Oleh : Muzamil

PEMERINTAH Kota  Surabaya melalui Wali Kota Ery Cahyadi mengeluarkan kebijakan penghapusan perkerjaan rumah (PR) bagi siswa SD dan SMP. PR yang dimaksud adalah mengerjakan lembar kerja siswa (LKS) yang selama ini sudah menjadi tradisi di sekolah-sekolah.

PR atau pemberian tugas tambahan kepada siswa untuk dikerjakan di rumah merupakan kebiasaan bahkan mungkin sudah menjadi “tradisi” para guru. Pemberian PR tersebut barang kali dimaksudkan agar siswa mau membuka pelajarannya kembali di rumah. Itulah cara guru supaya para siswa mau belajar di rumah.

Dengan PR, para siswa diharapkan akan belajar di rumah karena merasa punya tanggung jawab yang harus diselesaikan. Kalau tidak ada PR, dikhawatirkan mereka tidak mau belajar atau mengulang pelajaran yang disampaikan di sekolah. Para guru tentu tidak mau pelajaran yang diberikan menguap begitu saja tanpa bekas pada diri siswa.

Barangkali saya dan Anda juga bertanya-tanya, apa iya dengan PR, pelajaran sekolah itu akan tetap menempel di memori anak. Mari kita angan-angan dan jawab sendiri dalam hati masing-masing. Apa yang masih diingat waktu Anda sekolah dasar atau SMP? Apapun yang muncul di pikiran Anda, berarti itulah memori yang benar-benar menempel di pikiran Anda.

Lalu, kapan tradisi PR itu mulai diterapkan? Saya tidak tahu pasti. Tapi sejak saya sekolah, sekitar tahun 1990 an. Disebutkan bahwa PR mulai diterapkan oleh seorang guru di zaman Romawi kuno yang bernama Pliny. Dia adalah guru pidato. Dia memberikan tugas kepada muridnya untuk berlatih public speaking di rumah masing-masing. Hal tersebut dilakukan guna membantu mereka menjadi percaya diri dan fasih dalam berpidato.

Berdasarkan kisah singkat tersebut, sebenarnya tidak ada yang salah dengan ada atau  tidak adanya PR. Menurut saya, sangat wajar, jika seorang guru memberikan PR kepada siswanya, supaya tujuan dan target pendidikan dapat tercapai. Namun, masalahnya adalah pemberian PR yang mentradisi tersebut seakan akan cuma latah belaka. Dan jika dilihat dari bisnis, PR tersebut sangat profitble. Karena untuk mengerjakan PR, siswa harus membeli bukan hanya buku paket, tapi juga membeli LKS.

Inilah yang diwanti-wanti oleh Cak Nun, budayawan Indonesia. Beliau menyatakan bahwa pendidikan dan bisnis itu dua ruang yang berbeda. Jangan dicampur aduk. Dunia pendidikan itu sama dengan dunia kesehatan. Jangan melihat kedua hal tersebut dari sisi bisnis. Jika dua wilayah tersebut didekati dari kaca mata cuan, maka yang menjadi orientasi adalah cuan dan cuan. Tak peduli, muridnya bisa mencapai tujuan atau tidak. Yang penting cuan. Tak peduli pasien itu sehat beneran atau cuma sementara. Yang penting cuan.

Menurut saya, ada tiga hal yang perlu dipahami bersama. Pertama, memahamkan lembaga pendidikan dengan tujuan pendidikan baik nasional maupun lokal. Setiap lembaga harus punya tujuan yang spesifik. sehingga PR yang diberikan itu terkait dengan pencapai tujuan tersebut.

Saya melihat, kebijakan Wali Kota Surabaya tersebut tidak ada yang aneh. Kebijakan untuk menghapus PR tersebut karena memang beliau ingin dan sangat ingin siswa di Surabaya tidak hanya mengejar prestasi akademik. Tapi mereka dididik untuk keluhuran akhlak dan budi pekerti sebagaimana dicanangkan dalam Sisdiknas 2003. Yaitu mencetak manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Kedua, PR tersebut tidak memberatkan. Memberatkan itu ukuranya, adalah siswa tersebut tidak dapat menyelesaikannya  sendiri tanpa bantuan lembaga bimbingan belajar (LBB). Saya melihat hadirnya LBB itu sebagai bentuk keprihatinan teman-teman pengelola LBB atas sistuasi pendidikan di Negara tercinta, sehingga mereka membuat LBB untuk membantu sekolah yang tidak mampu mencapai target pembelajaran “yang terlalu berat” dengan alokasi waktu yang disediakan.

Ketiga, perlunya menghadirkan pemahaman yang baik tentang pendidikan antara tiga komponen, yakni: sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri. Terutama lembaga pendidikan dan orang tua siswa. Mereka semua harus saling bekerja sama untuk membimbing anak-anaknya untuk bisa menjadi anak yang soleh, sehat, dan kreatif.

Beradasarkan  pengamatan saya, banyak orang tua yang punya pemahaman  bahwa  pendidikan itu hanya dilakukan di sekolah. Seakan akan orang tua di rumah tidak punya tanggung jawab mendidik. Yang punya tanggung jawab mendidik hanya guru di sekolah.

Tidak! Sekali lagi tidak. Pihak sekolah dan orang tua harus sama-sama mengerti bahwa kedua belah pihak harus berkolaborasi untuk keberhasilan anak didiknya.  Imam Azzarnuji dalam karya monumentalnya, Kitab Taklim Mutaalim halaman 21 menyatakan bahwa keberhasilan dalam pendidikan hanya bias dicapai jika Siswa, guru dan orang tua berkolaborasi.

Kebijakan penghapusan PR tersebut sebagai ikhtiar pemerintah untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti yang selama ini tersingkirkan dari area pendidikan kita. Akhlak dan budi pekerti hanya menjadi pajangan di lembaga-lembaga pendidikan tanpa tindakan nyata.

Sebagai wali siswa, saya berterima kasih kepada Wali Kota Surabaya yang sudah menunjukkan kepeduliaannya kepada siswa siswi Surabaya yang menjadi harapan bersama demi Surabaya yang bermartabat dan hebat.

*Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Taswirul Afkar Surabaya

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry