PENGANTAR REDAKSI – Luar biasa! Di tengah kesibukannya, KH Muhammad Wafi Maimoen, Lc putra keempat KH Maimoen Zubair (Sarang) masih sempat menulis ijtihad (politik) pribadi. Ada tiga hujjah dahsyat yang menggetarkan hati dan belum banyak dikupas orang. Berikut catatannya yang beredar di Medsos.

Oleh: KH Ahmad Wafie Maimoen*

Bismillah Walhamdulillah WalailahaillaLlah Shallallahu Ala Muhammad Waalihi Wasalam.

TAK lama lagi, Indonesia akan merayakan pesta demokrasi pemilihan Presiden pada April 2019 mendatang. Bursa pemilihan ini memunculkan berbagai sudut pandang dari ulama, negarawan, akademisi, dan semua lapisan masyarakat untuk urun wacana menguatkan calon mereka.

Sebagai permasalahan ijtihadi, tentulah ijtihad mereka mempunyai porsi sesuai kapasitasnya masing-masing. Dalam Pilpres 2019 mendatang, saya melihat sosok Prabowo merupakan calon yang kompeten untuk memimpin Indonesia. Pertimbangan menjatuhkan pilihan pada Prabowo adalah sbb:

1. Syaukah dalam definisi politik Islam merupakan kekuatan untuk melumpuhkan yang lain. Syaukah, menurut Imam Ghazali, diidentifikasi dari banyaknya pengikut dan mempertimbangkan keinginan mayoritas. Sementara menurut Ibnu Khaldun, Syaukah sendiri bersifat militeristik; kekuatan militer untuk melumpuhkan yang lain. Pemahaman waliyyul amri al-dlarurî bis-Syaukah menyiratkan sahnya kepemimpinan—yang tidak memiliki syarat syarat yang disebutkan dalam fiqh Islam—lantaran mempunyai kekuatan “mendiamkan” dan “melemahkan” yang lain.

Pertimbangan “melemahkan” yang lain—jika dicermati secara baik—hakikatnya bertujuan meminimalisir chaos dan kekacauan dalam sebuah Negara. Maka pemimpin harus mempunyai wibawa dan ketegasan agar kedaulatannya dihargai oleh Negara lain di satu sisi, dan perintahnya ditaati oleh rakyatnya di sisi yang lain.

Dalam al-Siyâsah al-Syar’iyyah dikatakan, kepemimpinan dibangun berdasar dua rukun penting: Sifat amanah dan kekuatan.

ان خير من استأجرت القوي الامين

“Orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. Al-Qashash: 26)

Menurut Sayyidina Umar bin Khattab, berkumpulnya dua sifat ini dalam satu pemimpin merupakan anugerah yang sulit sekali didapatkan. Oleh karena itu Umar pernah berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kelaliman pemimpin kuat dan lemahnya pemimpin shaleh.” Karena kuat identik dengan zalim sementara terpercaya identik dengan lemah. Jika dua hal ini (kuat dan terpercaya) tidak berkumpul dalam satu pemimpin, maka satu daerah wajib untuk memilih pemimpin—yang mempunyai salah satu sifat dari dua sifat itu—yang sesuai dengan kebutuhan paling mendesak dari wilayah tersebut.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya mengenai dua orang yang menjadi pemimpin dalam satu peperangan: yang satu pemimpin yang kuat tapi lalim, sementara yang lain, ahli ibadah namun lemah. Beliau menjawab, “pemimpin yang lalim tapi kuat, sesungguhnya kekuatannya untuk umat Islam, sementara kelalimannya untuk dirinya sendiri. Adapun pemimpin yang baik namun lemah, kebaikannya untuk dirinya sendiri, sementara kelemahannya untuk orang Islam.” Hingga terpilihlah pemimpin yang kuat meskipun lalim.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan pemimpin yang lalim.” Pemimpin yang kuat akan memunculkan wibawa di mata bawahannya dan ketegasan dalam setiap penentuan kebijakan.

Calon Presiden tidak boleh seorang yang peragu atau lamban dalam mengambil keputusan. Ketegasan itu dapat kita lihat dari nada bicara, intonasi, sikap terhadap permasalahan tertentu, gesture tubuh, cara bicara, idealisme terhadap isu bangsa dan negeri, serta power yang dapat dirasakan saat si tokoh berbicara di depan publik.

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw., bersabda pada Abu Dzar al-Ghiffari, “Hai Abu Dzar, aku melihatmu sebagai sosok yang lemah. Aku menginginkan untukmu apa yang kuinginkan untuk diriku sendiri. Jangan sekalipun kamu menjadi pemimpin diantara dua orang, dan jangan mengurus pembagian harta anak yatim.” Imam Nawawi mensyarah hadis ini, “hadis ini merupakan pegangan penting dalam (bekal) menjauhi kepemimpinan, terutama bagi orang yang tak mampu menjalankan tugas kepemimpinan tersebut.”

Tidak adanya wibawa dan ketegasan pada seorang pemimpin memicu potensi kegaduhan yang terjadi di pemerintahannya. Alih alih bersinergi menuju kemajuan, malah justru memunculkan perseteruan antar elit lembaga di bawah pimpinan tersebut; hal ini menyiratkan, betapa seorang Presiden harus mampu mengarahkan Kabinet Kerja di pemerintahannya dalam satu komando.

Ketidak kompakan Kabinet Kerja inilah yang nantinya akan berpengaruh terhadap totalitas dan integritas mereka dalam bekerja mengurus bangsa. Ekses di akar rumput, pembangkangan demi pembangkangan kian marak, dan bukan tak mungkin akan menimbulkan huru hara serius di segala lini.

Maka Imam Mawardi dalam al-Ahkâm al-Shulthaniyyah mengatakan, seyogyanya ahlul halli wal ‘aqdi mencermati calon pemimpin yang hadir di tengah mereka berdasar kriteria yang ada pada mereka; hendaknya mengajukan siapa yang paling utama di antara mereka, dan yang paling lengkap syaratnya, serta siapa yang paling cepat diikuti ketika memerintah, dan tidak memicu potensi pembangkangan ketika bai’at. Kriteria siapa yang paling cepat diikuti ketika memerintah (man yusri’u ‘ala tha’atih) dan tidak memicu pembangkangan menjadi tolak ukur dalam pertimbangan memilih pemimpin.

2. Porblem penentuan kriteria (syarat) pemimpin berdasar fiqh pada satu calon merupakan ijtihadî, yakni sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing masing menakar calon pemimpin tersebut. Perbedaan itu bukanlah sesuatu yang tercela. Imam Mawardi dalam al-Ahkâm al-Shulthâniyyah mencontohkan kasus, jika ada dua pemimpin, yang satu lebih tahu (a’lam) dan yang satu lebih pemberani (asyja’), maka yang didahulukan sesuai dengan kemaslahatan daerah tersebut. Apabila untuk memberantas pemberontak, maka yang lebih berani didahulukan. Dan apabila untuk meruntuhkan argumentasi ahli bid’ah, maka yang lebih tahu didahulukan. Perselisihan pada kriteria itu bukan perkara dilarang.

Saya berpendapat a’lam yang dimaksud di sini sudah harus kontekstual. Dalam hal ini pemimpin tidak boleh sekedar hanya tahu bagaimana cara memimpin shalat; selain memiliki wawasan keagamaan yang baik, ia juga harus memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Dengan wawasan kebangsaan yang luas, maka pemimpin bisa mengetahui akar permasalahan utama bangsa Indonesia saat ini. Apakah di bidang Keagamaan, Ekonomi, Hukum, Pendidikan, dan lain sebagainya, dan mana yang mendesak untuk diselesaikan terlebih dahulu sebagai skala prioritas. Jika tidak demikian, maka Pemimpin akan berkutat pada permasalahan sekunder yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kemajuan Bangsa secara umum.

Menurut Ibnu Taimiah, potret pemimpin sebagaimana yang dicontohkan Nabi, mereka yang menjadi imam shalat dan khutbah di masjid, adalah para pemimpin garda depan dalam perang. Oleh sebab itu, karena Abu Bakar ditunjuk oleh Nabi sebagai imam shalat, para shahabat lantas menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin perang. Syekh Ali Jum’ah mengatakan, pemimpin shalat sebagai tadrib (latihan) agar dalam medan yang lebih luas, ia bisa berperan dengan baik. Maka harmonisasi “a’lam” sebagai yang paling mengetahui agama dan mengetahui problematika kebangsaan harus dijadikan tolak ukur penting.

Asumsi pasangan calon yang lebih mengetahui ilmu agama dari yang lain, harus memunculkan sifat objektif dalam meletakkan masing masing pada porsinya. Sama halnya jika wawasan kebangsaan satu pasangan lebih bagus, kita juga harus objektif untuk mengatakan bahwa sosok tersebut lebih berhak menjadi Presiden dibanding lawannya. Kita bisa melihat bagaimana saat Prabowo berbicara problematika bangsa secara sistematis, terarah, terukur, lantang dan tegas. Tidak melulu jawaban secara simpel dan global.

Tentu tak asing, peristiwa Khalid bin Walid yang selalu ditunjuk oleh Nabi untuk memimpin perang meskipun dalam beberapa peristiwa penting, ia tak segan menyelisihi Nabi, seperti yang terjadi saat ia diutus ke Bani Judzaimah, hingga membunuh dan mengambil harta harta mereka.

Langkah itu tidak disetujui oleh para shahabat yang ikut bersama Khalid, namun selepas itupun, Khalid masih tetap diutus Nabi untuk memimpin perang karena ia lebih cakap dari shahabat yang lain, meskipun banyak yang lebih unggul dalam perkara agama.

Pengetahuan yang baik dalam wawasan kebangsaan akan memunculkan tingkat kepercayaan yang tinggi (tsiqqah) dari masyarakat dalam menuntaskan problem negara. Sebagaimana bacaan yang benar ketika menjadi imam shalat akan memunculkan tingkat kemantapan makmum yang berdiri di belakangnya. Meskipun sebenarnya, pemimpin negara manapun, jika ditakar dengan ilmu pesantren yang dimiliki oleh kyai kyai NU dan santrinya, umumnya adalah kategori awam agama. Jarang sekali –di era sekarang–seorang pemimpin negara yang juga pemuka dalam agama. Menakar pemimpin negara dalam bingkai kealimannya dalam fiqh menurut saya sedikit kurang bijaksana.

Wawasan kebangsaan yang luas teramat penting agar seorang pemimpin bisa melihat problematika kompleks Negara secara menyeluruh. Kacamata yang dipakai tidak parsial. Kurangnya wawasan kebangsaan akan memicu banyaknya janji yang ia sendiri tidak bisa merealisasikan. Mudahnya janji saat kampanye karena ia tidak bisa menakar, janji janji yang dikampanyekan realistis atau tidak untuk dilaksanakan ketika terpilih nanti.

Dalam kitab Sirâj al-Mulûk dikatakan, pemimpin haruslah memegang teguh ucapannya. Dalam kitab tersebut dikatakan pula, kehancuran negara dan rusaknya masyarakat, karena ada inkar janji dan ancaman dari pemimpin. Ada enam hal yang tidak bisa ditolerir dari seorang pemimpin: bohong, ingkar janji, hasad, lancang, bakhil dan penakut.

Konsekuensi minim wawasan juga akan memicu independensi kepemimpinannya ketika terpilih. Menurut saya, pemimpin yang kerap ingkar janji, tidak independen, pengambilan keputusan yang cenderung lambat, semua ini merupakan konsekuensi dari lemahnya leadership, hingga menggugurkan wibawa dan ketegasannya di tengah elite politik yang mengelilingi.

Maka yang tak bisa ditolerir dari seorang pemimpin adalah pemimpin yang lemah dalam leadership dan minim wawasan kebangsaan sekaligus. Sehingga dalam penentuan kebijakan ia benar benar bergantung pada orang lain, mudah terombang ambing dan cenderung lemah dalam argumentasi.

3. Kyai Makruf Amin sebagai representasi ulama yang didaulat sebagai pendamping nasionalis dianggap bentuk penghargaan terhadap ulama. Menurut saya ini tidak sepenuhnya tepat. Dalam sebuah hadis dikatakan, anzil al-nâsa manazilahum (tempatkanlah seseorang sesuai dengan kedudukannya).

Dalam hal ini, komposisi nasionalis-religius, berarti menempatkan ulama pada tempat yang tidak semestinya karena ditempatkan di bawah Pejabat Pemerintah (Wakil). Artinya jika kita pakai sudut pandang lain, justru komposisi ini menempatkan kedudukan ulama di bawah ketiak pejabat. Pada posisi Ra’is ‘Am, Kyai Makruf sebenarnya bisa memberi masukan pada Pemimpin negara tanpa harus menurunkan wibawa keulamaan Kyai Makruf. Itu jika kita betul betul meletakkan ulama pada posisi “pengawal pemerintah”.

Demikian tulisan ini saya buat berdasar perenungan sebagai warga negara Indonesia yang juga berhak mengemukakan pendapat. Tulisan ini dibuat bukan untuk mendiskreditkan salah satu pasangan calon, melainkan hanya sebuah ijtihad pribadi yang saya harapkan bisa membantu pemilih dalam menentukan pilihan pada April mendatang. Jika tulisan ini benar, kebenaran adalah adalah milik Allah semata. Dan jika ada kekeliruan, maka itu dari saya sendiri.

Al-Faqir, Ahmad Wafi Maimoen

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry