Oleh: Abd Hannan*)

            Seiring pesatnya perkembangan teknologi media massa, beragam realitas sosial kehidupan masyarakat mengalami perubahan signifikan. Besarnya ketergantungan pada produk-produk teknologi seperti gadget, smartphone tanpa disadari telah menasbihkan masyarakat menjadi apa yang disebutnya sebagai homo technologicus (manusia teknologis), yakni  pengguna akut perangkat-perangkat canggih teknologi.

            Kecanggihan teknologi telah mampu memproduksi sekaligus mereproduksi realitas baru, digitalisasi dan virtualisasi. Jejering sosial seperti Facebook, Twitter, E-Mail, Instagram dan lainnya bergerak bebas, melebur kebudayaan dunia, melipat ruang waktu bahkan meretas tritori sehingga sanggub menerobos spatio-temporal hanya dalam sekali tekan enter.

Pendekatan struktural seperti mengatur penggunaan alat informasi dan teknologi seperti yang telah dijalankan oleh pemerintah beberapa waktu lalu perlu kita dukung. Harapannya adalah untuk mengantisipasi dan menangkal segala macam tindakan yang berbau hoax, apapun itu bentuknya.

Dalam konteks pembangunan sosial kultural Indonesia, digitalisasi dirasa telah berdampak pada banyak hal, mulai dari sosial ekonomi, politik, pendidikan bahkan pada yang pribadi sekalipun seperti interakasi dan komunikasi. Teknologi media massa menggiring realitas masyarakat Indonesia dalam wajah dan rupa yang kompleks, saat bersamaan turut pula membentuk ruang public baru.

 

Demokrasi dan ruang public (Public Space)

            Kehadiran produk-produk teknologi dengan layanan fitur media sosial (medsos) yang lengkap harus diakui berperan besar memperluas ruang publik. Virtualisasi dan digitalisasi bukan semata telah meringankan dan membantu aktivitas keseharian, namun juga dapat berfungsi sebagai wahana baru. Masyarakat lebih bebas berpendapat, menyampaikan segala aspirasi dan keluhan tanpa lagi dibatasi ruang-waktu.

            Jurgen Hebermas menyebutkan bahwa ketersediaan ruang public (public space) bagi perwujudan demokrasi adalah keniscayaan. Ruang public memiliki fungsi besar terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, karena dalam ruang publiklah segenap lapisan masyarakat akan memiliki ruang dan kesempatan yang cukup luas melibatkan diri, berpartisipasi membangun wacana untuk mengimbangi sekaligus mengawasi kebijakan negara. Partisipas dalam bentuk demikian penting dilakukan, karena–meminjam bahasa Lord Acton (1834-1902)—kekuasaan itu cenderung korup dan menindas. Karenanya, perlu dikontrol dan dikawal oleh segenap lapisan masyarakat.

            Dengan demikian, penggunan konsep ruang public  dalam menganalisa fenomena era digital di atas sejatinya mengandung keseragaman dengan nilai-nilai demokratis. Sekurang-kurangnya keseragaman tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, berkaitan dengan kebebasan. Demokrasi sendiri mengandaikan pada perwujudan kebebasan, yakni kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh sistem politik dan hukum. Dalam pemaknaan seperti ini, digitalisasi sebagai perluasan ruang public bisa menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pendapat, melemparkan kritik, mengawasi pemerintah, dan membangun wacana public yang populis. Kedua, transparansi. Era digitalisasi boleh jadi merupakan tantangan baru bagi keberadaan demokrasi yang masih menjalankan cara-cara konvensional, namun akan sangat membantu dalam mewujudkan tatakelola pemerintahan yang transparan dan akuntable. Dengan memanfaatkan alat-alat digital-virtual, pemerintah akan lebih terbantu menjalankan program dan agenda kepemerintahan, seperti berkenaan dengan sosialisasi terhadap masyarakat menyangkut kebijakan publik, dan pada saat bersamaan masyarakat sendiri akan lebih mudah mengakses dan mengetahuinya.

 

Kendala

            Ketika tingginya kualitas pendalaman demokrasi ditentukan oleh perluasan pertisipasi politik dalam aksi kolektif warga dalam memengaruhi ruang politik, maka sebaliknya setiap aksi kolektif waraga ataupun partisipasi politik warga dalam arena demokrasi dilandasi oleh informasi hoax atau fitnah justru dapat menghancurkan tatanan demokrasi. Jelas, bagi cita-cita perwujudan demokrasi, fenomena seperti ini adalah sebuah kendala, perlu kesigapan dan kesungguhan menanganinya.

            Beragam berita bohong yang tidak berkesesuaian dengan fakta mengalir deras, memenuhi konten-konten media sosial sehingga menjadi viral yang memantik perdebatan, spekulasi, dan perpecahan di kalangan masyarakat. Hal itu terjadi karena begitu derasnya informasi mengaliri ruang digital public, dan berita yang tersebar pun tidak selalu berpihak pada kebenaran (right news), melainkan sengaja disebarluaskan demi sebuah tujuan politis, kepentingan dan kekuasaan. Ironisnya, kita sendiri tidak cukup kritis dan bijak dalam memilih dan memilahnya.

            Fakta hoax inilah yang belakangan ini merongrong demokrasi kita, Indonesia. Aneka ragam pemberitaan palsu disuguhkan ke permukaan public, membenturkan akal sehat dengan isu-isu sosial yang berkaitan dengan identitas, kebangsaan, bahkan pada dimensi yang paling sacral pun, agama. Isu-isu sensitive diproduksi sedemikian rupa, harapannya tidak lain untuk memperkeruh sosial politik dan menebarkan kebencian di tengah masyarakat yang kebetulan tengah mengalami krisis keberagaman, pluralitas, dan kebiasaan literasi.

            Oleh sebab itu, menuju era demokrasi digital diperlukan kematangan diri dalam menelan segala informasi. Pada satu sisi kegadiran media sosial bisa jadi penyangga tegaknya demokrasi, namun pada sisi lain dapat pula menjadi penyakit kronis yang  dapat melumpuhkan tatanan demokrasi itu sendiri. Pendekatan struktural seperti mengatur penggunaan alat informasi dan teknologi seperti yang telah dijalankan oleh pemerintah beberapa waktu lalu perlu kita dukung. Harapannya adalah untuk mengantisipasi dan menangkal segala macam tindakan yang berbau hoax, apapun itu bentuknya.

            Bersamaan dengan itu penting juga melakukan pendekatan kultural, mengkampanyekan penggunaaan internet cerdas. Harapannya agar pengguna media-media sosial tidak mudah terkelabuhi dan mengkomsumsi segala bentuk konten media sosial secara taken for granted.

            Dengan begitu, perwujudan internet sehat adalah perjuangan segenap lapisan bangsa guna mewujudkan  tatanan demokrasi yang kuat, baik secara procedural maupun subtantif.

 

Penulis adalah Pengamat sekalgius  akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry