Oleh: Zulfikar Ardiwardana Wanda, SH, MH *

INDONESIA sebagai negara majemuk memiliki varian perbedaan horizontal baik suku, ras, budaya, agama, aliran kepercayaan, golongan, bahasa dan sebagainya yang terbalut dalam kesepakatan luhur (modus vivendi)kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini sebagai wujud dari nilai-nilai yang digali dan terus-menerus lestari menjadi budaya hingga saat ini jauh sebelum bangsa Indonesia menyatakan kemerdekannya tanggal 17 Agustus 1945.

Sepenggal frasa dalam bahasa jawa kuno “Bhinneka Tunggal Ika” yang disadur dari kitab Sutasoma buah karya Empu Tantular abad ke-14 M yang frasa lengkapnya berbunyi “Rwaneka dhatu winuwus Budha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”mengandung falsafah kehidupan yang begitu mendalam betapa eratnya persatuan dan kesatuan yang dipupuk dalam ikatan primordial di tengah-tengah perbedaan tatanan sosial kehidupannya.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 mejadi awal tonggak sejarah (milestone) dalam mempersatukan tekad perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari cengkraman penjajah dalam ikatan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu guna meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang membuahkan hasil kemerdekaan Indonesia 17 tahun kemudian.

Negara Indonesia sebagai negara yang memiliki kuantitas dan kualitas kebhinnekaan yang tinggi, pergulatan baik fisik maupun polemik menjadi suatu keniscayaan yang sulit dielakkan yang berpotensi mengancam persatuan dan persatuan bangsa.

Hal itu harus disikapi dengan bijak dan dewasa sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi guna mencegah timbulnya fenomena sosial yang lebih ekstrem seperti anarkisme, intoleransi, bahkan gerakan separatisme dan terorisme yang terjadi di dalam pergaulan masyarakat dewasa ini.

Salah satu pertentangan yang tengah menyedot perhatian publik adalah merebaknya gejala intoleransi agama yang dibalut dengan tindakan radikalisme, fundamentalisme dan anarki, terutama pemeluk agama yang sama tapi memiliki aliran paham yang berbeda yang kerap terjadi dewasa ini. Kasus-kasus intoleransi paham aliran keagamaan di Indonesia pada lazimnya turut ditorpedo oleh penyebaran kebencian (hate speech), pengekangan aktivitas, pelabelan takfiri tanpa pemahaman keagamaan yang holistik dan sikap kedewasaan, dan sebagainya.

Intoleransi agama dan paham keagamaan ini juga dilihat dengan munculnya paham dan gerakan fundamentalisme dari kelompok aliran keagamaan dalam hal ini pengusungan konsep khilafah yang berpotensi memberangus Pancasila sebagai falsafah pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk (plural society).

Perlu dicamkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama (religion state) tapi merupakan negara kebangsaan yang religius (religious nation state). Gejala intoleransi juga bisa diteropong dalam hal penggunaan baju agama untuk kepentingan politik yang kerapkali dijumpai ketika menjelang pesta demokrasi seperti ajang pilpres, pileg maupun pilkada.

Politisasi agama maupun paham keagamaan muncul ke permukaan karena adanya manipulasi atau rekayasaantara zona agama dan zona kepentingan politik yang muaranyaberujung lepasnya nilai-nilai agama dari sukmanya sebagai ajaran moralitas tapi bergeser untuk mengakumulasikan dukungan politik dengan cara yang tidak sehat.

Akibat aksi intoleran seperti ini mengebiri perlindungan dan pengakuan HAM yang dijamin negara melalui konstitusi dan peraturan pelaksananya.

Di tengah-tengah fenomena sosial yang dipaparkan di atas, beberapa waktu ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait pengujian UU No. 4 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang dibacakan pada tanggal 7 November 2017 menyatakan bahwa permomohonan penghayat kepercayaan memiliki konstitusionalitas untuk memasukkan kepercayaannya di dalam kolom agama E-KTP ataupun KKnya.

MK memandang hak konstitusional para penghayat kepercayaan terkungkung sekian lama oleh kebijakan pemerintah yang hanya membatasi pengisian kolong agama terbatas 6 agama aja yang resmi diakui oleh pemerintah.

Kepercayaan kepada Tuhan merupakan hak asasi yang paling utama yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dalam konsekuensi logis bernegara hukum Pancasila. Negara berkewajiban mengawal, melindungi, dan menfasilitasi warga negaranya untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dengan terbitnya putusan MK ini maka para penghayat kepercayaan dapat mengisi kolong agama di KTP atau dokumen administrasi kependudukan lainnya dengan agama kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanpa limitasi agama resmi yang diakui pemerintah sebelumnya.

Dalam optik hukum Islam, kebhinnekaan merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa dinafikan dalam kehidupan bersama. Alquran membenarkan perbedaan pendapat dan melarang perpecahan. Secara jelas Allah berfirman dalam Alquran yang menyatakan “Telah Ku-ciptakan kalian (dalam bentuk) laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal ‘(inna khalaqnaakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnaakum  syu’ban wa qaba-ila lita’aarafuu) (QS. Al-Hujurat: 13) dan dalam surah Ali Imran: 103 Allah berfirman: “dan berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai  (wa’tashimu bihabli Allah jarni’an wa laa tafarraquu).

Dalam surah-surah lain di dalam Alquran juga masih banyak disinggung terkait kesadaran persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bersama yakni dalam QS. Al-Rum: 22, QS. Al-Maidah: 48, dan sebagainya. Di Zaman Rasulullah pun juga telah mengenal dan menerapkan praktik kehidupan toleransi antar umat beragama dan golongan yaitu dengan dirumuskannya Piagam Madinah (Madinah Charter) yang dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia tahun 622 M.

Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid pernah mengatakan “Tidak penting apapun sukumu, kalau kamu bisa melalukan yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya agamamu”.

Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa dengan berbagai heterogenitas yang ada, mustahil membangun keseragaman masyarakat dalam tatanan kehidupan sosial.

Menukil apa yang pernah disampaikan Ir Soekarno “perjuanganku lebih ringan karena melawan penjajah, tugas kalian generasi penerus akan lebih berat karena menghadapi bangsa sendiri”

Pada akhirnya, ada beberapa rekomendasi atau catatan dari penulis untuk mencegah terjadinya ancaman persatuan dan kesatuan bangsa kita dalam kehidupan kebhinnekaan dan berdemokrasi. Pertama, perlu dibangunnya kesadaran dan kedewasaan bertoleransi antar masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan melalui pendidikan agama dan norma-norma sosial sejak dini.

Dengan adanya pendidikan moral dan agama sejak kecil baik dari keluarga maupun sekolah dapat menumbuh dan memupuk kesadaran pentingnya saling menghormati satu sama lain. Kedua, pemerintah sebagai suprastruktur politik dalam negara yang melindungi kepentingan umum  harus bisa melindungi, mengayomi dan menjaga kerukunan dan ketutuhan bangsa ini baik ideologi maupun teritori melalui kebijakan politik hukumnya baik ancaman yang menorpedo persatuan dan kesatuan baik dari luar maupun dalam negeri.

Ketiga, perlu adanya konsolidasi dan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku yang mengancam disintegrasi bangsa tanpa pandang bulu. Bahkan dari secara kompleks ditegakkan melalui pendekatan sistem hukum sebagaimana yang dikatakan Lawrence M. Friedmann yaitu senantiasa mereview dan mengevaluasi dari aspek legal structure (aparat penegak hukum), legal substance (peraturan perundang-undangan), dan legal culture (budaya hukum). Semoga Tuhan Yang maha Esa senantiasa menjaga kebhinnekaan bangsa Indonesia dalam ikatan persaudaraan dan Kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.

*Penulis adalah dosen Fakultas Hukum dan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), Universitas Muhammadiyah Gresik.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry