
Dr. Khamida, S.Kep.Ns., M.Kep – Dekan dan Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK)
FENOMENA bullying atau perundungan kini menjadi isu serius yang tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah umum, tetapi juga mulai menyentuh lingkungan pesantren.
Bullying atau perundungan merupakan perilaku agresif yang dilakukan secara berulang dengan tujuan menyakiti atau merendahkan orang lain, dan terjadi dalam situasi yang tidak seimbang kekuatan. Pelaku merasa memiliki kuasa, sementara korban mengalami tekanan, ketakutan, dan bahkan gangguan kesehatan mental
Bullying di pesantren sering kali terjadi dalam bentuk ejekan, pengucilan, kekerasan fisik, maupun intimidasi secara halus seperti tatapan merendahkan atau cibiran. Dalam beberapa kasus, perundungan dilakukan sebagai bentuk “tradisi senioritas” yang dianggap lumrah, padahal hal ini bisa menimbulkan luka psikologis jangka panjang bagi korban.
Akar Permasalahan: Dari Pola Asuh hingga Tekanan Kelompok
Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya bullying. Salah satunya adalah pola asuh permisif di keluarga yang kurang memberikan kehangatan atau kedisiplinan yang tepat. Anak yang terbiasa melihat kekerasan di rumah cenderung meniru perilaku tersebut dalam lingkungan sosialnya.
Selain itu, tekanan teman sebaya (peer pressure) menjadi faktor kuat, terutama pada masa remaja ketika seseorang sedang mencari jati diri. Dalam upaya diterima kelompok, seorang santri bisa terdorong melakukan perundungan terhadap teman lain, meskipun sebenarnya ia tidak nyaman melakukannya
Faktor lainnya adalah pengaruh media massa dan media sosial, yang kerap menampilkan kekerasan sebagai hal yang biasa atau bahkan dianggap “keren”. Meskipun sebagian besar pesantren melarang santri membawa telepon genggam, dan akses internet dibatasi hanya untuk kepentingan pembelajaran dengan pengawasan ustadz atau ustadzah, pengaruh budaya digital tetap dapat masuk melalui berbagai jalur, misalnya dari cerita teman saat pulang ke rumah, atau materi yang diakses saat belajar daring.
Dalam situasi ini, bentuk cyberbullying di pesantren mungkin tidak terjadi langsung melalui media sosial pribadi, tetapi dapat muncul secara tidak langsung, misalnya melalui olok-olokan tentang unggahan media sosial santri lain, penyebaran foto tanpa izin, atau candaan digital di perangkat bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai kesopanan dan tanggung jawab digital (digital ethics) tetap perlu ditanamkan, meskipun lingkungan pesantren sudah berusaha membatasi penggunaan teknologi.
Sebagian besar pesantren sebenarnya sudah memiliki peraturan tertulis tentang kedisiplinan dan etika santri, namun belum semua memiliki panduan yang spesifik tentang pencegahan bullying. Aturan yang ketat terkadang fokus pada ketaatan dan tata tertib, tetapi belum banyak mengatur batas-batas interaksi antar santri, misalnya antara senior dan junior.
Di sisi lain, budaya “diam” dan “tidak melapor” masih kuat, karena santri sering merasa takut dianggap lemah atau tidak sopan bila menegur perilaku teman yang lebih senior.
Dalam hal ini, perlu ada transformasi regulasi pesantren agar tetap menjaga nilai-nilai tradisi, namun juga menyesuaikan diri dengan karakter santri milenial yang lebih kritis dan membutuhkan ruang dialog.
Pesantren dapat menegaskan bahwa disiplin tetap penting, tetapi tidak boleh melanggar martabat dan hak dasar santri sebagai manusia. Langkah kecil seperti menyediakan pojok konseling, kotak aduan rahasia, atau forum santri bisa menjadi awal untuk mencegah perundungan.
Dampak Bullying
Dampak dari bullying tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh pelaku dan saksi.Bagi korban, perundungan dapat menyebabkan depresi, kecemasan, gangguan tidur, kehilangan motivasi belajar, hingga keingina untuk keluar dari pesantren. Beberapa korban bahkan mengalami trauma mendalam yang terbawa hingga dewasa.
Sementara pelaku justru berisiko menjadi individu dengan kurang memiliki empati, sulit menjalin hubungan sosial sehat, dan cenderung mengulang perilaku agresif di masa depan. Bahkan saksi yang menyaksikan bullying pun dapat mengalami rasa bersalah, takut, dan ketidaknyamanan berada di lingkungan yang tidak aman.
Langkah Pencegahan di Pesantren
Upaya mencegah bullying di pesantren harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya menyalahkan individu, tetapi dengan membangun sistem yang suportif dan berkeadilan.
Beberapa langkah yang bisa diterapkan antara lain:
- Edukasi dan penyadaran kepada seluruh santri dan pengasuh tentang apa itu bullying, dampaknya, dan bagaimana mencegahnya.
- Integrasi nilai-nilai agama dalam pembelajaran, menanamkan ajaran tentang kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab terhadap sesama.
- Pembuatan aturan yang tegas mengenai perundungan, disertai sistem pelaporan yang aman bagi korban maupun saksi.
- Pendampingan psikologis dan konseling bagi korban maupun pelaku untuk memulihkan kondisi emosional dan memperbaiki perilaku.
- Keterlibatan orang tua dan keluarga, agar pengasuhan di rumah sejalan dengan nilai-nilai anti kekerasan yang ditanamkan di pesantren.
Kunci utama untuk mencegah perundungan bukan hanya dengan aturan, tetapi melalui penanaman empati dan akhlakul karimah. Santri perlu dibimbing agar memahami bahwa menghormati dan membantu teman adalah bagian dari ibadah dan cerminan iman. Disiplin tetap perlu ditegakkan, tetapi dengan pendekatan kasih sayang dan teladan, bukan kekerasan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis nilai-nilai spiritual memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan berakhlak mulia.
Dengan membangun budaya empati dan kepedulian, pesantren akan melahirkan generasi milenial yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan spiritual, tetapi juga matang secara emosional, tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berdaya, dan peduli terhadap sesamanya, siap menjadi pelopor kebaikan dan kedamaian di tengah masyarakat. *








































