“Saat banyak aktor yang terlibat sebagai peserta pemilu melakukan segala cara untuk menang, maka, NU dan Muhammadiyah adalah dua ikon penyejuk yang akan selalu merekatkan antarelemen bangsa yang terancam bertikai karena pemilu.”

Oleh: Nur Elya Anggraini*

DALAM beberapa waktu terakhir, sengketa pemilu kian meningkat. Pada tahun 2015, dari 264 daerah yang menggelar Pilkada, jumlah sengketa yang berujung di Mahkamah Konstitusi (MK) 152 perkara (57,5 persen). Pada tahun 2017, dari 101 daerah, jumlah perkara yang masuk ke MK 60 perkara (59 persen). Bagaimana prediksi pada tahun 2018?

Nampaknya dari situasi yang terjadi akhir akhir ini, persoalan pilkada akan kian menguat. Ada beberapa indikator yang menjadi alasan. Pertama, menguatnya trend money politics di dalam masyarakat. Seakan bukan lagi menjadi rahasia, bahwa demokrasi kita adalah demokrasi prabayar. Yakni masyarakat akan menentukan suara dalam pemilu saat dibayar.

Kedua, kian meningkatnya korupsi di kepala daerah. Tingkat korupsi ini memiliki korelasi dengan juga demokrasi yang membutuhkan biaya besar untuk terpilih.

Tertangkapnya Bupati Jombang Nyono Suharli yang dalam pengakuannya (4/2/2018) menerima uang suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti juga diakuinya sebagai ongkos dan modal dari Pilkada.

Dalam rentang beberapa bulan, Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada bulan Maret lalu. Bahkan pada 21 Maret lalu, Wali Kota Malang, Abah Anton ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama dengan 18 anggota DPRD Kota Malang.

Ketiga, menguatnya hoax yang tersebar dalam media sosial. Terdapat oknum yang memang menciptakan situasi yang menyebabkan masyarakat gampang terprovokasi. Terutama yang dikemas dengan agama. Baru baru ini menguat isu tentang partai setan dan partai Allah. Tidak mustahil, menjelang hari H akan semakian banyak lagi berita-berita hoax yang disebarkan dengan buzzer untuk kian memperburuk narasi demokrasi.

Keempat, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu yang rendah. Di Jawa Timur misalnya, mengaca pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim pada tahun 2009 dan 2013, yang dilakukan berkali-kali juga masih juga ditopang oleh tingkat partisipasi yang tidak cukup baik.

Pada tahun 2013 lalu, data Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyebut tingkat partisipasi pemilih dalam Pilgub Jatim hanya mencapai 59,84 persen. Sedangkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat 58,96 persen. Sementara pada tahun 2009 sebelumnya tingkat golput juga sama besar.

Data ini menunjukkan bahwa hampir separuh dari penduduk Jawa Timur melakukan Golput. Saat hak pilih tidak digunakan, maka akan memungkinkan terjadi pelanggaran sistematis yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab, sebagaimana dalam kilas historis Pilgub Jawa Timur yang dilakukan berulang-ulang.

Keadilan Pemilu

Esensi dari rasa adil adalah kepuasan bersama. Tak ada pelanggaran dan setiap paslon serta masyarakat dapat menerima hasil dari pemilu. Rasa keadilan dalam pemilu akan bisa dicapai, apabila Pemilu dapat dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Hanya saja, perlu gerakan bersama untuk dapat mencapai rasa adil tersebut. Adalah gerakan cukup konkret manakala Bawaslu Jawa Timur menggandeng 1500 santri yang tersebar di Jawa Timur untuk memiliki kegiatan yang aktif dalam juga ikut mengawasi berlangsungnya demokrasi di Jawa Timur.

Dalam pemaknaan santri sebagaimana disampaikan Kiai Saifuddin Zuhri, bahwa santri adalah anak rakyat. Lahir dari rakyat, besar dengan rakyat, tahu lebih banyak tentang rakyat, dan nanti akan dikubur bersama dengan rakyat. Pemaknaan sebagai intelektual organik dalam bahasa Antonio Gramsci.

Akan tetapi, santri yang aktif di pesantren dihadapkan dengan ruang geraknya yang belum cukup bebas. Untuk itulah, kekuatan rakyat lain yang kiranya juga menjadi mitra konkret dari Bawaslu penting untuk mengawal pemilu. Caranya?

Pertama, percayakan kepada generasi milenial. Dalam berbagai penelitian, generasi milenial adalah termasuk dalam pemilih cuek. Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Alvara dan CSIS. Akan tetapi tinggal mengajak untuk melibatkan generasi milenial. Lantaran generasi millenal yang terutama masih mahasiswa adalah harapan di tengah berbagai masalah yang ada di Indonesia.

Kata Tan Malaka, Idealisme adalah baju mewah yang dimiliki oleh mahasiswa. Modal idealism inilah yang akan membantu cukup banyak dalam mengawal pemilu.

Kedua, Jalin kerja sama dengan NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini saya kira sebagai penyeimbang daripada keberadaan partai politik yang penuh kepentingan. Dua organisasi ini adalah tempat umat untuk bisa menyandarkan segala harapan dan optimismenya. Saat banyak aktor yang terlibat sebagai peserta pemilu melakukan segala cara untuk menang, maka, NU dan Muhammadiyah adalah dua ikon penyejuk yang akan selalu merekatkan antarelemen bangsa yang terancam bertikai karena pemilu.

Pada akhirnya, keadilan pemilu akan bisa tegak manakala berbagai elemen masyarakat yang tidak mempunyai kepentingan terhadap politik kekuasaan, bergerak aktif untuk sama-sama mengawal pemilu. Karena demokrasi hanya akan menjadi utopia, manakala kecurangan pemilu masih terus berlangsung. Mari bergerak. Lawan pelanggaran pemilu. Selamatkan demokrasi kita. Semoga! (*)

*Nur Elya Anggraini, adalah Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur, mantan Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten Jember, Alumni Pondok Pesantren Syaikhona Kholil 2 Bangkalan.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry