
Dr. Rudi Umar Susanto, M.Pd.
Dosen S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP
PEMBELAJARAN Bahasa Indonesia di sekolah dasar memegang peranan penting dalam membangun fondasi literasi sekaligus karakter peserta didik. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sarana berpikir, membentuk identitas, serta mengekspresikan perasaan dan nilai-nilai sosial.
Dalam praktiknya, pembelajaran Bahasa Indonesia sering kali masih berorientasi pada aspek kognitif dan hasil akhir, seperti kemampuan menjawab soal atau menghafal unsur kebahasaan. Padahal, proses belajar yang bermakna menuntut keterlibatan penuh siswa secara mental, emosional, dan sosial. Karena itu, pendekatan mindful learning atau pembelajaran berkesadaran menjadi alternatif yang relevan untuk diterapkan.
Konsep mindfulness diperkenalkan secara luas oleh Jon Kabat-Zinn, yang mendefinisikannya sebagai “kesadaran yang muncul melalui perhatian penuh terhadap pengalaman saat ini, dengan sengaja dan tanpa menghakimi” (Kabat-Zinn, 1994).
Dalam konteks pendidikan, mindful learning menekankan kehadiran penuh siswa dalam proses belajar, kesadaran terhadap pikiran dan perasaan, serta keterbukaan terhadap pengalaman belajar. Langer (1989) menegaskan bahwa pembelajaran berkesadaran mendorong siswa untuk aktif membangun makna, peka terhadap konteks, dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang.
Pembelajaran Bahasa Indonesia sangat selaras dengan prinsip mindful learning karena melibatkan proses pemaknaan, refleksi, dan ekspresi diri. Pada keterampilan menyimak, misalnya, siswa tidak hanya mendengar, tetapi belajar menyimak dengan penuh perhatian terhadap isi, intonasi, dan emosi dalam tuturan.
Thich Nhat Hanh (2016) menyebut praktik ini sebagai deep listening, yaitu mendengarkan dengan kesadaran penuh untuk memahami, bukan sekadar merespons. Dalam pembelajaran cerita atau dongeng di SD, guru dapat mengajak siswa mengungkapkan perasaan dan nilai yang mereka tangkap dari cerita tersebut.
Pada keterampilan membaca, pendekatan mindful diwujudkan melalui kegiatan membaca reflektif. Siswa diajak membaca secara perlahan, memahami makna bacaan, serta mengaitkan isi teks dengan pengalaman pribadi. Proses ini membantu siswa membangun pemahaman mendalam dan menumbuhkan kecintaan terhadap kegiatan membaca.
Dalam keterampilan berbicara, mindful learning melatih siswa berbicara dengan kesadaran sosial, seperti menyampaikan pendapat secara santun, menghargai giliran berbicara, dan mendengarkan teman dengan empati. Sementara itu, pada keterampilan menulis, kegiatan menulis jurnal, pengalaman pribadi, atau puisi sederhana dapat menjadi sarana refleksi diri dan pengelolaan emosi siswa.
Manfaat penerapan mindful learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar cukup signifikan. Pendekatan ini dapat meningkatkan konsentrasi dan fokus belajar, mengembangkan kecerdasan emosional, menumbuhkan empati, serta menciptakan suasana kelas yang lebih tenang dan inklusif. Pembelajaran tidak lagi dipandang sebagai aktivitas yang menekan, tetapi sebagai proses yang menyenangkan dan bermakna.
Namun demikian, penerapan mindful learning di sekolah dasar tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan pertama adalah pemahaman guru terhadap konsep mindfulness. Tidak semua guru memiliki latar belakang atau pengalaman terkait pembelajaran berkesadaran. Akibatnya, mindful learning kerap disalahpahami sebagai kegiatan meditasi semata, padahal esensinya adalah kesadaran dalam proses belajar.
Tantangan kedua berkaitan dengan keterbatasan waktu dan tuntutan kurikulum. Guru sering dihadapkan pada target capaian materi dan penilaian yang padat, sehingga sulit menyediakan ruang untuk kegiatan reflektif atau proses belajar yang berlangsung lebih lambat. Pendekatan mindful menuntut kesabaran dan proses, yang terkadang dianggap tidak sejalan dengan tuntutan administratif.
Tantangan ketiga adalah kondisi kelas yang heterogen. Siswa sekolah dasar memiliki latar belakang, kemampuan konsentrasi, dan kondisi emosional yang beragam. Tidak semua siswa mudah diajak fokus atau refleksi diri, terutama di kelas dengan jumlah siswa besar. Guru perlu strategi diferensiasi agar pendekatan mindful dapat menjangkau seluruh siswa.
Selain itu, tantangan lain adalah budaya belajar yang masih berorientasi hasil. Dalam banyak konteks, keberhasilan pembelajaran masih diukur dari nilai dan capaian akademik semata. Pendekatan mindful learning yang menekankan proses sering kali kurang mendapatkan apresiasi yang memadai.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, guru perlu mengintegrasikan mindful learning secara sederhana dan kontekstual, tanpa mengganggu alur pembelajaran. Kegiatan berkesadaran tidak harus lama, tetapi konsisten, misalnya melalui refleksi singkat, pertanyaan bermakna, atau pembiasaan sikap saling menghargai dalam komunikasi. Dukungan sekolah dan pengembangan profesional guru juga menjadi faktor penting agar pendekatan ini dapat diterapkan secara berkelanjutan.
Akhir kata, Mindful learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan pendekatan yang potensial untuk membangun literasi yang holistik, mengembangkan kemampuan berbahasa sekaligus karakter dan kesadaran diri siswa. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, penerapan yang tepat dan bertahap dapat menjadikan pembelajaran Bahasa Indonesia lebih humanis, inklusif, dan bermakna. *







































