“Saya memimpin shalat dengan mulut bergetar, kedinginan. Tapi, saya tidak merasakan kedinginan, mungkin karena tersemangati ribuan jama’ah yang tetap duduk tertib dan terlihat antusias.”
Oleh Moh Ali Aziz
MALAM idul fitri itu (Kamis, 20-4-2023), saya gunakan untuk istirahat dan bersyukur, karena badan tetap sehat dan semua tugas dakwah selama bulan Ramadan di London dan sekitarnya telah tuntas saya kerjakan.
Tinggal satu saja: memimpin shalat dan menyampaikan khutbah idul fitri di halaman Wisma Nusantara, rumah dinas Duta Besar Indonesia di London esok harinya (Jum’at, 21-4-2023).
Malam itu, saya juga merevisi sedikit teks khutbah atas masukan pantia, setelah menerima kiriman teks saya sepekan sebelumnya.
“Ustad, mohon besok membaca surat Ar Rahman, ya?!” bunyi teks WA dari sejumlah jama’ah.
“Insya-Allah, dan saya hanya khutbah selama 10 menit,” jawab saya setelah mengetahui prediksi cuaca, esok hari hujan.
Kapasitas halaman wisma hanya 1.500 orang. Tapi, yang mendaftar melalui online sudah mencapai 1.600 orang dalam sehari dibuka.
Pendaftaran online dilakukan agar jelas berapa yang hadir, berapa tenda dan konsumsi yang dibutuhkan. Pada tahun sebelumnya, semua yang hadir diberi gelang dengan warna khusus. Mereka harus mengambil konsumsi pada tenda sesuai warna gelang pada tangannya.
“Agar tertib, dan jika terjadi keracunan, dapat diketahui dari catering yang mana. Dengan demikian, polisi bisa bertindak cepat dan tepat,” kata salah satu panitia pada idul fitri sebelumnya.
“Masya-Allah, sampai sedetail itu tanggungjawab panitia,” sahut saya heran.
Minat warga Indonesia sungguh di luar dugaan. Peserta shalat idul fitri jauh melebihi kapasitas, padahal pagi itu hujan dan udara dalam tenda sangat dingin.
“Yang bikin amat dingin adalah karpet tempat bapak duduk basah sejak semalam pak,” kata orang yang duduk di sebelah saya.
Saya memimpin shalat dengan mulut yang bergetar karena kedinginan. Tapi, saya tidak merasakan kedinginan lagi ketika berkhutbah. Mungkin karena saya tersemangati ribuan jama’ah yang tetap duduk dengan tertib duduk dan terlihat antusias. Bahkan saya lihat sebagian orang yang tidak bisa masuk tenda, tetap antusias mendengarkan khutbah dengan berpayung.
Sebelum naik mimbar, Pak Dubes memegang jam tangan saya. Saya kira bertanya tentang waktu mulainya khutbah. Ternyata bukan.
“Saya sudah menyediakan jam tangan terbaik untuk kesehatan bapak, sebagaimana jam yang saya pakai ini,” katanya berbisik sambil menunjuk jam tangannya.
Untungnya, di tengah padatnya hadirin itu, pembawa acara pada shalat itu suaranya lantang dengan sisipan humor-humor yang segar.
“Pak Bustanul Rifai ini memang cerdas dan kocak,” kata Prof. Dr. Khoirul Munadi, atase dikbud KBRI yang duduk dalam satu deretan terdepan dengan saya.
Dalam khutbah yang berjudul “Kaya dan Berkarya di Britania Raya” itu saya tekankan dua hal. Pertama, warga Indonesia di Inggris Raya ini harus ikhtiar maksimal menjadi orang kaya. Kedua, mereka harus berkarya besar untuk agama dan bangsa.
Saya mengajak semua hadirin untuk memiliki 4-K, yaitu kaya hati, kaya harta, kaya ilmu, dan kaya wawasan. Dengan kekayaan itu, kita berharap dan yakin, kita bisa berkaya besar untuk kemajuan Islam rahmatan lil alamin di Inggris Raya, dan memberi sumbangsih terbesar untuk kemajuan Indonesia menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Tampilan grup musik pop dan grup ibu-ibu rebana shalawat yang mengiringi makan dan berjabat tangan silaturrahim, serta temu kangen antar jamaah siang itu diakhiri. Sebab, suara azan zuhur terdengar dari tenda tempat shalat.
Usai shalat, hadirin yang tampak puas dengan puluhan jenis masakan Indonesia pulang dengan tertib. Sebagian harus berlelah-lelah menuju kendaraan yang diparkir ratusan meter dari tempat acara. (*)