Keterangan foto detik.com

“…baik Jokowi maupun Prabowo sudah jelas keduanya,  tidak memenuhi kriteria sebagai pemimpin Islam yang kaffah. Tidak perlu dijelaskan kemampuan keduanya dalam hal ibadah dan kefasihan mahroj bacaan Alqurannya, karena keduanya sama-sama payah.”

Oleh: Mochammad Sa’dun Masyhur*

SEBAGAI negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, persoalan keislaman telah menjadi bagian yang menyatu pada seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mungkin memisahkan masalah keislaman dengan keindonesiaan atau sebaliknya. Demikian pula di ranah politik,  selain keindonesiaan,  keislaman merupakan keniscayaan.

Menjelang Pilpres 2019, diskursus mengenai keislaman telah mengemuka dan menyita perhatian banyak kalangan. Isu yang paling sering dibahas adalah persoalan tentang keislaman calon presiden.

Menilik figur calon presiden yang bertarung nanti, baik Jokowi maupun Prabowo sudah jelas keduanya,  tidak memenuhi kriteria sebagai pemimpin Islam yang kaffah. Tidak perlu dijelaskan kemampuan keduanya dalam hal ibadah dan kefasihan mahroj bacaan Alqurannya, karena keduanya sama-sama payah.

Sayangnya tidak ada alternatif lain, kita harus memilih  satu di antaranya sebagai presiden.  Oleh karena itu, memperdebatkan keduanya dari sisi kualitas ibadahnya tidak lagi relevan. Sebagai bangsa, mengolok-olok kelemahan para calon pemimpin, hanya akan mendegradasi keberadaan pemimpin bangsa sendiri.

Harus diakui kedua calon presiden sekarang ini memang minim dalam hal keislaman individual. Maka setelah seorang di antara keduanya terpilih sebagai  presiden,  menjadi tugas berat para ulama, dai, mubaliq dan tokoh Islam untuk mengisi dan memberikan pendalaman materi keislaman. Jadi presiden mendatang adalah medan dakwah yang juga menjadi cermin atas kondisi ketertingalan keislaman ummat di Indonesia pada umumnya.

Terkait dengan itu, di luar masalah keislaman secara pribadi,  harus dipertegas bagaimana komitmen keislaman para calon presiden,  khususnya bagi Probowo. Meskipun ia didukung oleh ijtima’ ulama,  namun tidak otomatis dapat dijadikan  jaminan. Sebab itu,  menguliti rekam jejak komitmen keislaman Prabowo menjadi sangat penting,  agar ummat tidak salah lagi memilih presiden.

***
Prabowo lahir dari keluarga nasionalis religius,  yang selalu berpegang pada nilai-nilai moral agama. Meskipun tidak tergolong sebagai orang yang tekun beribadah yang  sepenuhnya memenuhi syariat Islam, namun ikrar syahadat dan keimanan Prabowo terhadap Islam ia pegang teguh.

Banyak pengalaman spiritual tentang keimanan itu yang terpatri dalam sanubarinya. Sayangnya, Prabowo bukanlah tipe orang yang suka mengumbar masalah pribadi termasuk masalah ibadah, kepada publik.

Kisah yang cukup mengetarkan, dikala bertugas di Timor Timur, sekarang Timur Leste, pasukan Prabowo yang berjumlah puluhan orang, dikepung ratusan pasukan pemberontak Fretelin,  dan masuk jalur perangkap ranjau bom. Dalam hitungan nalar,  Prabowo dan pasukannya itu akan tertangkap dan dibantai habis.

Saat menyusuri jalan setapak untuk menghindari kepungan itu, beberapa anggota pasukannya terkena ranjau bom,  hingga beberapa kaki yang putus terlempar persis di depan hidungnya. Sementara sebagian yang lain terburai tak lagi berbentuk. Pasukan bercerai-berai. Begitulah pertaruhan hidup dan mati yang pernah dialami Prabowo,  demi bangsa dan negara.

Di saat kondisi terdesak dan genting itu,  berbekal keyakinan dan keimanannya Prabowo berdoa kepada Allah, untuk diberikan  jalan keluar,  keselamatan. Sebuah cermin keimanan dan kepasrahan hanya kepada Allah Illahirobbi, dan atas kesadaran sebagai seorang hamba yang lemah.

Suatu yang tak terduga terjadi, ia yang sudah terkepung  dan masuk jalur ranjau bom itu, dapat terhindar dari berbagai perangkap, dan lepas dari jerat maut yang sudah di depan mata. Bagi Prabowo semua itu terjadi, tiada kuasa kekuatan manusia, selain pertolongan Allah SWT. Pengalaman batin yang selalu membekas dalam benaknya, bahwa sisa hidupnya adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

Banyak orang yang mendengar langsung  kisah spiritual Prabowo ini, menjadi  trenyuh dan tak terasa matanya berkaca-kaca. Sebuah kisah spiritual yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

***
Jika ditarik kebelakang, sesungguhnya kedekatan, Prabowo dengan kalangan Islam telah terjadi sejak lama,  khususnya dengan kaum pergerakan Islam.

Menurut penuturan Pak Abdul Qadir Djaelani, saat penulis berkunjung ke rumahnya belum lama ini, dialah di antaranya yang mengenalkan Prabowo dengan para tokoh Islam. Kisahnya, menurut tokoh pergerakan Islam, yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara karena melawan Orla dan Orba itu, terjadi sekitar akhir tahun 1980.

Awalnya, Prabowo dibawa dan dikenalkan ke Pak Ahmad Sumargono, kemudian berlanjut ke tokoh-tokoh pergerakan Islam lainnya. Dengan berjalannya waktu, saat Pak Ahmad Sumargono berjumpa di Jordania tahun 2000, Prabowo dipertemukan dengan Ustad Sambo yang kemudian menjadi guru ngajinya selama di sana. Suatu yang patut dihargai, di usia yang terbilang tidak muda lagi, Prabowo masih berkenan belajar mengaji.

Prabowo juga dikenal dekat dengan kalangan cendekiawan muslim yang bergabung di ICMI. Bahkan hubungannya dengan Adi Sasono, Dawam Rahardjo, BJ Habibie, dan hampir seluruh tokoh ICMI lainnya terjadi sangat intensif. Hal ini dapat dipahami karena dikala banyak kalangan, baik sipil maupun militer yang menolak gagasan berdirinya ICMI, Prabowo hadir dan banyak terlibat meyakinkan para tokoh nasional,  termasuk di jajaran para jenderal. Bahkan dialah yang memberikan masukan secara langsung tentang ICMI kepada Pak Harto. Jasa besar Prabowo ini tidak banyak diketahui orang.

Prabowo juga memiliki pergaulan yang  sangat luas.  Beliau bahkan memiliki hubungan spesial dan sangat dekat dengan Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Karena Prabowolah hubungan panas Gus Dur dengan Pak Harto di masa Orde baru,  kembali sejuk dan mesra. Saat Gus Dur memimpin NU,  PS juga tampak sering berkunjung dan  banyak membantunya. Wajar jika dimata Gus Dur, Prabowo adalah orang yang paling ikhlas berjuang, berkorban untuk bangsa dan negara.

Selain itu,  beliau juga menjalin hubungan akrab dengan banyak tokoh Kyai sepuh NU baik di Jateng maupun di Jatim. Bahkan silaturahmi itu selalu terjaga dengan akrab. Hubungan yang sama baiknya,  dilakukan Prabowo dengan para tokoh Muhammadiyah.

Malah kedekatan yang nyaris tanpa sekat terjadi antara Prabowo dengan Din Syamsudin, yang sempat menjadi ketua Umum Muhammadiyah dan MUI itu. Karena itu secara khusus,  di saat Prabowo mendirikan lembaga ‘thing thank’ Center for Policy and Development Studies (CPDS), pada tahun 1995, Mas Din diminta  mengawanginya sebagai direktur. Sangat pantas jika dalam banyak urusan penting, Prabowo selalu meminta saran Din Syamsudin.

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa  semakin mesranya hubungan kalangan Islam dengan Pak Harto, sehingga kabinet waktu itu berwarna hijau, sesunguhnya tidak dapat dilepaskan dari peran Prabowo. Karena sikapnya itulah Prabowo dipandang terlalu membela kalangan Islam.

Keterangan foto kompasiana.com

Di kalangan militer, Prabowo pula yang dituduh sebagai biang keladi terjadinya tentara “ijo royo-royo” yakni keberadaan banyak jenderal yang beragama Islam dan tentara yang tidak selalu memojokkan ummat Islam. Karena komitmen keislaman itu pula,  Prabowo banyak dimusuhi kalangan yang benci jika tokoh-tokoh Islam memegang jabatan strategis, dan Islam dapat berkembang secara sewajarnya di negara yang penduduknya mayoritas muslim ini.

Meski demikian komitmen kebangsaan Prabowo tidak perlu diragukan lagi. Dia tetap menjaga hubungan baik dengan para tokoh lintas agama lainnya. Komitmen itu setidaknya terlihat dari sikap dan tindakan Prabowo saat terjadi kerusuhan Mei 1998.

***
Jakarta saat itu, tengah terjadi kerusuhan,  kondisinya hampir tidak  terkendali. Tepat pukul 13.10,  tanggal 14 Mei 1998,   Prabowo tiba di kantor CIDES,  Kebun Sirih.  Penulis yang waktu itu sebagai peneliti di CIDES,  secara tidak sengaja ikut menyambut dan menyalami Prabowo. Beliau bertanya keberadaan ruangan Mas Adi Sasono dan Pak Ahmad Tirtosudiro,  yang sepeningalan BJ Habibie menjadi Wapres didaulat  sebagai PJ Ketua Umum ICMI.

Karena keduanya tidak di tempat,  penulis mengarahkan Prabowo untuk menemui Mas Adi Sasono dan Pak Ahmad Tirtoaudiro yang sedang rapat di Kantor Wapres Jl. Kebun Sirih. Dalam pertemuan dengan para petinggi ICMI, PS menanyakan,  bagaimana sikap ICMI terhadap kondisi saat itu. Beliau juga meminta pertimbangan,  apa yang harus dilakukannya.

Setelah bertemuan itu,  untuk maksud yang sama Prabowo kemudian melanjutkan kunjungan ke PP Muhammadiyah bertemu langsung dengan Amin Rais. Kemudian ke kantor PB NU bertemu Gus Dur,  lantas ke PGI bertemu dengan para pemuka Agama Kristen di Jalan Salemba Raya No.10.

Di sinilah terlihat kesigapan dan ketangguhan kepemimpinan Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad,  dalam mengatasi kondisi darurat.  Sementara saat itu Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI dan hampir seluruh petinggi TNI sedang berada di Madiun,  Jawa Timur.

Satu jam setelah pertemuan ICMI itu, penulis ditugaskan untuk menyiapkan draft naskah konferensi pers ICMI,  yang pokok isinya, agar ummat Islam tetap tenang dan tidak terpancing ikut dalam kerusuhan. Dalam hal pergantian kekuasaan, ICMI berpendapat harus dilakukan secara konstitusional. Sikap ini kemudian dibacakan Pak Ahmad Tirtosudiro, di gedung ICMI, pada pukul 10.15, tanggal 15 Mei 1998.

Tidak dapat dibayangkan jika pada kerusuhan 1998 tersebut, tidak ada campur tangan Prabowo untuk berkomunikasi intensif dengan para tokoh Islam, sudah dapat dipastikan ummat  akan menjadi korban, setidaknya mudah dijadikan  kambing hitam,  seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.

Karena itu wajar jika dalam Pilpres 2019 ini Prabowo mendapatkan banyak dukungan dari para tokoh Islam dan ummat Islam secara luas. Hal demikian sebanding dengan komitmen keislaman Prabowo yang sejak lama telah diperjuangkan secara bersama.(end)

*Penulis adalah mantan peneliti senior Center for Information and Development Stadies (CIDES)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry