Oleh Junaidi Khab

 

KASUS penipuan sudah sering terjadi. Peristiwa tersebut sepertinya tidak asing lagi bagi kita. Namun, kadang di antara kita masih bisa dijerat oleh para penipu dengan modus-modus yang menyerupai candu, hingga membuat seseorang terlena dan mudah percaya. Kasus penipuan terjadi bukan hanya dalam persoalan besar, tapi juga mulai dari hal terkecil hingga merambat pada persoalan material dan finansial dalam skala yang tidak bisa dikatakan ringan. Uang jutaan rupiah raib. Harta kekayaan pun lenyap tanpa kita merasa kehilangan dalam jurang penyesalan.

Seperti halnya internet yang sudah jelas-jelas dunia maya, alias bukan dunia nyata, masyarakat kita lebih cenderung menggunakan internet sebagai teman sehari-hari (Yee-Jin Shin, 2014:95). Maka dari itu, seorang ahli teknologi digital memanfaatkan teknologi untuk melakukan penipuan demi mendapat materi dengan cara licik. Mereka, bukan orang bodoh. Tapi, mereka adalah intelektual. Namun, mereka terlahir dalam himpitan teknologi yang dijadikan sebagai jurang keuntungan bagi dirinya sendiri.

Kini, orang-orang cerdas sudah menjadikan media sosial di internet sebagai ladang penipuan. Ada banyak masyarakat yang mengeluh dan bertanya-tanya ketika mendapat surat elektronik (e-mail) atau via media facebook dengan tawaran dana di luar nalar. Hal itu ditawarkan dengan tebusan yang tidak kecil. Pada mulanya, kita diminta untuk menyerahkan identitas diri dan foto. Lalu, dari pihak penipu juga mengirimkan foto diri sebagai bukti bahwa dirinya benar-benar serius. Padahal, cara demikian merupakan pemanis untuk memikat hati kita sebagai sasaran penipuan.

Masyarakat umum yang sudah akrab dengan teknologi atau alat digital harus membentengi diri dari segala macam pengaruh orang lain. Terlebih ketika mendapat surat tawaran via dunia maya yang jelas-jelas orangnya tidak kita kenal. Tidak memandang bulu, ketika sudah dilenakan oleh tawaran sejumlah uang, kaum akademisi, intelektual, atau pun birokrat akan tergiur untuk mengikuti saran-saran pelaku penipuan.

 

Sebuah Alasan

Seperti halnya yang dialami oleh wartawan Kedaulatan Rakyat, Jayadi Kastari pada 4 Oktober 2016 dengan modus minta pulsa pada teman-teman dekatnya. Pernah terjadi pada keluarga seorang dosen salah satu kampus swasta. Sebagai dosen yang merangkap pejabat kampus, dosen tersebut pengaturan ponsel ‘terdiam’ pada saat rapat. Pada waktu itulah, keluarga dosen (korban) mendapat telepon bahwa dosen tersebut kecelakaan dan masuk rumah sakit serta membutuhkan biaya sepuluh juta rupiah. Mulanya, keluarga korban tidak memercayai. Maka, sang korban ditelpon. Tapi, telpon tersebut tidak diangkat. Lalu, keluarga korban membuat kesimpulan bahwa si dosen benar-benar kecelakaan. Kemudian, uang sepuluh juta ditransfer begitu saja. Usai rapat, korban melihat ponselnya. Ia kaget, tiba-tiba keluarganya menelpon hingga beberapa panggilan tak terjawab. Sang dosen menelpon balik. Pada saat itulah, keluarga korban baru tahu bahwa mereka ditipu.

Yang lumrah, modus yang digunakan penipu seperti kecelakaan dengan meminta biaya operasi korban, razia narkoba dan mendapat hadiah dengan tebusan terlebih dahulu tanpa melihat kenyataan yang ada atau persoalan mendadak seperti yang dialami wartawan senior Kedaulatan Rakyat tempo hari.

Berbagai modus penipuan baik via media sosial atau alat digital, benar-benar harus kita waspadai agar tak menyesal. Seperti pepatah lokal masyarakat Madura menyebutkan “tak ada perut betis di depan, perut betis pasti di belakang”. Begitulah bentuk penyesalan. Kita bisa membuat kesimpulan dari dua kejadian modus penipuan via SMS atau telpon bahwa orang yang akan menipu kita tak lain orang terdekat. Asumsi tersebut bisa dirasionalkan dengan pengetahuan penipu tentang situasi dan kondisi korban. Selain modus-modus tersebut juga ada modus lain seperti dipandu masuk ATM untuk mentransfer sejumlah uang. Bahkan hingga pada modus jual-tukar barang dengan memberikan barang yang palsu. Begitulah bentuk atau modus-modus penipuan yang perlu menjadi kewaspadaan bagi masyarakat luas.

Ibarat puncak gunung es, modus-modus penipuan yang dilakukan oleh pelaku masih berkeliaran dengan cara berbeda. Hanya sebagian contoh kecil yang bisa kita ketahui dari pengalaman orang lain. Selebihnya, kita sendiri yang harus waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai macam tawaran yang tak begitu jelas informasinya. Khususnya melalui internet, SMS, dan telpon. Mari, sebelum menyesal, kita ubah perut betis ke sisi bagian depan sebagai bentuk antisipasi untuk menangkal berbagai modus penipuan sedini mungkin.

 

Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry