“Selain itu, kalau bawaan biasanya temperamen atau sensi (gampang marah) ketika lapar, ternyata selama di ARMUZNA bisa terkontrol dalam melayani karakter Jemaah yang beragam.”
Oleh Syarif Thayib (Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya)
NRIMO ing pandum (bersyukur, berdamai dengan keadaan), tepo seliro (menjaga perasaan orang lain), dan ngalah (mengalah demi cinta Allah/ Mahabbatillah) adalah falsafah hidup kebanyakan orang tua tempo doeloe.
Setidaknya, ketiga ilmu tuwo (ilmu tua) itulah yang sedang diujikan terhadap jemaah haji selama di ARMUZNA (Arofah – Muzdalifah – Mina), 8 – 13 Dzulhijjah 1445 H. atau bertepatan dengan 14 – 19 Juni 2024 menurut kalender Arab Saudi kemarin.
Mereka yang tetap bersyukur, berdamai dengan keadaan, menjaga perasaan orang lain, dan mengalah demi meraih cintaNya, tentu berbuah haji mabrur (dimudahkan urusannya selama ibadah haji, bahkan setelahnya).
Benar kata Gus Men, panggilan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, bahwa kondisi Mina yang dikeluhkan banyak Jemaah “dari doeloe seperti itu”. Panas, tandus, dan sempit.
Kawasan ARMUZNA seperti kota mati, kecuali di musim haji. Orang Saudia sendiri enggan berdomisili di sana. Mereka yang sedang berumrah di luar musim haji pun dianggap “aneh” jika singgah di Muzdalifah dan Mina.
Berbeda dengan Arofah yang memiliki Jabal Rahma atau bukit cinta. Tempat perjumpaan Adam dan Hawa setelah ratusan tahun berpisah usai menjalani “hukuman” berpindah tempat, dari hidup di Surga menjadi penghuni dunia.
Konon Muzdalifah dan Mina menjadi distinasi “terlarang” untuk disinggahi Jemaah umroh yang ingin mengenang pengalaman atau membayangkan bagaimana beratnya ibadah tirakat keluarga Nabi Ibrahim disana. Jamarat (tempat lontar jumroh) bahkan ditutup selain musim haji.
Seluruh Jemaah haji yang abai dengan falsafah “Nrimo ing pandum, tepo seliro, dan ngalah” pasti akan kapok berhaji, atau bahkan teriak protes ke mana-mana dengan menyalahkan PANITIA yang tidak profesional, fasilitas tidak manusiawi, dana haji dikorupsi, dan seterusnya begitu, hingga hari kiamat.
Padahal kalau saja ketiga falsafah di atas dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari selama ibadah haji hingga setelahnya, maka mudah bagi kita menjadi orang besar dan mulia (greatness) di mata siapa pun.
Bukankah kemabruran haji seseorang balasannya adalah Surga di dunia sekarang, maupun kelak di akhirat? “Karena sesungguhnya (haji maupun umrah) dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak” (HR. Tirmidzi).
Lihatlah, tokoh-tokoh dunia yang dimuliakan oleh mayoritas manusia lintas agama, seperti baginda Rasulullah SAW (Islam), Mahatma Gandhi (Hindu), Mother Teresa (Nasrani), dan lain-lain adalah mereka yang menjalani hidup dengan syukur, fokus/totalitas membantu sesama demi meraih cintaNya.
Sebagai petugas haji, tentu saya memperhatikan betul bagaimana sikap Jemaah ketika menghadapi ibadah ARMUZNA. Mayoritas dari mereka memang sudah siap mental menghadapi “ibadah berat” ini sebagaimana disampaikan berkali-kali dalam Manasik. Meski sebagian lain tetap mengeluh.
Saya pribadi sengaja menguji “Nrimo ing pandum” ketika antri di kamar mandi. Jatah waktu ke Toilet sama sekali tidak saya kurangi. Kalau di tanah air sehari bisa empat atau lima kali ke kamar mandi, maka ketika di ARMUZNA pun saya lakukan dengan jumlah sama, tetapi durasinya saja yang dipersingkat. Maklum, waktu antrian kamar mandi selama di ARMUZNA rata-rata butuh waktu minimal 20 menit untuk dapat giliran masuk.
Ternyata, ya bisa. Bahkan dapat bonus SEMBUH dari kebiasaan beser atau kepuyuh (keluar kencing sebelum melepas sarung). Juga sembuh dari kebiasaan buang air besar darah setiap kondisi capek dan seterusnya.
Selain itu, kalau bawaan biasanya temperamen atau sensi (gampang marah) ketika lapar, ternyata selama di ARMUZNA bisa terkontrol dalam melayani karakter Jemaah yang beragam.
Entahlah, ARMUZNA seperti kawah candradimuka kematangan emosi. Saya beruntung memiliki Jemaah dari Gresik dan Trenggalek yang identik dengan pengusung tiga falsafah di atas. Maka saya pun mudah saja mengalah ketika Kloter 95 Surabaya “dipaksa” pulang paling akhir dari Mina.
Saya bersyukur, ketika melatih merendahkan hati dan ego disana, Jemaah haji justru makin patuh. Sebagian mereka yang semula berniat ingin berlama-lama di Mina demi mengejar sunnah utama (Nafar Tsani), akhirnya luluh, manut pada keinginan mayoritas Jemaah untuk Nafar Awal, atau pulang ke Hotel Makkah sehari lebih awal.
Kini, semakin banyak Jemaah haji tersadar, bahwa komplain atau protes kepada manusia (baca: Panitia Haji) melalui media dan lain-lain adalah tindakan sia-sia yang merugikan dirinya sendiri. Lebih baik tumpahkan saja unek-uneknya itu kepada yang memerintahkan kita untuk berhaji, yaitu Allah SWT.
Dalam Kitabul Ka’bah karya Prof Dr Moh Ali Aziz, MAg. (2016) guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya disebutkan contoh doa berharap kompensasi “pengorbanan” dengan terkabulnya semua permintaan:
“Wahai Allah, Engkaulah yang menyuruh kami hadir di tempat ini untuk berdoa, dan sekarang kami hadir, seraya berdoa. Engkaulah Yang Maha Memberi, Maha Mengampuni, dan Maha Menepati Janji. Terimalah doa kami, sebagaimana terkabulnya doa orang-orang mulia sebelum kami. Wahai Allah, ambil alihlah semua masalah kami, sebagaimana Engkau menolong orang-orang yang berserah diri sebelum kami.” Alfatihah. (*)