“Buku ini tak melulu menjabar sejarah perkembangan teknologi peralatan tempur mutakhir. Namun, juga mengurai kontestasi serta pemetaan geopolitik yang selalu berubah.”
Oleh Rosdiansyah
SERINGKALI masyarakat dunia terpesona pada dua negara besar. AS dan RRC. Saat ini, kedua negara itu dikenal luas sebagai produsen teknologi maju. Wabil khusus, teknologi militer. Keduanya saling berlomba untuk menjadi pionir teknologi militer. Meski mungkin tak banyak yang tahu awal dari modernisasi teknologi militer itu.
Semua berawal dari dua nama beken dalam sejarah pemutakhiran kekuatan laut. Mereka adalah Arthur Pollen dan Harold Isherwood. Duo saintis berkebangsaan Inggris yang berperan penting membangun sistem penembakan target berbasis kalkulasi cermat. Hasilnya, tembakan meriam-meriam dari kapal Inggris atau dari daratan yang dikuasai Inggris ke arah target, nyaris tak pernah luput. Inilah salah-satu sebab kenapa angkatan laut Kerajaan Inggris sangat ditakuti pada abad ke-19.
Kecermatan kalkulasi yang melahirkan peralatan tambahan untuk meriam-meriam milik Inggris ini menjadi penanda lahirnya fajar baru teknologi militer awal abad-20. Bahkan, proses serta karya dari Pollen serta Isherwood lantas menginspirasi lahirnya inovasi pertahanan, sejarah komputasi, kerahasiaan pemerintah serta kompetisi antar pemerintah adidaya pada jaman itu dan kurun berikutnya. Pergeseran sekaligus kompetisi dari Pax Britannica (Inggris bersama wilayah koloninya) ke Pax Americana (AS bersama sekutunya).
Belakangan, muncul aliansi diam-diam antara Inggris dan AS bertajuk Anglo-Amerika untuk saling kolaborasi pengembangan teknologi militer mutakhir. Cina tak mau kalah. Negeri panda ini cukup cerdik mencuri teknologi maju AS dan Eropa Barat, lalu merangsek ke panggung industri militer canggih bertumpu di atas algoritma, komputasi dan menciptakan apa yang disebut ”Pax Sinica”. Niat kuat Cina menghegemoni dunia. Bangkit untuk berkompetisi mengembangkan teknologi berbasis komputasi sembari berpacu dalam persaingan geopolitik.
Apalagi kehadiran senjata nuklir dan rudal antarbenua saat ini, situasi kian sulit tetapi tetap perlu untuk meninjau pentingnya kapal perang secara geopolitik dan militer. Termasuk keberadaan kapal induk, yang dalam perang dunia kedua telah menunjukkan keampuhannya. Keberadaan senjata besar (meriam dan sejenisnya) di kapal perang mewakili kekuatan untuk menggempur armada negara-negara lawan dan kemampuan pencegahan negara-negara besar.
Misalnya, saat Presiden Franklin Roosevelt mengerahkan kembali Armada Pasifik dari Pantai Barat ke Pearl Harbor sebagai pesan ke Jepang pada tahun 1940, bahwa AS siap tempur. Meski kapal-kapal perang AS saat itu bisa disebut sebagai keajaiban teknologi berbiaya sangat mahal. Kehadirannya mewakili komitmen besar pertahanan AS walau sumber daya nasional terbatas. Oleh karena itu, meningkatkan kemampuan senjata kaliber jumbo menyasar target bukanlah masalah teknis yang sepele, tetapi di dalamnya ada pertimbangan geopolitik serta fiskal.
Buku ini tak melulu menjabar sejarah perkembangan teknologi peralatan tempur mutakhir. Namun, penulis buku ini, Katherine C Epstein, mahaguru ilmu sejarah Universitas Rutgers, AS, juga mengurai kontestasi serta pemetaan geopolitik yang selalu berubah, pencurian teknologi kian canggih, ditambah dengan sejarah bagaimana memaknai relasi demi bisa mencuri teknologi canggih.
Begitu licin pencurian teknologi terjadi di belantara dunia. Tak bisa membeli produk militer canggih lewat pintu depan, maka tersedia pintu belakang. Bahkan kalau perlu memakai negara perantara untuk mencuri teknologi tersebut. Dan melalui 10 bahasan menarik lalu ditutup dengan kesimpulan, Epstein benar-benar menyuguhkan informasi yang belum pernah diketahui publik bagaimana proses pencurian itu terjadi. Seperti saat Pollen dan Isherwood harus mengembangkan teknologi maju untuk angkatan laut Inggris dari tahun 1900 sampai 1904. Mereka harus siaga karena karyanya gampang dicuri.
Meskipun, pengaruh dari cara, tahap serta proses penemuan sebagaimana yang dikerjakan Pollen dan Isherwood kemudian diterapkan juga pada bidang-bidang lain di negara yang berbeda. Tujuannya tetap. Yakni, demi mempertahankan atau mengamankan posisi hegemonik negara terkait agar superior dibanding negara lain.
Baik Pollen maupun Isherwood, keduanya menyusun cara dengan memakai matematika sebagai alat bantu memecahkan masalah. Alat inilah yang kemudian menyambungkan mereka dan karyanya kepada dunia komputasi, sehingga lahirlah temuan-temuan baru berkat pemakaian komputer meski yang dimaksud ”komputer” di awal abad 20 itu masih berbentuk mesin sederhana.
Ditegaskan Epstein, saat ini, digital adalah analog baru. Maksudnya, era digital masih mengandung cara-cara analog yang justru digunakan menemukan piranti baru. Contohnya, rantai pasokan untuk teknologi komputasi digital lebih global, manufaktur lebih presisi, dan teknologinya memiliki lebih banyak kegunaan, semua itu muncul belakangan. Namun, seperti halnya teknologi digital—terutama semikonduktor dan kecerdasan buatan (AI)—yang menjadi persaingan Tiongkok-AS saat ini, nyaris mirip sejarah awal komputer, tatakala berlangsung persaingan antara angkatan laut AS versus Inggris seabad silam.
Ala kulli hal, persaingan industri militer canggih yang diawali dari sejarah keterlibatan dua warga sipil, yaitu Pollen dan Isherwood dari Inggris, ke dalam modernisasi sistem pertahanan dan serangan, kini sudah memasuki tahap baru. Tahap kekuatan analog kontestasi multi negara adidaya. Bukan cuma Inggris dan AS, melainkan juga keterlibatan Jepang, Cina, Rusia, bahkan Jerman dan Prancis. Adu taktik, adu licik, adu kecepatan nyolong.*