Keterangan gambar bukitgagasan.com

“Jadi, krisis multidimensi, bencana alam dan non-alam  yang terus mendera negeri ini, merupakan bentuk hukuman bagi mengakhiri ketidakadilan dan kezaliman yang nyata,” tambah Ki Ismoyo.”

Oleh: Choirul Anam*

TAHUN 2021 ditegaskan kembali oleh Ki Ismoyo Prabu Depro sebagai tahun punishment. Hukuman bagi siapa saja — terutama penguasa dan pemimpin – yang tidak amanah, yang mendustakan ayat-ayat Allah dan gemar mempertontonkan ketidak-adilan serta kezaliman (baca kembali: Jejak Supernatural (4) dan (9).

“Hukuman pun sudah merupakan ketetapan langit, sebagaimana disampaikan (secara ghaib) oleh Eyang Semar Ismoyojati alias Sabdo Palon di Puncak Tidar, pada 1 Muharram/1 Syura bertepatan pula dengan tahun kembar 20 Agustus 2020,” ujarnya, mantap.

Hukuman bisa dikenali (setidaknya) dengan tiga jenis kejadian. Pertama, terjadi krisis multidemensi dalam pemerintahan. Kedua, terjadi bencana alam susul menyusul akibat kerusakan di bumi. Ketiga, terjadi bencana non-alam yang tak terkendali—termasuk dari Ansor/Banser Abu Janda dan NU Cabang Nasrani.

“Semua itu terjadi di luar kelaziman sebagaimana janji Sang Pencipta: “wal ladziina kadzdzabuu bi aayaatinaa sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun—orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami tarik mereka secara berangsur-angsur (kepada kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui (QS: al-A’raaf:182).”

Jadi, krisis multidimensi, bencana alam dan non-alam  yang terus mendera negeri ini, “merupakan bentuk hukuman bagi mengakhiri ketidak-adilan dan kezaliman yang nyata,” tambah Ki Ismoyo yang (mengaku) kini mendapat tugas berat dari leluhur nusantara—teruatama dari Eyang Sabdo Palon, Eyang Mada dan Bapak Soekarno (demikian hormat Ki Ismoyo saat menyebut Bung Karno).

Apa yang ditegaskan Ki Ismoyo, memang bukan kebenaran ilmiah yang bisa dinalar  intelektual dan rasional. Meski Ki Ismoyo sendiri akademisi bergelar MM dan lama mondok di pesantren, tidak banyak orang yang bisa mengerti hasil terawangannya. Kecuali, mereka yang akrab dengan dunia spiritual dan/atau pejabat yang percaya bahwa di atas tahtanya ada kekuatan ghaib yang membimbing. Mereka inilah yang  menggemari dunia supernatural ini.

Menyenangkan, memang, terutama ketika ikut menyaksikan sendiri pergerakan di “Kamar Suci”—begitu Ki Ismoyo menyebut sebuah ruangan—tempat ratusan poster leluhur nusantara berikut pusaka andalannya, yang seringkali bergerak-gerak memberi tanda akan, sedang dan telah terjadi suatu peristiwa di dunia alam nyata kita.

Krisis multidemensi dalam pemerintahan dan perlunya segera dilakukan penataan Indonesia baru, misalnya, bisa ditangkap Ki Ismoyo melalui pergerakan foto dan patung Bung Karno berikut tongkat komando. “Lalu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar persis pidato Bapak Sekarno, ”ujar Ki Ismoyo.

“Begitu pula soal perintah menyelamatkan Indonesia sekaligus mengembalikan kejayaan nusantara, berasal dari gerakan gambar serta pusaka andalan Eyang Mada (Gajah Mada) berupa batu meteor,” tambahnya. Dst..dst.. yang kesemua foto leluhur nusantara: raja, pandita, ratu, dewa-dewi, auliya’ (wali songo) dan para ulama terkemuka berikut pusaka kesayangannya, yang memberi tanda tejadinya peristiwa, berpadu seirama di dalam “Kamar Suci”.

Believe it or Not. “Ini perspektif supernatural”, ujarnya kepada para tamu. “Apa yang bergerak di ‘Kamar Suci’, juga nyata terjadi di bumi pertiwi ini. Bahkan ketika Bapak Soekarno  menegaskan: saatnya Indonesia direvolusi, bukan reformasi, karena tak ada lagi pemimpin  dan penguasa yang tulus mengabdi pada Ibu Pertiwi, ternyata juga tercermin dalam tata kelola pemerintahan sekarang ini,” ujar Ki Ismoyo sembari mempersilakan melihat sendiri kondisi pemerintahan saat ini.

Diakui atau tidak, pemerintah saat ini dinilai tidak hanya dilanda kesulitan keuangan. Tapi juga tidak bisa dijadikan panutan keteladanan. Rakyat sudah kehilangan trust, karena krisis multidimensi sudah parah. Oknum-oknum penguasa, pejabat, penegak hukum, politisi dan pimpinan parpol, sudah terbiasa bohong dan khianat terhadap negeri dan bangsa sendri.

“Ada “Jargon “revolusi mental” dan seruan “kerja, kerja, kerja”, itu hanya pencitraan untuk menutupi ketidak-mampuan dan kurusakan moral mereka yang sudah parah,” kata Ki Ismoyo dengan nada tinggi.

Coba lihat! Pemerintahan saat ini sudah tampak kedodoran menghadapi kesulitan likuidiatas. Tapi masih saja berlagak aman karena, katanya, dalam video yang viral, Presiden Jokowi masih menyimpan 11 ribu trilun rupiah di saku kirinya. Padahal, faktanya, defisit APBN 2020 hampir 1000 triliun.

Hutang pun menggunung (versi Bank Dunia: Indonesia peringkat ke-6 negara dengan utang terbesar dunia) dan sulit bayar cicilan serta bunganya. Pengangguran menumpuk, pertumbuhan ekonomi minus, dan rakyat pun menjerit. Tapi aneh, presiden masih tetap ingin menjaga citra sebagai “Bapak Infrastruktur” yang berkelas dunia-akhirat.

Dan demi menjaga citra hebatnya itu, lalu dibuatlah alat penutup (topeng) pengalihan isu berupa stigma “Islam radikal, Islam garis keras, Islam agama teroris, intoleran, dan puncaknya, HTI berhasil dilenyapkan. Terbaru, dibuat lagi mantel kotor sekaligus diumumkan dalam bentuk “Gerakan Nasional Wakaf Uang” bersama Wapres Ma’ruf Amin, dan Menkue Sri Mulyani yang mendadak pakai (topeng) kerudung.

Tapi kerudung Yu Sri kemudian dilepas, balik ke asal dengan model rambut pendek berkaca-mata, ketika ia mengumumkan: mulai 1 Februari 2021, pemerintah akan mengenakan pungutan pajak setiap penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucher listrik.

Ekonom senior dan mantan Menko Perekonomian era Gus Dur, Dr. Rizal Ramli, pun mendadak gerah. Pengutan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh) pulsa dan token listrik itu, merupakan bagian dari dampak negatif hutang negara berbunga ketinggian.

“Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, akhirnya kepepet. Menkeu terbaik se-jagat, Sri Mulyani, lalu menekan pajak yang printil-printil. Memajaki rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa,” kata Bang Rizal, Sabtu (30/1/2021).

Karena takut citranya rusak: membebani pajak rakyat kecil yang tengah menjerit, maka grup buzzeRp (piaraan Istana) langsung posting penjelasan Yu Sri. “Tidak ada pajak baru. PMK No. 6 Tahun 2021 yang berlaku mulai 1 Februari 2021 itu, bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan PPn dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik hingga voucher,” ujar Yu Sri “penyederhanaan” bukan pengenaan pajak baru. Sama dengan istilah “bukan ditangkap tapi diamankan”… gitulo bro!

Paradoks memang, bukan hanya pajak pulsa dan token listrik saja yang disasar. Ekonomi Syari’ah (zakat, infaq, shadaqah, simpanan haji dan wakaf) yang merupakan harta privat umat Islam, yang mestinya dikelola umat sendiri dan mandiri, juga diintervensi secara ugal-ugalan.

Sementara di sisi lain, Islam dihajar dengan berbagai fitnahan, dilebeli radikal, distigma agama teroris, dianggap pendatang baru yang arogan, dan setiap hari umat Islam dihina habis-habisan buzzeRp dengan kadrun-kadrun sebebas tingkah lakunya.

Kelompok kritis yang menyoal, langsung ditangkapi. Ulamanya dikriminalisasi, imam masjidnya diteror orang sinting. Habib Rizieq Shihab (HRS), yang ingin membuktikan masih adanya kebenaran dan keadilan di negeri ini, justru didenda dan dikurung.

Pengawalnya (6 pemuda bumi putra) dibunuh. Ormas binaannya (FPI) dibubarkan, sejumlah mantan pengurus inti FPI, KH. Sabri Lubis dkk, kini diperiksa ketat polisi dan (kabarnya ditahan Bareskrim Polri dan dikait-kaitkan dengan teroris ISIS).

Semua rekening bank terkait FPI dan HRS diblokir. Pesantren HRS pun yang dibangun di atas tanah pembelian yang sah dan telah pula diwakafkan untuk kepentingan belajar-mengajar generasi umat Islam, diancam dibolduzer. Bahkan dicari-carikan pasal pelanggaran, misalnya: menyerobot tanah negara, hanya agar polisi bisa mengurung HRS seumur hidup. Bukankah semua itu tindakan semena-mena, tidak berkeadilan dan zalim?

Yang terang, kata bapak akal sehat Rocky Gerung, semua perlakuan kejam yang ditimpakan kepada umat Islam, terutama HRS dan sejumlah pengurus FPI itu, hanya karena satu sebab, yakni karena HRS simbol tokoh kritis tapi tidak mempan disuap. Lalu direkayasa, dipersalahkan melanggar prokes karena membuat kerumunan “Maulid Nabi”. Sedangkan kerumunan yang sama, yang dilakukan para pendukung rezim, tidak dikenakan sanksi apa-apa, adilkah?

Mana ada keadilan di era sekarang bro? Dalam hal kebebasan berpendapat saja, misalnya, dibanding dengan zaman Orba, kini jauh lebih otoriter dan kejam membungkam suara kritis, dengan menggunakan polisi dan buzzer kebal hukum serta bebas bertingkah semaunya.

Adalah begawan ekonomi Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator bidang Ekonomi dan Industri era Presiden Gus Dur, yang merasa diganggu buzzer Istana dan sangat prihatin terhadap kondisi kebebasan berpendapat saat ini.

Melalui akun Twitter @kiangiekwik, Sabtu (6/2/2021) pukul 12.20 wib, Pak Kwik mengaku takut mengemukan pendapat yang berbeda (dengan pemerintah) saat ini. Pasalnya, selain takut diganggu para pendengung dan buzzer di medsos yang bebas mengumbar masalah peribadi, juga Pak Kwik merasa lebih nyaman dan enak berpendapat di zaman Presiden Soeharto.

Beda jauh…bro! Di zaman Presiden Soeharto, Pak Kwik malah diberi kolom di sebuah harian nasional untuk mengajukan kritik-kritik tajam, tanpa ada masalah yang muncul setelahnya. Sekarang, di era Jokowi? “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Zaman Pak Harto, saya diberikan kolom sangat longgar. Kritik-kritik tajam, tidak sekali pun ada masalah,” tulis Pak Kwik membandingkan  era Jokowi yang (dinilai) lebih otoriter dan sangat kejam terhadap kelompok kritis.

Orang baru menyampaikan kritik membangun soal hutang negara yang menggunung, “langsung di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi pun diodal-adil.” I’m with Pak Kwik, sambut mantan Menteri Kelautan Jokowi, Susi Pudjiastuti yang merasakan hal sama dengan Kwik, lewat Twitter @susipudjiastuti.

Sudah sedemikian kejam perlakuannya terhadap umat Islam, pemerintah masih saja mengintervensi ekonomi umat (syari’ah) dengan menyeru agar melakukan “Gerakan Nasional Wakaf Uang Tunai” yang, kata Yu Sri, untuk membangun infrastruktur.

Alasan lain, bukan karena pemerintah kesulitan likuiditas. Melainkan, seperti kata Jokowi, agar harta umat Islam tidak hanya berfungsi ibadah saja, tapi juga sosial, coba! Umat Islam yang mana lagi yang mau dikadali bro!

 Makanya, wajar jika belakangan ini beredar meme: “Seratus ribu rakyat terinfeksi Covid-19, pemerintah Inggris langsung minta maaf. Satu juta lebih rakyat terkena Covid-19, pemerintah Indonesia malah minta wakaf.”

Rakyat juga masih ingat: “Ketika kampanye berjanji mewakafkan diri untuk rakyat, saat menjabat minta wakaf pada rakyat”. Para menterinya pun, meniru bosnya. Bukannya fokus mengendalikan Covid-19, tapi malah sibuk bikin gaduh, dan membuat aturan buat “mencekik rakyat”.

Darurat Korupsi

Ironi lain, di saat “raja utang” kesulitan keuangan, bahkan ada yang menyebut sudah pada tingkat debt overhang (hutang sudah menumpuk dan tak mampu lagi menarik utang baru) dan debt stress/crisis (kehilangan kemampuan bayar utang karena pendapatan jauh lebih kecil dari pengeluaran dalam jangka waktu lama), ternyata, korupsi justru berkobar-kobar. Para penguasa, pengusaha Cina, politisi, pejabat sekaligus penjahat negara, justru bancaan uang rakyat. Sampai ada tokoh akademisi yang menjuluki  “Indonesia Darurat Korupsi”.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia 2020 anjlok (tiga poin) dari tahun 2019 yang mendapat skor 40 melorot pada skor 37. Turunnya skor IPK membuat peringkat Indonesia turun jeblok dari posisi 85 ke 102 dari 180 negera terkorup di dunia. Korupsi Indonesia tercatat pada tingkat yang sama dengan Gambia.

IPK atau CPI ini, sebagaimana disiarkan banyak media awal Februari 2021 lalu, dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 artinya terkorup, sedangkan 100 berarti paling bersih. Peringkat pertama negara bebas korupsi adalah Denmark dan Selandia Baru dengan skor CPI 88. Sedangkan negara dengan skor CPI terendah adalah Somalia, Sudan Selatan, Syiria, Yaman dan Venezuela.

Indonesia memang bukan skor terendah dalam IPK, tapi juga bukan skor baik apalagi terbaik. Tidak perlu terlalu jauh menilai berapa besar uang rakyat yang digondol lari pengusaha singkek beberapa waktu lalu. Tengok saja bancaan uang yang, belakangan ini viral, seperti korupsi simpanan rakyat di PT. Jiwasraya yang diduga ditelan sebesar Rp 16,8 T, di PT. Asabri Rp 17 T dan di BPJS Buruh Rp 43 T. Belum lagi korupsi di  Bumiputra, Pelindo, Garuda, PT. DI, Bibit Benur dan juga korupsi hak wong cilik, Bansos, yang diduga melibatkan “anak Pak Lurah dan Madam PDIP” yang gemar mengusung jargon “Partai Wong Cilik”.

Apakah mereka akan diusut tuntas, atau malah dilindungi?  Faktanya, para koruptor ketawa-ketiwi. Pemerintah malah sibuk bikin aturan pajak baru yang, kita Bang Rizal Ramli, printil-printil untuk “mencekik” rakyat yang menjerit akibat Covid. Bukan hanya menggaruk wakaf dan harta privat (syari’ah) umat lainnya, tapi juga memajaki yang aneh-aneh, hingga beredar meme bergambar Yu Sri Mulyani dengan captions: “mulai 1 Februari 2021 istri kedua, ketiga dan ke empat dikenai pajak progresif”.

Nah, jadi, uang rakyat dikorup, rakyatnya ditekan dengan aneka macam pajak, dan ekonomi umat Islam “dirampok”. Sementara, Islam “dikuyo-kuyo” dilebeli radikal, agama teroris, intoleran, dianggap arogan oleh Ansor/Banser/NU Abu Janda, dan ulamanya, tokoh-tokoh kritisnya dikriminalisasi. Musibah apa lagi yang akan didatangkan oleh penguasa negeri ini bro!

“Apa saja yang dilakukan penguasa di tahun 2021 ini, justru membuktikan kegagalannya dan semakin membuat rakyat menderita. Akal sehat penguasa sudah dicabut oleh Sang Pencipta, tinggal akal sesatnya. Pemerintah semakin kepepet, dan tinggal menunggu keajaiban,” ujar Ki Ismoyo sembari menambahkan bahwa semua yang terjadi sudah merupakan kehendak langit, dan tidak satupun kejadian di muka bumi ini yang terjadi secara kebetulan. Tapi mereka (pemimpin dan penguasa zalim) tetap saja tidak menyadari.

Krisis Alam

Belum lagi menghadapi krisis kedua, yakni krisis alam. Kondisi SDA kita sudah rusak parah akibat pengelolaannya melawan Sunnatullah. Bumi, langit, gunung, air dan angin sudah marah dan akan terus menyerbu susul menyusul guna mengakhiri kezaliman dan ketidak-adilan. Ingat al-Qur’an sudah menegaskan: “wa lillaahi junuudus samaawaati wal ardhi—dan kepunyaan Allah tentara yang ada di langit dan di bumi.” Kalau Allah sudah perintahkan bergerak, tak satu pun penguasa yang mampu menahannya, Dan itu akan terus terjadi bertubi-tubi dalam 2021 ini.

“Coba lihat catatan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Berapa banyak bencana yang terjadi dalam bulan Januari 2021 saja.  Itu pun tidak lazim. Mengapa? Karena, bencana yang susul menyusul itu, memang didatangkan oleh pemimpin/penguasa tidak amanah, yang gemar mempertontonkan ketidak-adilan dan kezalimannya terhadap rakyat dan wali-wali Allah,”kata Ki Ismoyo sambil menunjuk taushiyah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) “jika wali-wali Allah—termasuk HRS—disakiti, Allah sendiri yang menabuh genderang perang” .

BNPB mencatat bencana alam di tanah air, sejak tanggal 1 hingga 28 Januari 2021, pukul 15.00 wib, sebanyak 236 kejadian. Dari 236 peristiwa itu, bencana hedrometeorologi (banjir, longsor dan puting beliung) masih mendominasi. Banjir sebanyak 151 kejadian, tanah longsor 38 kejadian, puting beliung 36, gelombang panas 5 kejadian, gempa bumi 5 dan Karhutla 1 kejadian.

Bencana alam bertubi-tubi hampir sebulan itu, telah menyebabkan 1.522.590 jiwa mengungsi, 193 meninggal, 10 orang hilang, dan 3.655 luka-luka. Menyebabkan 21.322 rumah rusak parah, 74 fasilitas pendidikan hancur, 24 fasilitas peribadatan rusak, 13 fasilitas kesehatan berantakan, 4  kantor rusak  dan infrastruktur (25 jembatan) rusak parah. “Itu baru sebulan di awal tahun 2021 ini, belum bulan berikut dan berikutnya lagi. Karenanya, masyarakat harus terus waspada, karena bencana alam ini akan semakin mengganas,” ujar Ki Ismoyo sembari menambahkan harus pula siap menghadapi wabah baru, virus Nipah yang sekarang menyerang Cina.

Belum lagi menghadapi guncangan krisis ketiga, yakni bencana non-alam. Getarannya lebih dahsyat dari bencana alam yang terus mendera negeri ini. Pusat getaran bencana non-alam ini pun, sudah diketaui episentrumnya terletak di lingkaran Istana Kepresidanan; memancar kepada para buzzer dan influincer yang pelihara, dan;  digerakkan pula oleh parpol serta ormas, di antaranya Banteng moncong putih, oknum Ansor dan NU, sebagai pendukungnya.

Dari lingkaran Istana, telah banyak diproduksi Perpres, Perppu, dan revisi UU serta kebijakan lain berkolaborasi dengan DPR, yang menuai protes keras dan demo rakyat. Dinilai  melanggar konstitusi, berpihak pada oligharki kapitalis dan taipan komunis, membahayakan kedaulatan negara dan bangsa. Tapi tak pernah digubris, apa lagi didengar. Malah ditambah kegaduhan lain, seperti misalnya, rencana kudeta gagal terhadap Partai Demokrat oleh kakak pembina, Jenderal (KSP) Moeldoko. Kudeta yang mendapat restu para “dewa” itu, kemudian menimbulkan getaran kegaduhan seantero nusantara.

Tokoh Papua, Christ Wamea, lalu mencari jawaban di akun medsos @PutraWadapi, Rabu (3/2/2021), terkait kudeta Jenderal (KSP) terhadap Mayor Partai Demokrat yang gagal: apakah memang hobi atau kecelakaan?

“Selama 6 tahun kakak pembina (Moeldoko) dan buzzernya beropini di ruang publik, bahwa pembuat gaduh negeri ini adalah HTI & FPI yang akhirnya (keduanya) berhasil dibubarkan,” ujarnya.

Tapi nyatanya, setelah HTI dan FPI dbubarkan, kegaduhan tidak juga kunjung usai. “Kenyataanya, sampai hari ini masih terus gaduh,” tambah Christ sambil mencermati: siapa sesungguhnya pakar pembuat gaduh negeri ini, yang kemudian dijawab sendiri: “Ternyata tukang bikin gaduh bangsa ini adalah kakak pembina (Moeldoko) dan para buzzer peliharaannya”.

SKB 3 Menteri

Bukan hanya Jenderal (KSP) Moeldoko saja yang terkesan hobi bikin gaduh. Terbaru, terbit kegaduhan lagi berupa Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 M), yang berpotensi mengubah “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29, UUD 1945” menjadi negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan negara.

SKB 3 M (Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Makarim dan Menag Yaqut Cholil Qoumas), yang, tentunya, mendapat perintah dari Presiden Jokowi, telah mengeluarkan ultimatum: 30 hari setelah terbit SKB 3 M, Pemda dan Sekolah Negeri harus sudah mencabut aturan, yang mewajibkan atau melarang muridnya mengenakan seragam beratribut agama.

Artinya, karena (tiga menteri) tak ada kerjaan, maka seragam sekolah pun dikerjai. Benar kata mantan Mendikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh, hanya karena kejadian sepele di sebuah sekolah (lokal) di Medan yang, katanya, mewajibkan siswi non-muslim mengenakan jilbab, yang mestinya bisa diselesaikan dengan sangat sederhana, misalnya dengan memanggil kepala dinas, malah diangkat menjadi isu nasional intoleran dengan menerbitkan SKB 3 M yang justru berpotensi melanggar UUD 1945 dan Pancasila. Memangnya “gak ada kerjaaan”, kata Prof. Nuh.

Dunia pendidikan pun geger. Selain dinilai tidak lazim dan menyimpang dari konstitusi maupun tujuan pendidikan nasional, SKB 3 M kayaknya (lagi-lagi) hanya untuk menyudutkan dan membuat gaduh umat Islam. Karena, faktanya, selama ini hampir seluruh dunia pendidikan dasar dan menengah negeri maupun swasta, yang mayoritas anak didiknya muslim, telah memberlakukan aturan sekaligus mendidik siswanya untuk taat dan patuh pada ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian khas agama siswa—seperti keharusan mengenakan jilbab bagi siswa muslimah, misalnya.

Mendidik siswa agar patuh dan taat terhadap ajaran agamanya—termasuk mengenakan seragam berjilbab bagi siswi muslimah, itu merupakan perintah agama sekaligus upaya pengamalan Pancasila. “Lha kok SKB 3 M malah melarang sekaligus mengubah arah “negara berdasar Ketuhanan YME” menjadi negara sekuler,” kata Kepala Sekolah Menengah Negeri yang tak mau disebutkan namanya karena takut ditangkap polisi.

Kalau tujuan SKB 3 M hanya untuk membuat kegaduhan agar rakayat dan umat Islam lupa pada “kejahatan korupsi yang merajalela”, lupa terhadap kekejaman penguasa terhadap Islam, dan “pembunuhan biadab terhadap 6 pemuda bumi putra pengawal HRS”, jangan harap SKB 3 M bisa berhasil. Karena rakyat—terutama umat Islam—sudah tidak bisa lagi melupakan perlakuan kejam yang diderita selama ini.

Bencana non-alam ini, rupanya, memang diskenario sedemikian rapi oleh lingkaran kekuasaan untuk membungkam suara kritis dan gejolak masyarakat. Ketika tokoh Papua, mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, mengkritisi pelanggaran HAM berat di Papua dan kebijakan yang terus menyudutkan Islam, Ketum Relawan Pro-Jokma (Jokowi-Ma’ruf), Ambroncius Nababan, langsung mengunggah hinaan bernuansa rasis berupa gambar Gorila disandingkan dengan foto Pigai, lalu disambar cepat Abu Janda dengan unggahan sudah terjadi evolusi.

Abu Janda sendiri yang, konon jadi panutan mendadak Ansor/Banser/NU, terkenal kebal hukum dan bebas bertingkah hingga menghina Islam “agama pendatang baru yang arogan”. Warga nahdliyin pun sempat gegeran dan ger-geran. Seperti tak pernah terjadi suatu masalah dengan tingkah Abu Janda. Bahkan ada banyak pula  yang membelanya.

Lalu disusul lagi pernyataan joke Ketum PBNU Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj tentang “NU Cabang Nasrani”, dan meminta polisi “untuk membersihkan masjid-masjid BUMN dari paham radikalisme”, saat ia menerima kunjungan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowa, di kantor PBNU, Kamis (28/1/2021). Jauh sebelumnya, PDI-P menggotong RUU HIP dan disahkan DPR, untuk mengganti Pancasila dengan pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

Semua “becana non-alam” yang bersumber dari lingkaran kekuasaan, para buzzer Istana, dan parpol serta ormas pendukung rezim berkuasa itu, terbukti membuat gaduh bangsa dan negeri ini, dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal. Ada apa sebenarnya dengan rezim berkuasa ini?

“Masih banyak persoalan yang perlu diketahui publik. Tapi karana keterbatasan ruang dan waktu, sebaiknya kita diskusikan pada edisi berikutnya,” pinta Ki Ismoyo. Tentu lebih dahsyat, karena tinggal memilih: hidup atau mati, diam atau lebur. Para “satrio piningit” dan para “patriot bangsa” harus cepat menangkap tanda-tanda zaman: mana yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara.

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKNU (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry