“Gagalnya Kabupaten Jember memiliki payung hukum rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah tahun 2018 menyisakan polemik sampai saat ini. Menurut penulis ada dua isu hukum penting untuk dijawab polemik yang telah menjadi kegaduhan tersebut.”

Oleh: Adam Muhshi, SH, SAP, MH

PEMERINTAH Kabupaten Jember menutup akhir tahun 2017 dengan kegagalan penetapan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2018. Peristiwa tersebut tergelar karena belum adanya kesepakatan antara Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jember terhadap KUA-PPAS yang menjadi landasan untuk pengajuan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD (Raperda APBD).

Oleh sebab itu pengajuan dan pembahasan Raperda APBD Tahun 2018 belum dapat dilakukan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Terhadap hal itu, Bupati Jember kemudian mengajukan Rancangan Peraturan Bupati tentang APBD Kabupaten Jember (Raperbub APBD) Tahun 2018 yang selanjutnya disahkan melalui persetujuan Gubernur Jawa Timur melalui Surat Keputusannya Nomor: 188/208.K/KPTS/013.4/2017 tentang Pengesahan Rancangan Peraturan Bupati Jember tentang Penggunaan APBD Jember Tahun 2018.

Gagalnya Kabupaten Jember untuk memiliki payung hukum rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah tahun 2018 tersebut niscaya menyisakan polemik sampai saat ini. Menurut penulis setidaknya terdapat dua isu hukum yang penting untuk dijawab terkait polemik yang telah mengundang kegaduhan tersebut, yaitu pertama, legalitas Perbup APBD Kabupaten Jember Tahun 2018; dan kedua, kedudukan dan masa berlaku Perbup APBD tersebut.

Legalitas Perbub APBD

Dasar yuridis Perbup APBD adalah ketentuan Pasal 313 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 313 ayat (1) UU Pemda tersebut menentukan bahwa dalam hal kepala daerah dan DPRD gagal menyepakati Raperda APBD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 313 ayat (1) tersebut, secara eksplisit syarat utama keberadaan Perbup APBD adalah ketika tidak adanya persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD. Sedangkan dalam konteks di Kabupaten Jember, pembahasan Raperda APBD belum pernah dilakukan oleh Bupati dan DPRD sebagai akibat belum disepakatinya KUA-PPAS.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah belum disepakatinya KUA-PPAS dapat disamakan dengan tidak disepakatinya Raperda APBD. Terkait hal ini tentu saja kita perlu melirik ketentuan tentang KUA-PPAS yang diatur dalam Pasal 310 UU Pemda tersebut. Dalam Pasal 310 tersebut tidak diatur tentang mekanisme yang dapat dilakukan ketika KUA-PPAS gagal disepakati oleh kepala daerah dan DPRD.

Terhadap kekosongan hukum ketika terjadi ketidaksepakatan atas KUA-PPAS tersebut, setidaknya dapat diberikan dua penafsiran yang berbeda. Pertama, secara sistematis ketentuan tentang KUA-PPAS yang merupakan syarat dapat diajukannya Raperda APBD tersebut tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 313 UU Pemda di atas. Artinya bahwa ketidaksepakatan terhadap KUA-PPAS dapat dimaknai sebagai bagian dari gagalnya tercapainya persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD terhadap Raperda APBD. Berdasar konstruksi pemikiran ini, maka Perbub APBD Kabupaten Jember Tahun 2018 dapat dikatakan telah melalui prosedur yang benar sehingga sah secara hukum. Bisa jadi pengajuan dan penetapan Perbub APBD Jember berangkat dari penafsiran yang pertama ini.

Akan tetapi perlu juga disampaikan penafsiran kedua, yaitu bahwa antara KUA-PPAS dan Raperda APBD merupakan makhluk yang berbeda. Oleh karena itu, kegagalan persetujuan bersama terhadap KUA-PPAS tidak dapat disamakan dengan kegagalan kesepakatan bersama terhadap raperda APBD. Konsekuensinya bahwa pengajuan perbub APBD yang hanya didasarkan pada kegalalan persetujuan bersama terhadap KUA-PPAS adalah cacat prosedural sehingga ia dapat dibatalkan.

Penafsiran kedua ini menurut penulis lebih dapat diterima mengingat bahwa antara KUA-PPAS dengan Raperda APBD  itu merupakan dua hal yang berbeda. KUA PPAS sebagai suatu hal yang pelu disetujui bersama oleh kepala daerah dan DPRD merupakan pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang kemudian berujung pada penyusunan Raperda APBD.

Pertanyaannya adalah apakah dengan tidak disetujuinya KUA-PPAS bermakna sebagai tidak disetujuinya Raperda APBD. Jawabannya tentu saja tidak karena tanpa adanya persetujuan terhadap KUA-PPAS, maka Raperda APBD tidak akan pernah ada. Secara a contrario untuk menghasilkan Raperda APBD, maka harus ada persetujuan terhadap KUA-PPAS terlebih dahulu. Artinya bahwa tanpa adanya persetujuan KUA-PPAS, maka tidak ada pula pembahasan Raperda APBD.

Oleh sebab itu, bagaimana mungkin tanpa adanya pembahasan Raperda APBD terlebih dahulu kemudian dikatakan bahwa telah terjadi kegagalan pengambilan persetujuan bersama terhadap Raperda APBD?! Bagaimana mungkin pula tanpa adanya gagalnya kesepakatan terhadap Raperda APBD kemudian diajukan dan disahkan Raperbup APBD?!

Jika hal ini dilakukan, maka dapat dikatakan sebagai sebuah pengangkangan terhadap ketentuan Pasal 313 ayat (1) UU Pemda. Sehingga Perbup APBD Jember 2018 perlu dipertanyakan legalitasnya dan dapat dibatalkan karena telah dihasilkan melalui prosedur yang cacat secara yuridis.

Kedudukan dan Masa Keberlakuan Perbub APBD

Terlepas dari kemungkinan dapat dibatalkannya perbup APBD berdasarkan penafsiran kedua tersebut di atas, hal yang tak kalah penting adalah terkait kedudukan dan masa keberlakuan perbup APBD itu sendiri. Pembahasan ini untuk merespon pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa Perbub APBD dapat menggatikan posisi Perda APBD sehingga dapat diberlakukan selama satu tahun anggaran juga.

Berbicara kedudukan Perbup APBD, secara toeritis ia terikat pada ilmu perundang-undangan. Dalam hal ini, ia dapat ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan dan materi muatannya.

Perbub merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang dimungkinkan keberadaannya berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 8 ini menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang tercantum dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang tersebut, diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat selama ia diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar kewenangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Perbup APBD dapat dikategorikan pada  jenis peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di bawah perda.

Selain itu dari aspek materi muatan, memang benar bahwa isi perbub APBD adalah rencana anggaran keuangan daerah. Akan tetapi, tentu saja isinya tidak sama persis seperti Perda APBD. Dalam perbub hanya diperkenankan untuk mengatur tentang belanja rutin saja.

Terkait dengan masa keberlakuan Perbup APBD, dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan  masa keberlakuannya sehingga kemudian menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi ada pihak yang mengatakan bahwa Perbup APBD dapat berlaku selama satu tahun, sedangkan di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa Perbub APBD ini hanya dapat berlaku selama 60 hari.

Berkenaan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa Perbup APBD keberadaannya sementara selama belum ada Perda APBD. Perbup ini dapat dianalogikan sebagai Plt dalam sebuah jabatan, ia hanya berlaku selama belum ada pejabat definitif yang dilantik.

Artinya secara kedudukan ia tidak dapat dikatakan sama dengan pejabat definitif. Sehingga termasuk kewenangannya juga terbatas tidak seluas kewenangan pejabat definitif yang dapat mengambil kebijakan-kebijakan strategis.

Lebih dari itu, memang benar bahwa secara tekstual formal perbub tersebut dapat berlaku selama satu tahun selama belum ada kesepakatan terkait Raperda APBD. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa keberadaan pemerintahan dalam sebuah negara adalah dalam rangka melakukan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Tujuan ini tentu saja tidak akan tercapai jika pemerintah Kabupaten Jember tidak dapat melakukan pembangunan karena terganjal oleh tidak adanya anggaran yang hanya dapat disediakan melalui Perda APBD, bukan melalui Perbup APBD.

Perbup APBD merujuk pada perda APBD sebelumnya hanya terkait belanja rutin. Semangat keberadaannya hanyalah untuk mengisi kekosongan hukum anggaran di Kabupaten Jember. Atau dengan kata lain keberadaannya adalah untuk menghindari stagnasi pemerintahan sehingga roda pemerintahan di Kabupaten Jember tetap berjalan.

Di samping itu, objek APBD adalah uang rakyat dan penggunaannya harus ditujukan untuk kepentingan rakyat sehingga ia juga harus ditetapkan melalui persetujuan rakyat. Persetujuan rakyat tersebut direpresentasikan oleh DPRD yang merupakan personifikasi rakyat itu sendiri. Mengabaikan persetujuan DPRD dengan mengatakan bahwa Perbup APBD sebagai pengganti Perda APBD dan dapat menjadi dasar hukum selama satu tahun anggaran sama saja dengan menghilangkan keberadaan rakyat itu sendiri. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip presumption of liberty of the souvereign people dan pada gilirannya akan sangat melukai perasaan warga Kabupaten Jember.

Berdasarkan konstruksi pemikiran tersebut di atas, maka harus dipahami bahwa keberadaan perbup APBD tidak sama dan tidak dapat menggantikan perda APBD. Sehingga secara filosofis yuridis, keberadaan Perbup APBD tidak menggugurkan kewajiban Bupati Jember untuk tetap segera membahas dan menyepakati Raperda APBD 2018 dengan DPRD Kabupaten Jember.

Akhirnya semoga tulisan ini dapat menjadi pembanding yang sehat bagi Bupati Jember terhadap pendapat pihak yang “menyamakan” kedudukan Perbup APBD dengan perda APBD. Sekali lagi “Penyamaan” kedudukan yang kemudian melahirkan pendapat ikutan bahwa perbup APBD tersebut dapat terus digunakan sebagai dasar hukum penggunaan APBD 2018 di Kabupaten Jember patut dipertanyakan dalam frame Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia.

*Penulis adalah Dosen Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember dan Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara – Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry