Oleh: M. Shoim Anwar*)
Bulan Oktober tahun ini adalah Oktober pertama sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa internasional oleh badan PBB, ditandai dengan diadopsinya Resolusi 42C/28 secara konsensus dalam sesi Pleno Konferensi Umum ke-42 UNESCO tanggal 20 November 2023 di Markas Besar UNESCO di Paris, Prancis. Bahasa Indonesia menjadi bahasa ke-10 yang diakui sebagai bahasa resmi Konferensi Umum UNESCO.
Peristiwa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan pengakuan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia menjadi landasan historis sangat penting. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang menyatakan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” serta pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” menjadi pijakan formal dan konstitusional dalam memperlakukan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia juga telah diundangkan, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Hal tersebut diperkuat pula dengan PeraturanPresidenRepublik Indonesia No. 63 Tahun 2019. Dalam undang-undang di atas sebagian besar pasalnya menggunakan kata “wajib” dalam mengatur penggunaan bahasa Indonesia.
Salah satu pasal yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia adalah pasal 36, bunyinya: (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia. (2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi. (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Pada tahun 1990-an, di Surabaya khususnya, pernah digalakkan pemakaian bahasa Indonesia dengan agak gencar. Nama-nama gedung, perumahan, badan usaha, iklan, dll. yang terpampang di area publik harus diganti dengan bahasa Indonesia. Tidak sedikit papan nama yang dicoret menyilang. Yang menjadi pertanyaan, ketika undang-undang kebahasaan sudah dibentuk, mengapa justru penerapan hukumnya menjadi sangat lemah? Apakah ini merupakan sikap mendua pemerintah terhadap penggunaan bahasa Indonesia?
Yang paling banyak menggunakan kata/bahasa asing di area publik adalah nama perumahan atau bangunan, misalnya dengan menggunakan kata estate, hill, mansion, grande, residence, regency, town, valley, land, garden, cluster, house, dll. Aneh, perumahan di kota kecil, jauh dari keramaian, diperuntukkan masyarakat biasa, milik pengembang lokal, tidak untuk orang asing, tapi menggunakan kata/bahasa asing.
Penggunaan bahasa asing, sesuai pasal-pasal di atas, adalah melanggar aturan. Penggunaan bahasa asing untuk perumahan/gedung/bangunan adalah sikap rendah diri dan tidak menghargai bahasa Indonesia. Badan PBB telah mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Kemajuan teknologi komunikasi juga telah mampu mengatasi problem bahasa melalui penerjemahan, baik lisan maupun tulis, bahkan alih aksara juga dapat dilakukan. Patut diapresiasi beberapa bandara di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara bergantian untuk pemberitahuan, bahasa Inggris paling akhir. Tampak ada kebanggaan kultural saat menggunakan bahasa daerah.
Dibentuknya undang-undang/badan/lembaga/pusat bahasa tentu terkait dengan politik bahasa. Perkembangan bahasa dapat diarahkan melalui pembinaan dan pengembangan oleh badan yang dibentuk pemerintah. Badan bahasa adalah pihak terdepan dalam usaha rekayasa bahasa. Pelangaran terhadap undang-undang bahasa seharusnya direspons secara aktif. Badan bahasa bukan hanya bertanggung jawab secara kultural dalam pengembangan bahasa, tapi harus memiliki kepedulian lebih besar dalam usaha penegakan hukum kebahasaan sebagai representasi kelompok/masyarakat.
Rekayasa bahasa mungkin belum disikapi sebagai hal yang mendesak. Fakta menunjukkan, penegakan hukum pada bidang-bidang yang dianggap lebih krusial, kriminal dan korupsi misalnya, masih jauh dari harapan publik. Para aparat penegak hukum dan masyarakat mungkin menilai tidak penting terhadap pelanggaran bahasa. Bahasa akhirnya dibiarkan berkembang sesuai nalurinya.
Tampak sikap mendua atau ambivalensi pemerintah, juga masyarakat, dalam penggunaan bahasa Indonesia. Politik bahasa tentang pembinaan, mengembangan, dan penegakan aturan belum berjalan. Ketentuan undang-undang formal terkait penggunaan bahasa sulit berjalan sesuai hakikat hukum yang bersifat memaksa. Kata “wajib” dalam pasal-pasal terkait penggunaan bahasa Indonesia, dari perspektif pelaksanaanya, tidak lagi memiliki kewibawaan. Sanksi hukum terhadap pelanggaran bahasa juga tidak dicantumkan dalam undang-undang di atas. Aspek sosiologi hukum dan sosiologi bahasa menjadi faktor penting dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Udang-undang bahasa menerapkan prinsip nasionalisme sesuai dengan yang termaktub dalam pasal 25 tentang Bahasa Negara. Hal ini dikaitkan dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi dalam mengemban fungsi untuk kepentingan nasional. Fungsi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan kebanggaan nasional memiliki makna sangat penting dalam membangun identitas bangsa.
Bahasa Indonesia adalah lambang identitas. Di sisi lain, dalam pandangan cultural studies, identitas selalu berubah dalam lingkaran budaya. Ciri perkembangan bahasa yang bersifat alamiah dan manasuka menjadi tantangan besar dalam menegakkan nasionalisme bahasa. Prinsip hukum yang bersifat memaksa harus diambil agar tidak terjadi ambivalensi.
Slogan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sudah tepat, yakni “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing” . Artinya, sikap bahasa yang tercermin dari slogan di atas tidak hanya pada prinsip nasionalisme dan kultural, tapi juga prinsip internasionalisme.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya diri, memiliki identitas kultural yang kuat dan tetap mengikuti perkembangan dunia luar. Problem bahasa Indonesia bukan hanya menyangkut sisi kebahasaan semata, tetapi sikap pemerintah dan masyarakat justru lebih menentukan arah perkembangan bahasa Indonesia. Keberadaan undang-undang bahasa tergantung kita, apakah akan kita tegakkan atau kita biarkan menjadi macan ompong. Itulah yang perlu kita jawab dalam menyambut Bulan Bahasa dan Sastra.
*)Penulis adalah sastrawan, dosen Universitas Adi Buana Surabaya