Ficky Septalinda, Anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi

“Politik tidak akan berarti apa-apa jika rakyat masih susah makan.” Pernyataan Bung Karno ini tidak hanya menggambarkan kegelisahan pemimpin besar bangsa terhadap kondisi rakyatnya, tetapi juga menjadi pengingat bahwa pangan bukan hanya soal perut, melainkan menyangkut martabat, kemandirian, dan arah masa depan bangsa.

Di tengah krisis global, perubahan iklim, dan ketimpangan akses pangan yang masih terjadi di berbagai daerah, pemikiran ini terasa semakin relevan—terutama bagi daerah seperti Banyuwangi yang kaya akan sumber daya alam dan potensi agraris, namun belum sepenuhnya berdikari dalam urusan pangan.

Ketahanan pangan kerap disebut dalam berbagai dokumen perencanaan, pidato pejabat, hingga regulasi. Namun dalam praktiknya, pemahaman terhadap konsep ini masih kabur. Banyak yang menyederhanakannya sekadar pada ketersediaan beras atau produksi pertanian.

Padahal, secara teoritis dan dalam kerangka administrasi publik, ketahanan pangan harus dipahami sebagai bagian dari pelayanan dasar publik yang menjadi tanggung jawab negara (dan pemerintah daerah) dalam memastikan kebutuhan warganya terpenuhi secara adil dan berkelanjutan.

Dalam perspektif administrasi publik, pemerintah berfungsi sebagai public service provider, bukan sekadar regulator. Maka dalam isu pangan, negara bukan hanya bertugas menjaga pasokan, tetapi juga memastikan akses, keterjangkauan, keberlanjutan produksi, hingga perlindungan terhadap kelompok rentan seperti petani kecil dan buruh tani.

Pemikiran ini sejalan dengan prinsip-prinsip good governance: partisipasi, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan keadilan sosial. Sayangnya, implementasi kebijakan pangan di tingkat daerah sering tidak memenuhi prinsip tersebut. Ketika perencanaan program dan penganggaran di tingkat kabupaten atau desa tidak berbasis kebutuhan riil masyarakat, apalagi tanpa partisipasi langsung dari pelaku utama seperti petani dan perempuan desa, maka yang terjadi hanyalah top-down policy yang tidak membumi.

Dalam banyak kasus, anggaran ketahanan pangan hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan simbolik—pembagian bibit, pelatihan formalitas, atau proyek fisik yang tidak terintegrasi dalam sistem yang berkelanjutan.

Padahal, dalam kerangka public governance, pelibatan warga negara dalam proses penganggaran adalah kunci untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan diterima publik. Konsep ini dikenal sebagai participatory budgeting, yakni mekanisme di mana masyarakat secara langsung terlibat dalam menyusun prioritas dan arah alokasi anggaran, termasuk dalam sektor pangan.

Melibatkan petani, komunitas lokal, kelompok perempuan, dan pemuda dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) hingga forum-forum tematik di tingkat desa dan kabupaten akan meningkatkan legitimasi kebijakan sekaligus memastikan anggaran benar-benar menyasar kebutuhan mendesak. Partisipasi warga bukan hanya soal menyuarakan aspirasi, tetapi bagian dari upaya memperkuat demokrasi ekonomi dan sosial di tingkat lokal. Di sinilah pentingnya mendorong pendekatan administrasi publik berbasis kebutuhan warga (citizen-centered governance).

Pemerintah daerah harus mampu bertransformasi dari birokrasi yang kaku menjadi institusi yang responsif terhadap kebutuhan konkret masyarakat. Dalam konteks pangan, itu berarti mendengarkan suara petani, pelaku UMKM pangan lokal, komunitas perempuan, dan generasi muda yang mulai banyak terlibat dalam pertanian berkelanjutan.

Pemikiran Bung Karno dalam Trisakti—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—menjadi sangat kontekstual. Berdikari dalam ekonomi berarti mampu menyediakan pangan dari hasil sendiri, dengan sistem yang dikendalikan oleh rakyat, bukan oleh mekanisme pasar global yang sering tidak adil. Inilah semangat yang sejalan dengan teori public value dalam administrasi publik.

Menurut Mark Moore, public value adalah nilai yang diciptakan oleh pemerintah bagi publik—bukan hanya dari sisi efisiensi program, tetapi dari legitimasi demokratis, kebermanfaatan sosial, dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks pangan, nilai publik itu terwujud ketika rakyat merasakan manfaat langsung dari kebijakan: petani terlindungi, konsumen mendapat akses pangan sehat, dan sistem distribusi menguntungkan produsen lokal. Pemerintah yang menciptakan sistem pangan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis lokal sejatinya telah menciptakan public value yang sesungguhnya.

Untuk itu, Banyuwangi perlu membenahi tata kelola pangan daerah secara menyeluruh. Ini dimulai dari penyusunan roadmap ketahanan dan kedaulatan pangan yang konkret, berbasis data dan partisipatif. Pemerintah juga harus memperkuat instrumen kelembagaan seperti regulasi perlindungan lahan pertanian, koperasi pangan, dan BUMDes, serta mengintegrasikan program pangan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD) secara lintas sektor.

Pangan juga perlu dipandang sebagai urusan lintas urusan—bukan hanya tanggung jawab Dinas Pertanian, melainkan juga Dinas Sosial, Pendidikan, Kesehatan, hingga UMKM. Dengan pendekatan whole-of-government yang menjadi prinsip baru dalam administrasi publik modern, Banyuwangi bisa bergerak lebih sistemik, holistik, dan berkelanjutan dalam membangun kemandirian pangan.

Pangan bukan sekadar bahan makanan, tetapi sumber kehidupan, kekuatan ekonomi, dan identitas daerah. Banyuwangi harus mampu membuktikan bahwa dengan tanahnya sendiri, rakyatnya bisa hidup layak dan berdaulat. Jika pembangunan tidak menjamin kecukupan dan kemandirian pangan, maka pembangunan itu patut dipertanyakan tujuannya.

Sudah saatnya Banyuwangi melangkah lebih jauh dari sekadar retorika ketahanan pangan menuju sistem tata kelola pangan yang adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat. Sebab sebagaimana diajarkan Bung Karno dan ditegaskan oleh teori administrasi publik—khususnya melalui prinsip public value dan pelibatan warga dalam penganggaran—pelayanan publik sejati adalah yang menciptakan kesejahteraan nyata, bukan sekadar menghabiskan anggaran.

Ficky Septalinda
Anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry