
Oleh : Nayshilla Aurelia Rayhana Azzahra, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair.
Ketika saya masih kecil, profesi dokter terlihat sangat jauh untuk digapai karena menurut saya kala itu, profesi ini hanya diperuntukkan orang-orang terpilih saja. Menginjakkan kaki di Rumah Sakit Premier Surabaya sebagai seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran, saya memiliki rasa bangga tersendiri karena sudah satu langkah lebih dekat menuju mimpi saya. Pada penugasan kali ini, saya akan memuat beberapa hasil yang saya amati dari dokter-dokter yang sedang bertugas di RS Premier Surabaya.
Yang pertama saya temui ketika masuk melalui pintu rumah sakit adalah ruangan fisioterapi dimana seorang dokter rehabilitasi medis baru saja menemui pasiennya. Sang pasien keluar dengan wajah sumringah sambil menjabat tangan sang dokter. Tampaknya pasien tersebut baru saja menyelesaikan program rehabilitasi kakinya. Setelah berbincang sedikit dengan dokter, ia disambut oleh anak dan istrinya yang menunggu di ruang tunggu lalu menuju pintu keluar.
Dari kejadian ini, saya semakin sadar bahwa profesi dokter sangatlah menarik dan menyenangkan karena kita bisa menggunakan ilmu yang kita miliki untuk mengubah hidup seseorang. Apa yang saya lihat hari itu hanyalah satu dari belasan, hingga mungkin puluhan pasien yang harinya baru saja dibuat lebih baik oleh dokter tersebut karena penanganan yang beliau lakukan.
Namun, ketika saya merenungkan kembali, hal ini hanya dapat tercapai jika sang dokter melakukan komunikasi efektif dengan pasien. Jika sang dokter hanya sebatas melakukan pekerjaannya tanpa melakukan komunikasi efektif, kemungkinan besar pasien tersebut tidak akan puas dengan layanan yang diberikan. Hal ini dapat menyebabkan miskomunikasi antara dokter dan pasien yang dapat sewaktu-waktu mempengaruhi proses penyembuhan dari pasien.
Dari apa yang saya amati, berdasarkan gerak-gerik pasien dan ekspresi wajahnya, saya menyimpulkan bahwa dokter tersebut sudah melakukan pekerjaannya baik dari sisi medis maupun secara penyampaian informasi sehingga pasien tersebut puas.
Setelah saya keluar dari ruang tunggu fisioterapi, saya mengamati seorang dokter yang sedang berbincang dengan perawat sembari menuliskan apa yang saya asumsikan sebagai dokumen post-operative care dari pasien. Dari gerak-gerik dokter dan perawat yang saya lihat, mereka berkomunikasi dua arah sambil mencatat hasil diskusi mereka di secarik kertas yang diletakkan di papan dada.
Setelah saya pikirkan kembali, komunikasi efektif tidak hanya penting antara dokter dan pasien, tetapi juga antar tenaga medis seperti contohnya dokter dan perawat. Dalam kasus ini, komunikasi antara dokter dan perawat penting dalam keperluan arsip rekam medis pasien yang krusial sebagai salah satu bentuk pelayanan tenaga medis terhadap pasien.
Apabila ada miskomunikasi antara dokter dan perawat ataupun komunikasi hanya satu arah, hal ini dapat berdampak terhadap penanganan pasien di masa yang akan datang. Jika ditinjau lebih lanjut, dampak yang paling fatal dapat berupa kematian pasien karena penundaan penanganan ataupun penurunan kualitas perawatan dari tenaga medis. Tentu saja hal ini adalah hal yang ingin saya hindari jika kelak menjadi seorang dokter dengan melatih kemampuan berkomunikasi saya sejak dini.
Memang benar menjadi seorang dokter merupakan tugas yang berat untuk dilakukan. Namun, jika sudah terjun di bidang ini, saya ingin melakukannya dengan sepenuh hati. Dari pengamatan saya hari ini, saya terinspirasi untuk terus meningkatkan kemampuan berkomunikasi saya agar nantinya saya dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien dan juga rekan kerja saya. Hal ini dapat memudahkan saya memberikan penanganan terbaik untuk pasien-pasien saya, dan tidak hanya menjadi seorang dokter yang bekerja substandar tetapi secara maksimal. (*)