Alih-alih merumahkan karyawan, apalagi mem-PHK. UMKM santri di Jember ini justru pasang strategi menambah karyawan di saat Covid-19. Hasilnya: Tetap merasakan ‘gurih’ di masa pademi.
————-
PANDEMI Covid-19 membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kelimpungan lantaran mengalami penurunan omzet. Demi mempertahankan usaha, mereka ramai-ramai merumahkan karyawan, bahkan tak sedikit yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Namun Adeeva Group memilih strategi sebaliknya. UMKM yang bergerak di bidang makanan ringan di Jember yang dijalankan couplepreneur itu, justru menambah karyawan karena meyakini kalau rezeki dan kesuksesan juga berasal dari para karyawannya.
“Usaha saya konsepnya padat karya yang melibatkan banyak orang. Saya ingat dawuh kiai, bisa jadi yang saya dapatkan adalah rezeki orang yang bekerja pada saya, dan saya hanya sebagai jembatan rezeki mereka,” tutur Doni Ekasaputra, pemilik Adeeva Grup.
Doni dan istrinya, Nur Hasanah Mahnan begitu mematuhi kiai. Maklum, pasangan ini memiliki basic santri. Pasca lulus dari pesantren, Doni juga sempat mengabdikann diri menjadi pengajar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Melihat Covid-19 pandemi yang tak kunjung selesai, pasangan muda tersebut tak henti melakukan evaluasi dan mencari strategi setelah terpukul wabah global tersebut di awal 2019.
Saat itu Doni dan istrinya harus rela melihat tujuh ton produknya tidak terserap di pasaran, karena pandemi sedang tinggo-tingginya dan terjadi isolasi mandiri besar besaran. Prioritas belanja masyarakat pun beralih ke barang kebutuhan pokok.
“Waktu itu sedang nyetok barang untuk dua bulan ke depan, sekitar tujuh ton senilai Rp350 juta macet tidak bisa ke luar,” katanya.
Terlebih saat Ramadhan, Juni hingga Juli, barang sudah mendekati expired enam bulan. Otomatis agen kita di daerah tak mau mengambil dan supermarket juga menolak.
“Sudah dilakukan diskon besar-besaran juga tidak berhasil. Akhirnya saya bagikan ke masyarakat dan pondok pesantren, karena sebenarnya masih layak konsumsi,” ungkapnya.
Sedihnya lagi, skincare yang baru dirilis sebagai produk baru selain makanan ringan juga terimbas skala prioritas belanja masyarakat. Padahal, perusahaan harus tetap survive, karena para karyawan yang harus dihidupi.
Setelah melakukan evaluasi, Doni dan istrinya menangkap peluang. Saat itu masyarakat sedang berburu produk penguat imun tubuh, khususnya vitamin C. Di sisi lain produk ini sedang langka.
“Alhamdulillah saya memiliki stokis dan agen yang loyal. Mereka meminta kami untuk membuat produk vitamin C. Padahal mereka bisa saja menjual dari produk lain,” kata pria 32 tahun itu.
Merespons keinginan pasar, Doni langsung mendatangkan buah lemon sebanyak lima ton per dua minggu. Semuanya diekstrak menjadi suplemen peningkat imunitas.
Dari strategi ini, dirinya bisa menutup kerugian dari cemilan dan skincare. Dari sini pula dirinya panen penghargaan.
Desember 2020, Dinas Koperasi dan UKM Jatim mengadakan lomba survival strategy di masa pandemi. “Saya ikutkan produk saya yang lemon ini, alhamdulillah terpilih kemudian menjadi juara kategori boga,” kenangnya.
Di hari yang sama, Doni juga menerima pengharaan santripreneur di Jogja. “Sorenya saya juga menerima penghargaan santripreneur skala nasional. Kebetulan acaranya dilakukan secara daring,” tambahnya.
Doni yakin, keberhasilannya bukan karena dirinya tetapi berkat 50 karyawan dan 8 adminnya. “Makanya saat pandemi kami menambah empat admin, menjadi 12 orang untuk pengembangan di online. Ini yang membuat rezeki terbuka, seperti dawuh kiai saya,” katanya.
Selain karyawan dan admin, saat ini dirinya membawahi 477 agen dan 13 stokis. Artinya selama pandemi tidak mau melakukan PHK malah menambah jumlah karyawan.
Sementara itu Kepala Dinas Koperasi dan UKM Jatim, Mas Purnomo Hadi menuturkan, di Jatim terdapat 9,78 Juta pelaku UMKM, 91 persennya adalah pelaku usaha mikro, 3% pelaku usaha kecil, dan 2% pelaku usaha menengah dan besar.
Akibat dari pandemi ini, mau tidak mau para pelaku UMKM juga terkena imbas dengan penurunan omzet usahanya.
“Untuk pelaku usaha mikro mengalami rata-rata penurunan sampai dengan 84%, sedangkan untuk pelaku usaha kecil dan menengah mengalami rata-rata penurunan sampai dengan 85%, itu untuk angka rata-rata seluruh Jatim ya,” ujarnya.
Hadi menuturkan, pada masa pandemi ini pemasaran hasil produksi pelaku UMKM menjadi tidak lancar karena berbagai pembatasan sosial dan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah. Karena itu, Dinas Koperasi dan UKM Jatim berusaha membantu mengatasi masalah tersebut.
“Kami mencoba menge-link-kan dengan marketplace, dengan gapok-gapok untuk mendapatkan bahan baku secara online, penjualan secara online sehingga produksi tetap jalan, bahan baku didapat, dan pasar tetap jalan,” ujarnya.
Namun di tengah penurunan omzet tersebut ada juga secercah harapan, karena sebanyak 59 para pelaku UMKM tersebut masih aktif berproduksi. “Hal itu menjadi contoh bahwa para pelaku UMKM yang mempunyai daya kreativitas, inovasi, dan semangat juang mampu beradaptasi pada masa pandemi ini,” katanya.
Bermodal 200 Ribu
Menuju omzet miliaran, tidak dilalui Doni dan istrinya dengan mudah. Pertama kali, pasangan milenial ini memutuskan untuk merambah dunia usaha pada 2017. Tepat dua tahun setelah dirinya lulus dari Ponpes Salafiyah Syafi’iyah.
Meski telah lulus, Doni tetap mengabdi di pesantren dengan mengajar. Namun dia juga bermimpi untuk bisa membuka usaha sebagai bagian dari kemandirian ekonomi.
Tekadnya membangun usaha tidak hanya untuk kepentingan pribadi. Namun, ada unsur berdakwah. Lulus dari pondok dia diberi wejangan kiainya tiga hal: Mengajar, berdakwah, dan ikut memikirkan ekonomi masyarakat.
Saat itu dia bersama istri berkomitmen mengambil ketiganya. Kebetulan di lingkungan rumahnya masyarakat berada di bawah garis kemiskinan. Ini berdampak pada tingkat keamanan dan kenyamanan. Selain itu, masjid juga tidak telalu banyak orang shalat jamaah karena sibuk bekerja di luar.
“Jika kondisi seperti ini, ceramah saja tidak akan bisa mengubah keadaan,” katanya diikuti senyum.
Pria yang juga aktif mengisi pengajian dan majelis taklim ini akhirnya memilih usaha sebagai bagian dari dakwahnya. Dia menyisihkan uang hasil mengajar untuk memulai usahanya. “Pertama kali modal saya 200 ribu hasil dari mengajar,” cerita Doni.
Dari sini dirinya memulai mencoba memproduksi makanan ringan seperti makaroni pedas dan keripik usus. Lambat lain dirinya bisa memproduksi lima hingga enam kilogram dengan dibungkus plastik diberi stiker. Semua dikerjakan bersama istri dan mertuanya dibantu dua orang tetangga. Saat itu hanya enam orang yang mengerjakan.
Berjalan sekitar delapan bulan, semuanya berubah drastis. Doni mampu memroduski makanan ringan mencapai ukuran ton. Bulan keenam dirinya bahkan sudah bekerja sama dengan PT Wisng untuk pemesanan kemasan, jumlah hingga 177.000 eksemplar sekali pesan.
Dirinya juga beker jasama dengan PT Pos untuk urusan pengiriman. Ini berjalan hingga atu tahun. Karena pemesanan semakin banyak dan pengiriman hanya bisa di-handle kargo.
Tahun pertama usahanya, Adeeva Grup mampu meraup omzet hingga Rp 2,7 miliar dan terus berkembang hingga sekarang. Semuanya dilakukan secara online.
Hasilnya? Masjid mulai dipenuhi para jamaah. “Mungkin karena kebanyakan sudah bekerja di rumah sehingga ibadah juga bisa fokus. Ketika terdengan adzan langsung berangkat ke masjid,” ucap pria kelahiran tahun 1989 ini.
Tak hanya lingkungan sekitar, para stokis dan agennya juga rata-rata ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang untuk berjualan online. Sehingga usaha ini memiliki manfaat yang luas.
“Saya yakin pertolongan luar biasa dari Allah juga karena niat awal yang baik,” tegasnya. Kini, setahun omzet usaha yang dirintis dengan istrinya tersebut mencapai tiga miliar lebih.
Bahkan usahanya juga dilirik program Pemprov Jatim OPOP (One Pesantren One Product).
“Saya akhirnya masuk program OPOP di sociopreneur-nya dan beberapa kali pameran atas nama OPOP. Kami juga di-support Dinas Koperasi Jatim soal itu,” pungkasnya.
Bagi Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, kebersamaan Pemprov Jatim dengan instansi vertikal seperti perwakilan BI Jatim, OJK Kanreg IV dapat menjadi penguat dari kebangkitan dan semangat Koperasi dan UMKM di Jatim.
“Betapa pentingnya backbone ekonomi Jawa Timur ini perlu mendapatkan penguatan di saat kondisi Covid-19 sudah makin terkendali. Apalagi kontribusi UMKM terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Jatim mencapai 57,25%,” ujarnya.
Khofifah juga memaparkan, pertumbuhan ekonomi di Jatim pada semester I Tahun 2021 mencapai 7,05%. Ke depan harapannya perekonomian di Jatim semakin bergerak meningkat dan bisa terdongkrak di triwulan IV Tahun 2021.
“Pergerakan kita di sektor ekonomi, maupun transportasi publik ini mulai bergerak di Bulan September. Dari angka pertumbuhan ekonomi tersebut, tentu diharapkan bisa terdongkrak di triwulan IV. Pasalnya, pada triwulan III terdapat PPKM Darurat pada Bulan Juli dan PPKM Berlevel pada Bulan Agustus,” jelas mantan Mensos itu. (Faizal Falakki)