“….Untuk meyakinkan basis kultur, tidaklah gampang, dan akan cukup merepotkan, karena struktur hanya membawa sentimen emosional dan sesuatu yang tidak substansial.”

Oleh: Drs Mukhlas Syarkun, MA*

SETIAP perhelatan suksesi, apakah itu Pilkada atau Pilpres, selalu muncul dikotomi antara NU kultur dan NU struktur. Dikotomi ini berjalan alamiah sebagai bentuk ‘polarisasi’ antara kepentingan, aspirasi, rasionalitas dan hati nurani dalam menentukan pilihan politik.

Meskipun NU sudah khittah, tidak ke mana mana dan ada di mana mana, namun NU tetap punya pengaruh politik. Maka, wajar struktur NU memainkan untuk bermanuver.

Namun cara bermanuver sering kali  ‘tidak nyambung’ dengan aspirasi dan rasionalitas apalagi nurani NU cultural. Ini yang kemudian menimbulkan ketegangan dan kekalahan di pihak struktural.

Misalnya, Pilkada DKI, di mana elit PBNU dan Banomnya mendukung Ahok meski pun samar samar. Begitu juga di Jatim, bahkan, lebih terang terang PBNU, PWNU plus PKB mendukung Gus Ipul, sementara di Jateng, PWNU yang dekat PKB juga mendukung Ida Fauziah. Pertanyaannya: Mengapa kalah semua?

Apakah kekalahan akan terulang di Pilpres nanti? Tentu ini tergantung bagaimana kemampuan struktur meyakinkan kekuatan kultur.

Tetapi, untuk meyakinkan basis kultur, tidaklah gampang, dan akan cukup merepotkan, karena struktur hanya membawa sentimen emosional dan sesuatu yang tidak substansial.  Bahkan terkesan mirip-mirip Pilkada DKI, elit PBNU lagi-lagi membawa isu ideologi.

Sementara yang diperlukan warga NU adalah sesuatu yang subtansial, wujudnya kemaslahatan sebagaimana ajaran NU sendiri, yaitu pilihan akan jatuh pada pemimpin yang diyakini mempunyai kapasitas untuk membuat rakyat lebih sejahtera.

Sementara calon yang ditenteng-tenteng struktur PBNU justru, kini, telah membuat rakyat terasa lebih berat baban hidupnya setelah dicabutnya subsidi.

Isu Utang dan TKA

Prestasi Pak Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, pemberian hari santri dan dukungan pada Islam  Nusantara, pembubaran HTI, tidak cukup bisa menutupi rasa kecewa akibat dicabutnya subsidi yang berdampak pada kelesuan ekonomi dan beban berat yang dirasakan warga NU. Belum lagi isu utang, membanjirnya  TKA.

Jika struktur PBNU tidak  mampu membuat terobosan genuine, maka nasib seperti di Pilkada Jatim akan berulang kembali, bukankah begitu? Waallahu’alam.
Jakarta, Rabu 26 September 2018

*Mukhlas Syarkun adalah Pengurus Pusat GP ANSOR 2001-2005, Pengurus Pusat Kajian KH Hasyim AS’ARY Pondok TEBUIRENG, Alumni pasca Sarjana  UNIVERSITAS MALAYSIA.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry