(FT/VOA)

Oleh: Munawir Aziz*

Bagaimana menjelaskan teror, kekerasan atas nama agama yang selama ini mencemari wajah Islam? Bagaimana memahami gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan agama sebagai komando politik, dan di beberapa kelompok, mengusung khilafah menggantikan demokrasi.

Melalui buku ini, Bassam Tibi mengajak pembaca memahami fenomena terbaru dalam relasi Islam dengan politik. Menurutnya, perlu ada pembedaan antara Islam dan gerakan politik. Bagi Tibi, Islamisme mempunyai agenda politik, dengan tujuan mengubah tatanan negara, dengan menggunakan agama sebagai modal kampanyenya. Secara keras, Tibi menganggap kelompok Islamis bukan Islam.

Menurut Bassam Tibi, ciri utama dari kaum Islamis yakni membangun pemahaman baru tentang Islam sebagai din-wa-daulah, yakni agama yang bersatu dengan tatanan negara. Para Islamis, ketika berbicara tengan al-hall al-islami, mereka tidak memaksudkan demokrasi melainkan memperbarui tatanan politik yang ada untuk mengupayakan berdirinya negara syariah Islam.

Dalam ungkapan Tibi, Islamisme memiliki tujuan utama untuk membangun jembatan antara agama dan negara. “Tidaklah berlebihan untuk berpendapat bahwa Islamisme menempatkan kesatuan agama dan negara, nyaris pada pijakan yang sama  dengan syahadat sebagai indikator tentang seberapa Islaminya seseorang,” tulis Tibi (hal.43).

Islam dan Islamisme: Titik Beda

Menurut Tibi, untuk membedakan antara kelompok Islamis dan bukan, dengan mudah melempar pertanyaan untuk analisa. Pertanyaanya, yakni apakah Islam untuk anda bermakna iman, ataukah suatu tatanan negara?. Nah, dari jawaban ini, akan diketahui apakah seseorang itu Islamis atau tidak. Jika Islamis, jawaban yang disampaikan bahwa Islam sebagai tatanan negara.

Bassam Tibi berpendapat, bahwa gerakan Islam untuk tujuan politik menghendaki gerakan internasional sebagai spektrumnya. “Islamisme mengubah universalisme Islam menjadi internasionalisme politik yang berusaha menggantikan tatanan sekuler yang ada dari negara-negara yang berdaulat dengan satu Islam” (hal. 44).

Menurut Bassam Tibi, doktrin-doktrin Islamisme cenderung memahami Islam sebagai korban. Menurutnya, titik krusial berupa momentum Perdamaian Westphalia menjadi kuncinya. “Islamisme berusaha menggantikan sistem yang ada di negara berdaulat, yang muncul setelah Perdamaian Westphalia pada 1648 dengan tatanan negara yang berpusat pada hukum Ilahi. Setelah revolusi Prancis dan ekspansi Eropa, sistem internasional yang dibuat di bawah Perdamaian Westphalia menyebar ke seluruh dunia,” jelas Tibi (hal. 303).

Menurut Tibi, doktrin-doktrin dari kelompok Islamis, berusaha membayangkan pembalikan proses ini. Dalam ungkapan Tibi, Islamisme pada inti terdalamnya, merupakan kebencian terhadap Yahudi, karena menganggap orang-orang Yahudi menguasai segala sendi kehidupan. Islamisme menolak Yahudi, karena menganggap usaha-usaha politik dan bisnis dari kelompok ini membahayakan sekaligus—seringkali membenturkan Islam.

Buku ini, yang diakui sebagai karya akademis terakhir dari Bassam Tibi, ditulis dengan tujuan untuk membela agama Islam dari politisasi. Selain itu, Tibi juga bermaksud menjembatani peradaban Barat dan Islam. Maka dari itu, dari dua tujuan ini, penting untuk menetapkan perbedaan antara Islam dan Islamisme. Karena, dari jalur ini, tujuan-tujuan akademik Bassam Tibi dapat menemukan jalurnya. (*)

*Munawir Aziz, Dosen di Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang, Bergiat di Gerakan Islam Cinta dan Jaringan GusDurian.

Data Buku:

Penulis            : Bassam Tibi

Judul Buku     : Islam dan Islamisme

Penerbit         : Mizan

Cetakan          : Agustus 2016

Halaman         : xxii+374 hal.

ISBN                : 978-979-433-968-8

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry