Parenteral Misperception dan Food Preference

Annif Munjidah, SST., M.Kes

Dosen Prodi DIII Kebidanan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan

PARENTERAL Misperception ini adalah persepsi yang salah dari orang tua. Seringkali orang tua menganggap anak bermasalah pada pola makan, namun setelah dilakukan pemeriksaan ternyata orang tua sudah menerapkan  feeding rules (aturan pemberian makan) dengan benar dan status gizi anak baik.

Seperti yang kita tahu feeding rules ini sangat penting agar anak mempunyai pola makan yang teratur dan sesuai kebutuhan energy kalori yang sesuai dengan usia anak.

Feeding rules diantaranya jadwal, lingkungan dan prosedur. Jadwal makan terdiri dari 3x makanan utama dan 2x makanan selingan. Pemberian susu diberikan 2-3 kali sehari, lama makan tidak boleh lebih dari 30 menit dan konsumsi air putih hanya diantara waktu makan.

Pada feeding rules ini orang tua juga harus menciptakan suasana makan yang menyenangkan dengan tanpa distraksi yakni: televisi, mainan, gadget atau lainnya, diharapkan pada proses makan anak hanya focus untuk makan tanpa adanya pengalihan perhatian lainnya.

Sedangkan pada prosedur makan anak didorong untuk belajar makan sendiri dan tanpa paksaan atau rayuan, jadi orang tua dalam hal ini harus bersifat netral untuk mencegah anak trauma.

Pada kasus GTM dengan parenteral misperception ini orang tua cukup mempertahankan feeding rules yang telah diterapkan dan dapat membagikan pengalamannya pada orang tua lainnya, karena apa yang ia lakukan sudah benar.

Berbeda denfan GTM  pada anak Food Preference, keadaan dimana seorang anak menunjukkan sikap pilih-pilih terhadap makanan dan hanya mau makan makanan tertentu saja, seringkali ia akan menolak makanan yang baru dikenalnya atau makanan yang disajikan dengan bervariasi. Pembagian Food preference ini diantaranya picky eater dan selective eater.

Picky eater berkaitan dengan perilaku anak yang pilih-pilih pada satu jenis  makanan namun masih mau mengkonsumsi jenis makanan lain dari  kelompok makanan yang sama, misalnya anak menolak telur, namun ketika ditawari ayam ia masih mau.

Atau anak menolak makan sayur namun ia masih mau minum jus buah.  Meskipun kandungan  mikronutrien antara telur dan ayam atau sayur dan buah berbeda namun secara umum makanan-makanan tersebut berasal dari kelompok nutrisi yang sama, yakni protein hewani dan vitamin.

Sedangkan selective eater yakni kondisi anak yang menolak semua jenis makanan dari satu kelompok zat nutrisi, misalnya ia menolak mengkonsumsi semua yang mengandung karbohidrat atau protein.

Pada fase perkembangan anak, perilaku Picky eater masih tergolong normal, berbeda dengan perilaku selective eater yang dapat berakibat tidak terpenuhinya asupan salah satu dari 4 (empat) kelompok makanan, yakni: karbohidrat, protein, lemak dan vitamin.

Sehingga anak selective eater beresiko kekurangan makro dan mikronutrien dari kelompok makanan tersebut. Kondisi selective eater ini dapat dijumpai pada anak dengan kondisi kesehatan tertentu, misalnya anak autis, kelainan gastrointestinal, posttraumatic feeding disorder, gangguan menelan, gangguan oralmotor.

Selain dari dua kondisi tersebut ada lagi istilah  “food phobia” yakni kondisi yang berkaitan dengan perilaku anak yang menolak jenis makanan yang belum ia kenal, artinya anak menunjukan sikap penolakan karna memang belum pernah diberikan oleh orang tua atau pengasuh.

Menurut IDAI dalam Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan Pada Batita di Indonesia Tahun 2014, factor yang mempengaruhi terjadinya food phobia dan food preference antara lain: paparan makanan pada usia dini, tekanan dalam proses makan, tipe kepribadian, parental feeding style dan pengaruh lingkungan.

Tata laksana picky eater maupun selective eater adalah mengatasi ketidaksukaan terhadap makanan dengan pengenalan sistematik terhadap makanan baru dengan prinsip sebagai berikut: 1). Sajikan makanan dalam porsi kecil 2).

Sajikan makanan secara bevariasi meskipun bukan makanan kesukaan orang tua 3). Paparkan anak pada makanan baru sebanyak 10-15x, untuk tahap pengenalan sajikan makanan pada piring orang tua. 4) Sajikan makanan di meja dengan jarak yang dapat dijangkau anak.

 5). Orang tua memberikan contoh dengan makan makanan secara menyenangkan tanpa menawarkan ke anak, sampai rasa ketakutan anak menghilang dengan sendirinya.  6). Jika paparan makanan pada anak membuat ia mual atau bahkan muntah, hentikan sejenak dang anti dengan makanan kesukaannya.

 7). Campurkan sedikit makanan baru dengan makanan yang disukai anak dan perlahan-lahan tingkatkan proporsi makanan baru (food chaining). 8). Orang tua harus bersikap dan berpikir netral dan tenang dalam menyikapi asupan makanan anak.

Sumber: Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan Pada Batita di Indonesia  Oleh IDAI. 2014

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry