Oleh: SOETANTO SOEPIADHY
HAMPIR dipastikan, lembaga negara kita yang paling banyak memperoleh predikat buruk masyarakat adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain disebut lembaga terkorup di antara lembaga negara lainnya, khusus untuk DPR ini di beberapa ruang publik atau media sosial, masyarakat mem-peleset-kan menjadi “Dewan Perampok Rakyat”, “Dewan Penipu Rakyat”, atau sebagai “lembaga super bebal”, “lembaga berkinerja terburuk”, “lembaga berkinerja memuakkan”, dan banyak lagi predikat yang kurang pantas untuk disebutkan di sini. Berbagai predikat itu, hakekatnya adalah bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat atas buruknya kinerja wakil rakyat yang duduk di Senayan.
Sebagai wakil rakyat, sesungguhnya mereka diharapkan bisa menjadi sosok pribadi yang andal, tepercaya, tempat rakyat bersandar dan mempercayakan problemnya untuk dibantu dicarikan solusi. Jadi, sebagai anggota DPR, mereka seharusnya adalah negarawan dan penolong rakyat. Bukan itu saja, mereka pun harus menjadikan DPR mampu mengedepankan akuntabilitas lembaganya dan membuka ruang informasi publik seluas-luasnya. Dengan demikian, mereka yang duduk sebagai wakil rakyat mesti punya persyaratan yang baik, antara lain memiliki pengetahuan luas tentang problem kenegaraan dan kemasyarakatan. Mereka harus memiliki integritas, kepedulian, dan kesiapan mental untuk berkorban demi memenuhi harapan rakyat yang telah memilihnya. Juga punya komitmen tinggi menjaga kehormatan dan martabat lembaga DPR.
Parlemen yang dipenuhi dengan wakil rakyat seperti itu, dipastikan menjadi parlemen modern, karena sejalan dengan aspirasi seluruh masyarakat yang diwakilinya. Masyarakat menjadi puas, karena wakilnya di Senayan telah berbuat yang terbaik bagi rakyat. Dengan demikian secara kelembagaan, DPR bisa disebut sebagai parlemen modern, karena sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Menjadi parlemen modern yang prorakyat.
Akuntabilitas
Sebuah contoh nyata yang baik, telah dilakukan DPRD Jawa Tengah yang berkomitmen tinggi menjadikan lembaganya sebagai Parlemen Modern. Pertama, terkait dengan akuntabilitas, seratus anggotanya telah mengikuti Training of Trainer (TOT) Tunas Integritas bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, DPRD Jateng telah membuka ruang informasi publik seluas-luasnya. Mereka sekarang sudah memiliki ruang informasi publiknya berupa tiga website, yaitu: dprd.jatengprov.go.id; wartalegislatif.dprd.jatengprov.go.id; dan elibrary. dprd.jatengprov.go.id. Keberadaan tiga website ini dinilai sangat efektif.
Untuk menuju ke arah Parlemen Modern, kedua poin itu memang menjadi syarat utama. Langkah maju DPRD Jateng itu tentu perlu diapresiasi dan harus ditiru oleh DPR-RI dan juga DPRD seluruh Indonesia.
Kita tahu, realitas akuntabilitas DPR kita, baik dari segi personal/perorangan, fraksi, dan kelembagaan, memang tidak akuntabel. Harus diubah. Akuntabilitas sebagai lembaga perwakilan harus diperkuat. Caranya, setiap anggota wajib menyampaikan kinerjanya kepada publik secara terbuka. Seperti dalam hal kunjungan kerja, setiap anggota DPR wajib menyampaikan hasil kunjungan kerjanya tersebut kepada publik. Pertanggungjawaban itu disajikan dalam format, mudah dibaca publik dan konkret. Juga kepada setiap anggota DPR harus dilakukan audit kinerja dan keuangan. Kalau itu semua bisa dilakukan, maka sebutan parlemen modern itu pantas disandang DPR kita.
Tidak Prorakyat
Dalam sebuah negara demokrasi, kehadiran lembaga legislatif yang dipercaya adalah keniscayaan. Hal itulah yang diharapkan rakyat saat menggulirkan reformasi 20 tahun lalu. Ironi, DPR yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat kini beralih peran jadi “perampok” uang rakyat. Kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR pun pupus. Bukti kalau mereka “perampok” uang rakyat, kita bisa membaca data 2014 yang ditampilkan Indonesia Corruption Watch (ICW): ada 81 wakil rakyat terjerat korupsi. ICW mempunyai banyak catatan minor kepada DPR dan partai politik. Keduanya dianggap tidak memiliki kontribusi positif kepada pemberantasan korupsi sepanjang 2017. Ini menunjukkan kalau wakil rakyat sekarang lebih membela kepentingan diri sendiri daripada kepentingan rakyat.
Catatan akhir tahun 2017 tentang pemberantasan korupsi yang dikeluarkan ICW, menyebutkan DPR sebagai salah satu penghambat pemberantasan korupsi. Kehadiran Panitia Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusung DPR merupakan salah satu buktinya. Pengesahan Panitia Angket untuk menyelidiki KPK itu merupakan reaksi DPR atas penanganan perkara korupsi dalam proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu, menjadi kasus terbesar yang diungkap KPK sejak tahun lalu. Kasus ini juga menyeret sejumlah politikus, termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto.
Lebih memprihatinkan ketika ternyata para wakil rakyat itu tidak mampu menyatu dengan rakyat. Mereka terlalu disibukkan dengan wewenangnya yang terlalu luas. Akibatnya, kini DPR menjadi semakin berkuasa dan semakin sibuk mengawasi ekskutif. Tidak ada satu pun jabatan politik strategis yang tidak melibatkan DPR dalam proses seleksinya. Konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan pun lalu menjadi tak terhindarkan. Mereka terkena gejala winners take all, para pemenang mengambil semuanya. Akhirnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tidak maksimal untuk rakyat. Tidak prorakyat.
Menjelang 2018, citra politik DPR terlihat semakin menjauh dari harapan rakyat. Politik tidak etis lewat berbagai trick (tipu daya) dan gimmick (muslihat) tampaknya akan bakal terus berlanjut pada 2018 ini. Entah sampai kapan.
Kalau kita ingin segera mempunyai Parlemen Modern, jalan pintasnya dengan menekankan akuntabilitas para anggota Dewan sebagai conditio sine qua non. Sehingga kita bisa menemukan format dan sistem Parlemen Modern itu seperti apa. Sekaligus kita bisa menata sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik.***
*Soetanto Soepiadhy Staf Pengajar FH Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.