Oleh: Suparto Wijoyo*
PERTARUNGAN ini semakin melebar tetapi maknanya justru menyempit menyesakkan panggung gelanggang umat untuk menilai siapa “gerangan orang yang suka menyeberang”. Pilpres 2019 sangat kentara permainannya dengan ontran-ontran yang sudah disemai sejak lima tahun lalu. Kekuasaan diunggah sambil membuncahkan citra meski penuh dengan keperihan yang dirasa. Janji-janji ditebar setiap hari dan rakyat diminta berjajar sepanjang jalan mimpi untuk memanen lemparan hadiah dari atas mobil.
Mobil yang dahulu dikendarai dengan merek yang berderajat menyekolah padahal itu adalah sekadar tingkah polah. Rakyat disedak untuk terus terkaget-kaget tetapi riaknya tampak dinikmati, apalagi tidak ada lagi demo tentang kenaikan TDL maupun BBM dan pajak-pajak progresif. Media massa dikuasai dan saling menguasai.
Setiap saat semua dapat menyimak dalam-dalam mengenai apa yang dulu dikampanyekan sementara bangunan-bangunan itu dilarung sampai ke tenggorokan orang kebanyakan. Pesona akhirnya dituai melalui pujian-pujian yang disebarkan dari desa ke kota atau sebaliknya, bahkan orang yang berpendidikan tinggi tidak kurang jua menghadirkan pemujaan atas kuasa yang dikira penuh berkah. Begitu mereka menilai suasana yang memendam ancaman perang saudara. Umat Islam dikilik-kilik terus sehingga tidak mampu bersikap tenang karena kalau terlihat sedikit tenang untuk menggulirkan kedaulatan ekonominya, maka akan ada “tanda dadakan” seperti penghinaan lambang-lambang agama.
Pembakaran bendera tempo hari adalah bagian dari takdir keumatan yang mencoba untuk dibentur-benturkan. Sayangnya, yang melakukan itu tampil dengan riang yang tidak dapat dimengerti daya nalarnya, hingga ada anak-anak yang bertanya tentang tingkat daya kewarasan dari komandan yang selalu tampil gagah perkasa, kelihatannya. Dia sangat suka menyenangkan orang asal tidak membawa-bawa Islam. Lebih suka menjadi “pengawal” tempat ibadah yang tidak seiman atas nama hidup berbhinneka.
Padahal bukan itu yang hendak diraihnya selain pujian dari kaum yang “dihormatinya” atas nama dia sang minoritas. Ah, bahasa ini sensitif dan bukanlah demikian adanya. Sejatinya yang lebih nelongso hatinya itu siapa? Siapa yang derajat kemelasannya melebihi dari umat mayoritas sekarang ini?
Narasinya, sungguh tidak mudah dimengerti oleh mereka yang sering menyandarkan diri pada puja-puji. Realitasnya adalah bahwa yang kau kira besar itu kini diperkecil dengan mempermainkan batinnya untuk terlibat adu kekuatan sesamanya. Demo-demo guru ataupun tenaga honorer serta karena kalimat tauhid dianggapnya biasa saja, sebatas bagian dari pemberitaan agar semua lupa tentang janji yang kerap diingkari.
Setiap warna dirinya perlu disebarkan dan toleransi diungkit-ungkitkan serta atas nama persatuan semua harus rela mengalah. Adakah hal semacam itu perlu terus diombang-ambingkan demi lengkapnya berita yang meninakbobokan harga yang meninggi serta rupiah yang ndlosor.
Para calon sekarang memasang wajahnya di kala mereka selama ini sudah sangat terkenal. Tetapi musim kemarau telah menghantarkan debu menimpuk dirinya dan hujan sejatinya sedang meludahi dengan derasnya, tetapi mereka tetap senyum yang menyandangkan kemenangan. Tampak semuanya damai di tengah keriuhan warga. Adakah semua ini pada akhirnya terketahui bahwa ketenangan maupun kegaduhan itu sesungguhnya berdalang sama, yaitu sama-sama saya tidak mengetahuinya.
Kini gairah umat sudah terang arahnya tentang pemilihan yang memilahkan pandangan siapa di nomor satu dan siapa yang di nomor dua. Keterangan yang jelas ini sekarang menjadi kabur bagi mereka yang tidak jeli, yang tidak merasakan dentum di tengah kedalam lautan suara rakyat. Bagi yang sangat jeli sudah amat gamblang antara yang hak dan yang batil, antara yang sehaluan dengan yang sehartaan.
Posisi diperebutkan dan gengsi diantuk sambil merapatkan diri hingga kesejatian pribadinya terungkap ini hari. Sesama umat menjadi asing dan tanpa perlu difatwakan agar saling merapatkan dirinya. Kepala-kepala daerah tidak sungkan sebagai tim suskes demi mempertahankan kekuasaan yang menjadi pilihannya. Betapa kuasa itu harus dipertahankan karena ini menyangkut harga diri.
Pihak yang demikian akan terseleksi oleh zaman bahwa kelak kalau engkau sudah tidak berkuasa, maka bumi ini akan mengirim pesan sebagai hal yang tidak pernah kau sadarinya. Kepala daerah merapatkan diri menjadi Timses dengan mengeluarkan pernyataan untuk memenangkan tokohnya dengan target persentase yang spektakuler. Intinya Pilpres di daerahnya harus dimenangkan oleh pilihan kepala daerahnya. Ini adalah pengharapan ketersanderaan kehendak yang memilukan karena ada masalah yang mudah dibaca khalayak.
Anehnya hal ini diyakini hendak memantikan angan sebagai bagian dari strategi politik kelas tinggi. Kisahnya persis dengan seorang tokoh yang suka-suka memenuhi undangan negara Israel, kemudian diviralkan oleh pendukungnya sebagai penanda diplomasi kelas wahid. Padahal ini bukan soal kelas tingginya diplomasi melainkan tidak mampunya membaca nurani rakyat sendiri.
Akhirnya tokoh yang berteman dengan Negara Yahudi itu dipandang sebagai pihak yang paling berpengaruh di jajaran lima ratus tokoh dunia dan suporternya menyebarkannya dengan pongah. Saya meliriknya sambil bergumam atas keasyikan mereka dalam posisi menjadi “agen yang bernalar ganjil”.
Kini tokoh sebesar pengacara kondang pun merapatkan dirinya dengan ketersediaan yang sambil “cengengsan” seolah-olah dirinya adalah insan paling pinter hukum sejagad. Kesediaannya diberi dalih yang tidak memenuhi derajat dalil bahwa dia hanya sekadar pengacara, bukan tim sukses. Memang membedakan antara kedua posisinya adalah soal yang gamblang tetapi dibuat lain untuk penyikapannya.
Partai yang dibaca zaman sebagai kelanjutan Pejuang Umat dulu itu, tidak saya sangka dapat dikomandani sosok yang dengan mudah terbidik untuk merapatkan dirinya ke pihak yang selama ini “berjarak dengan umat berkarakter”. Memang Pilpres ini sangat bertauhid, yaitu menjadi penentu jua antara pemilihan dan pemilahan peraih esensi dengan gizi. Kepada-Mu ya Rabb, aku berlindung untuk istiqomah memanggulkan pilihan.
* Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga