“Hampir tidak bisa konsentrasi mendengarkan khutbah Jumat, karena terkesima dengan keindahan masjid yang dirancang oleh Marks Barfield Architects, firma yang mendesain London Eye, salah satu landmark London.”
Oleh Moh Ali Aziz
SEJAK mahasiswa, saya penasaran dengan Universitas Cambridge, salah satu kampus tertua di dunia. Universitas yang berdiri tahun 1209 itu terkenal paling ketat seleksi masuk dan kelulusannya.
Oleh karena itu, ketika panitia mengajak shalat Jumat di kota itu, saya langsung setuju, walalupun harus menempuh dua jam perjalanan mobil pribadi dari London.
“Pak, apakah kita tidak boleh masuk kampus?” tanya saya ke panitia Ramadan yang mengantar saya.
“Kita tidak diijinkan masuk pak. Cukup dari luar saja,” jawabnya sambil mencari jalan mendekat kampus di tengah para turis dari berbagai negara yang berdesakan di depan kampus. Inilah universitas yang selalu bersaing kualitas dengan Universitas Oxford di London.
Tiba-tiba semua turis yang sedang berfoto di pintu masuk kampus mengalihkan kameranya ke langit. Mereka menyaksikan atraksi dua pesawat yang menari-nari dengan mengeluarkan asap, membuat gambar dua hati dengan salib di tengahnya.
“Huh..” teriak para turis dengan tepuk tangan gemuruh.
“Ini kan hari paskah pak,” kata Pak Jamalul Lail menjelaskan makna gambar di langit tersebut, dan saya baru faham.
Tidak henti-hentinya saya berdecak kagum dengan kampus yang 70 alumninya meraih hadiah Nobel itu. Masih banyak yang belum saya ketahui tentang kampus dengan motto Hinc lucem et pocula sacra (dari kampus ini kami mendapat pencerahan dan pengetahuan yang berharga) itu. Tapi, saya minta segera pulang untuk membuat persiapan memberi Pelatihan Terapi Shalat Bahagia esok harinya di KBRI.
Tak kalah menarik. Sebelum ke kampus Cambridge, saya shalat Jumat di CCM (Cambridge Central Mosque) yang terletak di Mill Road, tidak jauh dari kampus Universitas Cambridge.
Masjid ini dibangun oleh komunitas muslim Turki dengan biaya 3 juta pounsterling atau sekitar Rp. 416 M, atau hampir 0.5 T dan diresmikan oleh Presiden Turki, Erdogan tanggal 24 April 2019.
Inilah masjid yang paling modern dan unik di London. Bahkan masjid dengan konsep Ecoism (ramah lingkungan) pertama di Eropa. Air wudu dan penyiraman bunga diperoleh dari penampungan air hujan. Listrik menggunakan tenaga surya. Tiang dan semua ornamennya terbuat dari kayu. Karena itulah, kadang orang menyebut msjid ini masjid kayu. Ketika malam hari, masjid yang menjadi kebanggaan 6.000 penduduk muslim di kota Cambridge itu semakin tampak indah.
Saya hampir tidak bisa konsentrasi mendengarkan khutbah Jumat, sebab terkesima dengan keindahan masjid yang dirancang oleh Marks Barfield Architects, firma yang mendesain London Eye, salah satu landmark London.
Ketika terpilih sebagai arsitek masjid ini, ia mempelajari arsitektur hampir semua gereja dan masjid di seluruh dunia. Deretan kubah di Masjid Madinah juga dijadikan inspirasi, tapi dengan bahan yang berbeda, yaitu kayu dengan warna coklat muda keemasan.
Usai shalat, saya sebenarnya ingin berbincang dengan sang khatib yang fasih bahasa Arab dan Inggris. Tapi, karena banyaknya orang yang antre berkonslutasi, saya putuskan cukup berjabat tangan dan langsung menuju lantai bawah tanah tempat parkir mobil kami.
Melihat berjubelnya jamaah shalat di pintu keluar dari berbagai etnis dan pakaian yang beraneka, masjid dengan daya tampung seribu orang, yaitu 600 laki-laki dan 400 wanita ini telah sesuai dengan visinya, “Membangun Jembatan Budaya Dunia.” (*)