JAKARTA | duta.co – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengaku sudah pernah membahas laporan Bank Dunia soal penilaian proyek infrastruktur di era Jokowi yang dianggap amburadul. Namun, inti laporan itu, menurut Bambang, untuk penguatan KPBU (Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha) terkait penyediaan infrastruktur. Sedang Menkeu Sri menganggapnya sebagai masukan Bank Dunia kepada pemerintah.
“Itu sudah dibahas dengan kami waktu itu laporannya. Jadi, yang kami dapatkan dari laporan World Bank (Bank Dunia) adalah kami perlu terus perkuat skema KPBU dan memberikan keyakinan kepada potensial investor bahwa investasi di infrastruktur Indonesia itu sudah ada skemanya dan memberikan kepastian,” tutur Bambang Senin (7/1/2019).
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengakui laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program (InfraSAP) sudah dibahas Bank Dunia dengan pemerintah dan menteri-menteri terkait. Bahkan, ia mengaku menyambut baik laporan yang mengkritisi infrastruktur Pemerintahan Jokowi tersebut sebagai masukan.
“Saya rasa masukan baik saja. Karena itu sudah dibahas dengan pemerintah dan menteri terkait. Saat itu, dari PU (Kementerian PUPR), Kementerian Perhubungan, Menteri BUMN (Rini Soemarno) dan Bappenas,” ujarnya seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (8/1/2019).
Menurut Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, Bank Dunia melakukan kajian atas permintaan pemerintah untuk melihat seluruh aspek pembangunan infrastruktur. Kajian dirasa penting karena Indonesia sebagai negara besar masih memiliki ketimpangan (gap) infrastruktur yang sangat tinggi.
“Sehingga, pembangunan infrastruktur itu penting. Tapi, bagaimana cara melaksanakan agar bisa sustainable(berkelanjutan) dan baik, jadi mereka melakukan assessment dari mulai kita merencanakan, kemudian issue-nya dari perencanaan BUMN dan pembiayaan. Jadi, baik-baik saja, kalau ada masukan menurut saya kan wajar,” imbuh dia.
Dalam laporan yang dirilis pada Juni 2018 lalu, Bank Dunia menjelaskan proyek infrastruktur Indonesia tidak diprioritaskan berdasarkan kriteria atau seleksi yang jelas. “Reputasi proyek di Indonesia berkualitas rendah dan tidak direncanakan dengan baik,” tulis laporan Bank Dunia.
Selain itu, pilihan metode pengadaan diputuskan terlalu dini sebelum analisis mendalam. Misalnya melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), business to business (B2B), atau lewat pembiayaan publik.
Padahal, negara lain mendahulukan proses studi dan analisis bertahap masalah ini sebelum akhirnya mengambil keputusan terkait skema pengadaan dan pembiayaan yang tepat. Sejumlah negara juga menyelesaikan Kajian Akhir Prastudi Kelayakan atau Final Business Case (FBC) untuk memberikan pemahaman penuh terkait proyek, sebelum memutuskan skema pengadaan dan pembiayaan.
“Di Indonesia, keputusan untuk menggunakan skema KPBU dibuat sebelum Kajian Awal Prastudi Kelayakan atau Outline Business Case (OBC) lengkap,” tulis Bank Dunia.
Selain itu, Bank Dunia mengungkapkan analisis awal yang disediakan oleh Badan Kontrak Pemerintah atau Government Contracting Agency (GCA) kerap kali tidak lengkap dan disangsikan keandalannya. Sebelum diusulkan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), CGA dituntut menyiapkan studi pendahuluan terkait sisi hukum, teknis, ekonomi, komersial, lingkungan, dan aspek sosial dari proyek KPBU. Namun dalam praktiknya, mereka jarang melakukan hal tersebut.
Menurut Bank Dunia, ini disebabkan pemberian instruksi yang terbatas tentang format studi pendahuluan dan kendala pendanaan. Bank Dunia menilai Bappenas kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran memadai, untuk mengkoordinasi CGA sehingga bisa memberikan hasil analisis terbaik untuk setiap proyek.
Pembiayaan Proyek dan Pembebasan Lahan
Dalam menjalankan pembangunan infrastruktur, Bank Dunia berpendapat, pemerintah dan pemangku kepentingan tidak memiliki koordinasi yang baik, sehingga menciptakan kebingungan bagi investor.
“Mereka tidak yakin harus berkomunikasi dengan siapa dan pihak yang akan memastikan komitmen pemerintah dalam memobilisasi dana proyek infrastruktur,” tulis Bank Dunia.
Padahal, beberapa tahun terakhir pemerintah telah membenahi berbagai kendala proyek infrastruktur agar dapat memasarkan proyek infrastruktur Indonesia. Dalam catatan Bank Dunia, langkah yang dilakukan oleh pemerintah antara lain, meningkatkan peran Kementerian Keuangan dan Bappenas dalam proyek infrastruktur.
Selain itu, pemerintah telah menyiapkan skema suntikan pembiayaan melalui dana dukungan tunai untuk proyek infrastruktur atau Viability Gap Fund (VGF) dan pola ketersediaan layanan atau Availability Payment (AP). Pemerintah juga menyiapkan Lembaga Pengelola Aset Negara (LMAN) untuk membantu pembebasan tanah.
Atas upaya itu, pemerintah berhasil meningkatkan pembiayaan infrastruktur dalam dua tahun terakhir. Tercatat, ada 13 proyek KPBU yang telah mencapai tahap financial closing dalam kurun waktu 2015-2017. Total nilai investasi proyek-proyek tersebut tercatat US$8,94 miliar setara Rp 129,63 triliun mengacu kurs Rp14.500 per dolar AS.
Disebutkan, dalam skema VGF pemerintah menanggung 49 persen dari biaya infrastruktur yang layak secara ekonomi tetapi tidak layak secara finansial. Skema ini belum digunakan secara luas, bahkan sama sekali belum diimplementasikan oleh investor asing. Salah satu proyek yang menggunakan skema VGF adalah Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur.
“Mekanisme dukungan pembiayaan pemerintah, misalnya VGF dan AP dinilai terlalu lambat dan tidak terkoordinasi dengan baik,” tulis Bank Dunia.
Riset Bank Dunia menyebut keterlambatan pembebasan lahan infrastruktur menimbulkan biaya sekitar US$5 miliar – US$10 miliar per tahun. Tertundanya akses kepada lahan ini digolongkan sebagai salah satu kendala utama investasi swasta di proyek infrastruktur.
Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan Undang-Undang No. 12/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang memberikan kekuatan hukum untuk akuisisi tanah untuk kepentingan umum. Bank Dunia menyebut, meskipun ada kemajuan dengan berlakunya beleid itu, namun masih ada hambatan signifikan bagi ketepatan waktu pelaksanaan pembebasan lahan.
Kehadiran Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) pada tahun 2016 juga dinilai belum cukup untuk mengentaskan masalah pembebasan lahan. Pada 2017, LMAN menyiapkan anggaran pembebasan lahan sebesar Rp16 triliun.
Alokasinya, untuk jalan tol sebesar Rp13,3 triliun, infrastruktur kereta api sebesar Rp3,8 triliun, bendungan sebesar Rp2,4 triliun, dan infrastruktur pelabuhan Rp500 miliar. Setelah itu, jumlah dana untuk pembebasan jalan tol ditambah menjadi Rp25,3 triliun. Namun demikian, dana tersebut belum cukup.
Hingga akhirnya, pemerintah membuka peluang bagi swasta dan Badan Usaha Milik negara (BUMN) untuk terlebih dulu membeli tanah proyek infrastruktur pada Proyek Strategis Nasional (PSN). Kemudian, pemerintah melunasinya lewat LMAN. Kendati demikian, Bank Dunia menilai Pemerintah tidak menyediakan informasi yang berkaitan dengan prosedur dan waktu pembayaran secara gamblang.
“Pendanaan LMAN harus mencukupi untuk pembebasan lahan, dan proses persetujuan LMAN harus bisa dilacak dengan cepat. Pemerintah juga harus memperoleh semua lahan infrastruktur sebelum financial closing proyek,” kata Bank Dunia.
Rekomendasi Bank Dunia
Melihat berbagai persoalan dalam proyek infrstruktur di Indonesia maka Bank Dunia memberikan beberapa rekomendasi yang terbagi dalam rekomendasi jangka pendek, menengah, dan panjang.
Dalam jangka pendek Bank Dunia mengajukan sejumlah rekomendasi. Pertama, Bank Dunia menyarankan Bappenas untuk mengembangkan model proposal proyek infrastruktur, menetapkan kriteria untuk menilai, dan mengembalikan proposal kepada GCA jika proposal dan informasi yang diterima tidak lengkap atau berkualitas.
Kedua, meningkatkan kapasitas staf unit KPBU di Kementerian Keuangan melalui penugasan dan keterlibatan dalam persiapan transaksi KPBU. Selain itu, mengalihkan jabatan kepala unit KPBU Kementerian Keuangan ke posisi Eselon satu.
Ketiga, mengubah proses dan koordinasi bagi lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan dana pembebasan lahan secara cepat.
Keempat, pemerintah harus memastikan mitigasi risiko yang tepat dapat diimplemntasikan bagi setiap proyek infrstruktur, sehingga menarik investor swasta. Selain itu pemerintah juga perlu mengembangkan model perjanjian konsesi untuk sektor-sektor utama.
Kelima, Bank Dunia menyarankan Menteri Keuangan untuk meningkatkan batasan suntikan dana 49 persen pada VGF untuk proyek tertentu. Di samping itu, membuka peluang untuk penggunaan skema VGF dan AP dalam satu proyek.
Keenam, memberikan mandat kepada pemenang proyek pembebasan lahan untuk memastikan akuisisi lahan selesai 100 persen sebelum financial closing.
Ketujuh, mengembangkan dasbor yang menyediakan dan mengumpulkan informasi tentang proyek-proyek KPBU yang sedang dipersiapkan, proses transaksi, dan implementasi, sehingga dapat dipantau oleh pejabat senior pemerintah.
Bank Dunia juga menyarankan pemerintah untuk membuat konsep dan model awal sebagai panduan bagi CGA sebelum pelaksanaan OBC.
Dalam jangka menengah, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah untuk meninjau ulang kompleksitas peraturan dan standar akuntansi untuk skema VGF dan AP, guna memastikan bahwa proses aplikasi VGF dan AP efisien dan memiliki dampak finansial yang diharapkan.
Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat konsolidasi instrumen pendukung dari Kementerian Keuangan, misalnya VGF dan AP di bawah satu entitas yang bertanggung jawab untuk persetujuan dan pencairan dana tersebut.
CNNIndonesia.com telah menghubungi Bank Dunia terkait publikasi ini. Namun, Bank Dunia mengakui kebenaran yang tercantum dalam laporan tersebut, meski berkomentar bahwa laporan tersebut belum final. “Artikel-artikel ini mengutip sebuah laporan Bank Dunia yang saat ini tengah difinalisasi dalam kerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Laporan ini berjudul Indonesia Infrastructure Financing Sector Assesment Program (InfraSAP),” tulis Bank Dunia. (hud/CNNIndonesia.com)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry