Tampak Abdul Holil (kanan) tengah menerima kenangan dari panitia penyelenggara. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Seminar ‘Menumbuhkembangkan Nilai-Nilai Islam Nusantara’, yang digelar Formacida (Forum Masyarakat Cinta Damai) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PR Adab UINSA, Jumat (29/6/2018) masih menjadi topik perbincangan. Apalagi, sampai sekarang (Minggu 1/7/2018) masih viral di media sosial, catatan (penolakan) keras atas nama KH Najih Maemun (Gus Najih), putra KH Maemun Zubair bertajuk ‘Islam Nusantara dan Konspirasi Liberal’.

“Dengan segala hormat, kalau benar itu catatan beliau (Gus Najih), maka, diperlukan duduk bersama untuk memahami apa sesungguhnya yang disebut Islam Nusantara. Benarkah Islam Nusantara tersebut merupakan Islam liberal atau berkonspirasi dengan kekuatan liberal? Sebab di sisi lain, kita sedang menghadapi ‘gempuran’ radikalisme atas nama agama,” demikian disampaikan Mokhammad Kaiyis, Pemred HU Duta Masyarakat, Minggu (1/7/2018).

Menurut salah seorang inisiator berdirinya Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah (PPKN) ini, apa yang disebut Islam Nusantara adalah ‘Islam Indonesia’, ‘Islam Kita’ sama dengan Islam Kanjeng Nabi Muhammad saw. “Mengingkari Islam Nusantara sama dengan mengingkari keberadaan Islam Indonesia, sama dengan mengingkari kenyataan yang ada. Karenanya, kalau ada yang menolak, perlu duduk bersama, dan PBNU sebagai shohibul hikayat (pemilik cerita red.) bisa menjelaskan, biar umat tidak gaduh,” tambah Kaiyis di depan peserta seminar.

Model dakwah Islam di Indonesia, jelas pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Jawa Timur ini, adalah mengikuti model dakwah Kanjeng Nabi yang wisdom, bijak, kalimat-kalimatnya hasanah, suka dengan mujadalah atau diskusinya substantif seperti bahtsul masail, halaqah-halaqah. Dakwah Islam Indonesia tidak memberangus budaya lokal dengan mengganti budaya baru, atau yang kearab-araban, tidak.

“Sekedar contoh, bagaimana budaya ‘Jaran Kepang’ yang dulu makan kembang, makan beling (kaca), sekarang sudah makan nasi kebuli, menggunakan doa robbana atina fiddunnya hasanah, sebuah proses yang arif, dan diterima masyarakat dengan senang hati,” terangnya dalam Seminar yang berlangsung di Fakultas Adab dan Humaniora (FAHUM) UIN-SA Surabaya ini.

Selain Kaiyis, dalam seminar ini hadir Abdurrahman M.Hum, dosen muda di Fahum dan Abdul Holil S.Hum, Sekretaris GP Ansor Surabaya.

Menurut Abdurrahman, kata ‘Nusantara’ yang mengikuti kata ‘Islam’, ini bukan berarti melepaskan diri dari Islam yang diajarkan Baginda Nabi saw. Meski diakui bahwa, makna Islam Nusantara tersebut bukan berarti Islam yang ada di Nusantara atau Islam di Nusantara. Tetapi, kata Nusantara itu lebih menekankan pada proses pengembangan Islam di bumi Nusantara yang memiliki keunikan tersendiri.

“Inilah model Islam yang sedang dilirik dunia. Karena dalam kenyataannya, Islam Nusantara menghadirkan suasana damai, harmoni, termasuk dalam menghadapi budaya lokal yang, bisa jadi, kontensnya berlawanan dengan Islam itu sendiri,” jelasnya.

Masih menurut Abdurrahman, pihaknya sudah mengkaji lebih dalam soal istilah ‘Nusantara’. Diakui, bahwa, kata Nusantara ini sudah lama menghilang, padahal kata ini pernah menjadi perekat yang luas di bumi Indonesia dan sekitarnya.

“Sekarang kata ‘Nusantara’ ini dikerek kembali oleh PBNU. Dan ini seiring dengan gencarnya aliran keras yang masuk Indonesia. Mereka ini tidak paham sejarah proses Islam di Indonesia, akhirnya mau disamakan dengan Arab Saudi. Padahal di sisi lain, mereka tidak paham mana yang syariat dan mana yang budaya. Walhasil, budaya Arab hendak dipaksakan masuk Indonesia, ini berbahaya,” jelasnya.

Hal yang sama disampaikan Abdul Holil, aktivis GP Ansor. Menurut Holil, GP Ansor sampai harus menjaga gereja, vihara itu lantaran adanya ancaman terhadap harmoni umat beragama di Indonesia.

“Peristiwa bom gereja di Surabaya, ini adalah bagian dari gagal paham mereka, tidak paham apa itu Islam yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, agar mereka cepat paham disuguhkan namanya Islam Nusantara, Islam yang mengikuti jejak Kanjeng Rasul, damai dan sangat toleran,” tegasnya.

Menurut Holil, Islam Nusantara itu juga memiliki tanggungjawab untuk menjaga kelangsungan NKRI. Konsisten menjaga Pancasila, mengedepankan maqosidus syariah. “Mengedepankan lslam yang terbuka dan universal, menawarkan lslam sebagai etika sosial, menegakkan lslam yang moderat tidak ngamukan (emosional), menyatukan keberagaman dan kebudayaan, serta mengawinkan  agama, tradisi dan kemodernan yang tidak berlawanan dengan Islam itu sendiri. Dengan ini NU terbukti mampu menyatukan lslam dengan nasionalisme,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry