:Dampak sosial dari kebijakan ini terasa hingga ke akar masyarakat. Solidaritas lintas agama dan golongan menguat.”
Oleh: Dr H ROMADLON, MM*

DI tengah langit Gaza yang terus memerah oleh dentuman bom dan jeritan anak-anak yang tertimbun reruntuhan, Indonesia mengirimkan sinyal kuat dari ujung timur Asia: sebuah niat untuk menyelamatkan, bukan hanya menyaksikan penderitaan.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan inisiatif untuk mengevakuasi 1.000 korban luka dari Gaza ke Indonesia. Bagi sebagian pihak, ini mungkin mengejutkan. Namun, bagi bangsa Indonesia, ini adalah penegasan jati diri: hadir untuk kemanusiaan.

Langkah ini tidak semata-mata bersifat simbolik. Ia membawa pesan yang lebih dalam: bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, siap memainkan peran nyata di panggung global. Dalam konteks konflik berkepanjangan di Palestina, inisiatif ini menjadi satu dari sedikit respons konkret yang muncul di tengah kelesuan diplomasi internasional.

Diplomasi Humanis dan Aktif

Kebijakan evakuasi ini mempertegas arah baru diplomasi Indonesia: aktif, humanis, dan berani mengambil risiko moral. Presiden Prabowo tidak hanya mengecam kekerasan, tetapi mengambil langkah nyata dalam menyelamatkan jiwa—sebuah tindakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dijunjung tinggi.

Evakuasi ini tidak dimaksudkan sebagai relokasi permanen. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa para korban yang dibawa ke Tanah Air tetap menjadi bagian dari bangsa Palestina. Mereka dirawat, dipulihkan, dan diberi ruang untuk kembali melanjutkan perjuangan saat situasi memungkinkan. Ini adalah bentuk tanggap darurat, bukan penghapusan identitas.

Jejak Strategis dan Nilai Kemanusiaan

Secara strategis, inisiatif ini memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan moral di kawasan Global South dan dunia Islam. Di tengah kebuntuan diplomasi dan minimnya tindakan nyata dari negara-negara besar, Indonesia memilih jalur keberanian: bergerak, bukan hanya bersuara.

Dalam perspektif keislaman, tindakan ini berakar pada prinsip hifz al-nafs—perlindungan jiwa—yang merupakan salah satu tujuan utama dalam maqashid al-syariah. Tindakan menyelamatkan nyawa, apalagi dari kalangan mustadh’afin (tertindas), bukan hanya kewajiban politik, tetapi juga amanat spiritual. Ini adalah bentuk jihad kemanusiaan, tanpa senjata, namun penuh makna.

Langkah ini juga membuka ruang kerja sama yang lebih luas antara pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Dengan pengawasan ketat, proses seleksi, serta penguatan kapasitas medis dalam negeri, tantangan yang muncul—termasuk soal keamanan dan anggaran—dapat dikelola dengan baik.

Solidaritas Tanpa Batas

Dampak sosial dari kebijakan ini terasa hingga ke akar masyarakat. Solidaritas lintas agama dan golongan menguat. Empati kolektif tumbuh, terutama di kalangan muda. Bagi generasi milenial dan Gen Z, kebijakan ini membuka cakrawala baru tentang peran Indonesia di dunia: bahwa kekuatan tidak selalu berarti dominasi, melainkan kemampuan untuk melindungi dan menyembuhkan.

Evakuasi ini juga menjadi etalase nilai-nilai kemanusiaan Indonesia: gotong royong, kepedulian, dan keberanian moral. Di saat banyak negara memilih berhitung untung rugi, Indonesia memilih jalan welas asih. Tidak untuk mengganti Gaza dengan Gresik, atau Rafah dengan Riau, tetapi memberi ruang aman sementara bagi mereka yang hampir kehilangan segalanya.

Sebagai penutup, di saat Dunia termangu dan hanya menonton saja, maka Indonesia bertindak tegas.

Dalam dunia yang kian apatis, langkah Indonesia mengevakuasi korban Gaza adalah pernyataan sikap: bahwa keberpihakan kepada yang lemah bukan sekadar slogan. Bahwa kekuatan bisa hadir dalam bentuk tangan yang menolong, bukan hanya yang menggenggam kekuasaan.

Presiden Prabowo Subianto membawa Indonesia ke panggung dunia tidak dengan gebrakan politik, melainkan dengan langkah kemanusiaan yang nyata. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi refleksi dari semangat bangsa yang selalu berpihak pada mereka yang tertindas.

Ketika sejarah nanti mencatat tragedi Gaza, dunia akan mengenang bahwa pernah ada negeri di ujung timur yang membuka pintu—bukan untuk memindahkan, tetapi untuk menyelamatkan. Itulah Indonesia. Wallahu A’lamu Bishawwab.

*-Dr H ROMADLON, MM adalah Alumni S-3 UIN SATU Tulungagung. Pemberdaya Masyarakat di Bidang Sosial dan Pendidikan Islam. Wakil Ketua PW ISNU Jatim. Ketua Komisi Hubungan Ulama dan Umara MUI Provinsi Jatim. Ketua Yayasan Sosial dan Pendidikan Al-Huda Insan Kamila Grogol Kediri.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry