KH. Sholahuddin Azmi Mujib Ridlwan Abdullah (kiri baju biru).
“Saya mengajak seluruh nahdliyin untuk menegaskan kembali bahwa jam’iyah yang kita cintai ini adalah benar-benar jam’iyah antirasuah.”

 

Oleh KH. Sholahuddin Azmi Mujib Ridlwan Abdullah, Cucu Salah Satu Pendiri NU, KH. Ridlwan

SEBELUMNYA, saya telah menulis opini bertajuk “Oknum Pengurus PBNU dicekal KPK, Saya Sangat Pilu”. Tulisan itu, berangkat dari keprihatinan saya sebagai salah satu cucu dari pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama dari Surabaya, atas pencekalan KPK untuk bepergian ke luar negeri terhadap 3 orang terperiksa. Dua di antara terperiksa itu, dikenal sebagai pejabat teras di struktur PBNU.

Sudah beredar di kalangan warga NU, KPK sedang menyidik dugaan korupsi kuota haji 2023-2024. KPK telah memeriksa para pihak yang terindikasi bertanggung jawab dan turut serta dalam mengelola penyelenggaraan haji 2024. Bahkan, KPK telah mencekal kepada 3 orang, antara lain; Menteri Agama RI tahun 2020-2024, Gus Yaqut Cholil Qoumas, dikenal sebagai adik Ketua Umum PBNU dan Ketua Satgas Nasional Gerakan Keluarga Mashlahat Nahdlatul Ulama. Kemudian Ketua PBNU, Isfah Abidal Aziz, saat menjabat staf khusus Menag RI dan bos travel Maktour, Fuad Hasan Masyhur.

Keluarga besar Nahdliyin tentu sepakat, menginginkan NU menjadi terdepan penjaga nilai-nilai moral dalam kehidupan bernegara-bangsa. Maka, apabila ada oknum pengurus di jajaran struktural NU melakukan pelanggaran moral, terlebih hukum, tentu akan memicu kegelisahan tersendiri bagi warganya. Setidaknya, mereka dengan cemas bertanya; “Lho, kok bisa ya mereka melakukan, itu?”.

Melihat pengusutan dugaan korupsi haji yang sedang ditangani KPK, saat ini, Nahdliyyin dipaksa mengingat kembali ‘sikap blunder’ Ketua Umum PBNU saat merespon Pansus Angket Haji DPR RI, 2024. Sikap yang tidak patut disampaikan di hadapan publik, apalagi melalui konferensi pers PBNU, dan mencerminkan sikap tidak proporsional. Ketua Umum PBNU, kala itu, menanggapi Pansus Angket Haji sebagai serangan kepada PBNU yang didasari persoalan pribadi.

“Jangan-jangan gara-gara menterinya adik saya, misalnya gitu. Itu kan masalah. Jangan-jangan karena dia sebetulnya yang diincar PBNU, ketua umumnya kebetulan saya, menteri (agama) nya adik saya, lalu diincar karena masalah-masalah alasan pribadi begini,” ujar Ketum PBNU, Gus Yahya C. Staquf, 28 Juli 2024, dalam konferensi pers di hotel Bidakara, Jakarta Selatan.

Oalaah, Gus. kok ngoten sikap njenengan?,” batin saya. Selain blunder, pernyataan Gus Ketum itu, juga terkesan baper (bawa perasaan) yang berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Semestinya, sebagai ketum PBNU, Gus Yahya, tetap bersikap elegan dan mengedepankan paham bahwa NU mempunyai komitmen kuat terhadap pemberantasan tindak pidana rasuah di Indonesia.

Komitmen NU secara kelembagaan ini bukan kaleng-kaleng. Sudah ada sejak Muktamar tahun 1999, di Lirboyo Kediri. Disusul dengan sikap yang sama, berturut-turut; Munas Alim Ulama NU, 2002 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Muktamar NU tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan Solo, Munas Alim Ulama NU, 2006, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Muktamar NU ke-32 di Makassar, 2010, Munas Alim Ulama NU di Pesantren Kempek Cirebon tahun 2012, hingga Muktamar ke-33 NU tahun 2015, di Jombang. Semua rangkaian mekanisme organisasi itu, membahas dan merekomendasi ragam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Maka, jangan kecilkan makna dialektik NU sebagai ormas Islam dalam sikap ‘antirasuah’, hanya gegara oknum-oknum PBNU tersandung hingga terpidana korupsi. Sebagai cucu salah satu pendiri NU, saya minta tolong, “NU jangan dibikin main-main”. Sebaliknya, keharusan bagi Ketua Umum PBNU bersikap tegas -tanpa pandang bulu- kepada SIAPAPUN yang menodai NU dengan aib besar; terjerat kasus extra ordinary crime, seperti korupsi.

Komitmen Nahdlatul Ulama dalam Pemberantasan Korupsi

Berikut adalah komitmen Nahdlatul Ulama sebagai organiasasi keagamaan, yang dalam sikap kelembagaannya konsisten pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sikap resmi itu dituangkan dalam Keputusan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama Nomor : 004/MNU-33/VIII/2015 tentang Rekomendasi Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama Bidang Hukum, yang ditetapkan pada 19 Syawal 1436 H/4 Agustus 2015 dalam sidang pleno Muktamar, di Jombang.

Pembahasan sikap resmi NU ini, nyaris tidak terjadi perselisihan yang tajam dari muktamirin dan disetujui secara mufakat. Berikut kutipannya :

 Tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan yang menimbulkan madharat dalam jangka panjang. NU harus memperkuat garis perjuangan antikorupsi untuk melindungi ulama, jamaah dan organisasinya;

 Melindungi hak rakyat dari kezaliman koruptor; dan mendidik para calon pejabat untuk tidak berdamai dengan korupsi dan pencucian uang;

 Sanksi untuk pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang meliputi sanksi moral, sanksi sosial, pemiskinan, ta’zir, dan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Pemberlakuan hukuman mati sebagai hukuman maksimal mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

 Penyelenggara negara, terutama aparat penegak hukum, yang terlibat tindak pidana korupsi harus diperberat hukumannya;

 Negara harus melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad melawan korupsi. NU menolak praktik kriminalisasi terhadap seluruh pegiat antikorupsi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum harus dapat menegakkan keadilan dan tidak berlaku sewenang-wenang;

 Penegak hukum yang melakukan penanganan terhadap kasus hukum, termasuk kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang, harus melakukannya secara tepat dan cepat, berkeadilan, dan mempunyai kepastian hukum;

 Alim ulama serta seluruh pemuka agama dan tokoh masyarakat wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui pendekatan nilai-nilai dan perilaku antikorupsi.

Membangunkan Keharusan Demi Ukhuwwah Nahdliyyah

Ada peribahasa “nila setitik rusak susu sebelanga”. Sebagai warga NU, kita tidak ingin sifat dan dzat kotor dari segelintir orang, bisa merusak, mengotori, bahkan mencemari lingkungan bersih dan jernih organisasi keagamaan yang suci. Sebelum itu terjadi, kita perlu membangunkan keharusan-keharusan langkah demi menjaga nilai-nilai kemuliaan jam’iyyah.

Tidak masalah. Walaupun menjadi warga NU jelata, namun tidak boleh diam melihat kondisi jam’iyyah yang semakin lama karut marut oleh ulah oknum pengurusnya. Saya mengajak kita semua untuk menegaskan kembali bahwa jam’iyah yang kita cintai ini adalah benar-benar jam’iyah antirasuah. Mari kita desak para pihak yang berkepentingan dalam penegakan anti korupsi untuk melakukan apa yang sudah menjadi tupoksinya? Yakni :

1. Kasus dugaan korupsi haji ini adalah masalah yang sangat serius karena berkait dan berkelindan dengan dimensi spiritual (ubudiyah). Sekaligus, dimensi materialnya berdampak pada kerugian negara, bahkan masyarakat umum. Maka, KPK tidak boleh setengah-setengah mengusut tuntas kasus ini;

2. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dalam proses pengusutannya, baik oleh kelompok atau masyarakat sipil tertentu termasuk dari unsur-unsur kekuasaan. Prinsipnya, “Hukum Harus Ditegakkan Seterang-Terangnya Dan Seadil-Adilnya”;

3. Memastikan ada keadilan hukum bagi publik. Inilah momentumnya bagi pemerintahan Presiden Prabowo yang –konon- pernah berstatemen “akan mengejar para koruptor sampai ke ujung dunia sekali pun”. Pemerintah dalam hal ini, harus membuktikan janji-janjinya dengan political will yang konkret;

4. Meminta kepada PBNU untuk membersihkan NU dari indikasi dan keterlibatan anasir-anasir koruptif, yakni oknum-oknum petinggi PBNU yang terlibat dalam korupsi tambahan kuota dan penyelenggaraan haji, 2023-2024;

5. Memohon kepada segenap jajaran PWNU, PCNU dan PCINU sebagai pemilik suara sah di setiap agenda muktamar untuk mendesak PBNU melakukan percepatan muktamar sesuai ketentuan AD/ART, guna mengembalikan marwah NU sebagai institusi agung penjaga moral di negeri ini;

6. Oleh karena tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan bentuk pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat, maka saya mengajak kepada semua -sesama warga- Nahdliyin untuk membuka mata hati nurani, lantas bersuara –lantang- bersama agar dugaan mega korupsi haji 2023-2024 disikapi dan ditindaklanjuti serius oleh penegak hukum. Jangan ada ‘pengkondisian’, pengaburan atau bentuk pengalihan lain substansi hukum korupsi, karena bangsa ini butuh segera sembuh dari penyakit akut korupsi.

Wallahu A’lamu Bis Showab.
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thorieq

*Al-Faqir adalah KH. Sholahuddin Azmi Mujib Ridlwan Abdullah, Cucu Salah Satu Pendiri NU, KH. Ridlwan Abdullah, di Surabaya.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry