan doa — bukan menutupi, tetapi menjaga keluhuran bangsa.
Membaca sejarah dengan cara demikian berarti menelusuri masa lalu yang kompleks sambil menatap masa depan Indonesia Emas 2045 dengan hati yang jernih.
Menghadirkan Keadilan Sejarah
Keadilan sejarah bukan membenarkan masa lalu, melainkan memahami konteksnya. Soeharto muncul di tengah kekacauan pasca-1965 dan membawa stabilitas yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan swasembada pangan. Namun, sejarah juga mencatat sisi kelam berupa pembatasan politik dan pelanggaran HAM.
Dalam konteks hubungan dengan NU, Soeharto bukan musuh abadi. Justru pada masa Orde Baru, NU menegaskan Kembali ke Khittah 1926 dan menyepakati Pancasila sebagai asas tunggal. Relasi keduanya menjadi dinamis: antara kekuasaan dan moral, antara politik dan nilai. Dukungan sebagian kalangan NU terhadap wacana penghargaan bagi Soeharto lahir dari keinginan menempatkan sejarah secara adil, bukan untuk melupakan.
Melihat Sejarah Secara Utuh
Bangsa ini sudah menempatkan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional meski sejarahnya juga tidak tanpa luka. Ia pernah membuka ruang bagi ideologi NASAKOM yang memunculkan ketegangan ideologis. Namun bangsa memilih memaafkan karena jasa besar dalam kemerdekaan lebih besar daripada kekeliruannya.
Begitu pula Soeharto. Ia tidak sempurna, tetapi jasanya dalam membangun fondasi ekonomi dan stabilitas nasional tak dapat dihapus. Sebagaimana diingatkan sejarawan Dr. Anhar Gonggong, “Menolak jasa Soeharto berarti gagal belajar dari sejarah.” Maka, mengusulkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukanlah glorifikasi, melainkan upaya rekonsiliasi moral dan intelektual bangsa.
Obyektif terhadap Sejarah, Adil terhadap Para Pendahulu
Setiap presiden memiliki peran unik dalam peradaban bangsa: Soekarno dengan revolusi, Soeharto dengan stabilitas, Habibie dengan inovasi, Gus Dur dengan pluralisme, dan Jokowi dengan transformasi digital. Karena itu, masa lalu tidak seharusnya diadili dengan ukuran masa kini.
Gus Mus mengingatkan agar kehati-hatian moral tetap dikedepankan, namun objektivitas tetap dijaga. Keadilan sejarah lahir dari keseimbangan antara akal dan akhlak — antara rasionalitas dan empati kemanusiaan.
Rekonsiliasi Sejarah Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya. Rekonsiliasi bukan berarti melupakan, tetapi mengingat dengan kebijaksanaan. Mikul duwur mendem jero adalah etika peradaban: mengangkat jasa, menenggelamkan aib dengan doa, agar generasi mendatang dapat menatap masa depan tanpa beban dendam.
Jika prinsip itu dijalankan, maka Soekarno, Soeharto, dan para presiden lainnya berdiri sejajar sebagai guru sejarah bangsa — bukan untuk disembah, tetapi diteladani sesuai zamannya. Dari situlah spiritualitas sejarah dan nilai keikhlasan para ulama akan terus menuntun bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Penutup: Jalan Bijak Sejarah Bangsa
Sejarah tidak untuk diadili, melainkan dipahami. Mengakui jasa Soeharto bukan berarti menutupi luka, dan menolak pun sah bila dilakukan dengan kebijaksanaan. Bangsa ini menjadi besar bukan karena tanpa kesalahan, tetapi karena berani belajar darinya.
Mikul duwur mendem jero adalah pesan abadi: bangsa berjiwa besar adalah bangsa yang tahu menghormati pendahulunya, sambil melangkah ke masa depan dengan kepala tegak dan hati jernih.
Dari Resolusi Jihad 1945 hingga cita-cita Indonesia Emas 2045 — perjalanan kita adalah perjalanan spiritual kebangsaan, dari perjuangan menuju kebijaksanaan, dari darah menuju cahaya.(*)






































