Menag Lukman Hakim Saifuddin (IST)
Menag Lukman Hakim Saifuddin (IST)

JAKARTA | duta.co Isu sertifikasi khatib ibadah salat Jumat menggelinding liar. Menag akhirnya mengklarifikasi isu tersebut. Yang benar adalah standarisasi salat Jumat, bukan sertifikasi khatib Jumat. Apa bedanya?

Banyak kritik dan masukan berbagai pihak yang ditujukan kepada Menteri Agama Lukman Hakim terkait isu sertifikasi khatib meski kemudian Kemenag membantah telah menggulirkan program itu. Sebagian besar tidak setuju.  Tak terkecuali “Ulama Pengasuh Pesantren dan Tokoh Madura”.

Dalam suratnya tertanggal 7 Februari 2017 yang juga diterima Duta Masyarakat, Selasa (7/2) kemarin, ulama dan tokoh Madura memprotes program sertifikasi dai dan khatib oleh pemerintah. Menurut mereka, program itu lebih banyak negatifnya daripada positifnya.

Mereka juga menyebutkan dua dampak negatif bila program sertifikasi dai dan khatib dijalankan pemerintah. Pertama,  pemasungan ulama/dai dalam berdakwah dan bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, dai/khatib/kiai yang tidak bersertifikat tidak bisa melakukan tugas dakwahnya.

“Karena itu, kami para ulama dan tokoh Madura menolak rencana tersebut oleh pemerintah,” tulis surat yang juga ditembuskan ke Presiden RI, pimpinan DPR RI, dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Standarisasi Bukan Sertifikasi

Entah surat itu sudah sampai di meja Menag atau belum, Menag Lukman Hakim  Saifuddin, kemarin, yang pasti menyampaikan klarifikasi seputar isu sertifikasi khatib. Menag  menegaskan, tidak ada keinginan pemerintah mensertifikasi ulama. Menurut dia, hal yang ingin dilakukan adalah standarisasi terhadap khatib salat Jumat.

“Jadi ada keresahan dari sebagian umat Islam yang risau dengan khotbah Jumat yang berisi hal provokatif. Sebab khotbah yang harusnya menyampaikan ajakan dan nasihat untuk bertakwa, ternyata diisi dengan hal yang sifatnya memecah belah,” kata Lukman di Jakarta.

Berdasarkan masukan dari masyarakat, beberapa pihak kemudian meminta pemerintah menyikapi fenomena itu. Lukman mengatakan, sebagai Menag, ia tak bisa diam dan kemudian mengundang wakil MUI, ormas Islam, serta akademisi untuk duduk bersama dan menyikapi hal itu.

“Dari kajian itu kemudian muncul wacana tentang standarisasi, bukan sertifikasi. Tujuannya adalah memberikan batasan minimal apa sesungguhnya kompetensi kualifikasi yang harus dimiliki khotib dalam menyampaikan khotbah Jumat,” katanya menambahkan.

Menurut Menag, publik perlu mengetahui bahwa khotbah Jumat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah salat Jumat. “Khotbah Jumat punya tata cara, syarat, dan rukun sendiri yang kalau tidak terpenuhi bisa membatalkan keabsahannya. Sehingga ini perlu betul-betul dijaga semata agar tidak mengurangi atau menghilangkan rukun dari khotbah Jumat ini,” katanya.

Polisi Tak Urusi Khotbah

Menag Lukman juga menegaskan, polisi tidak akan mengurusi khotbah karena sebaiknya Indonesia pada masa kini tidak kembali ke masa lampau, saat ceramah salat Jumat diawasi sangat ketat.

“Soal Polda Jatim terkait khotbah Jumat itu mereka dalam rangka agar memiliki daftar sejumlah kiai sehingga ketika ingin mengundang lalu memudahkan,” kata Lukman.

Lukman mengatakan, jika kepolisian ingin mendapatkan informasi tentang biodata ulama sebaiknya cukup meminta data dari Kemenag, karena Kemenag memiliki data tersebut. Apabila polisi turut serta dalam standardisasi khatib Jumat, maka dapat memicu kecurigaan masyarakat mengenai intervensi pemerintah.

Lukman menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan intervensi dalam proses standardisasi itu. Proses standardisasi itu akan dikelola oleh ulama dan ormas Islam. Sementara pemerintah akan menjadi pihak yang membantu administrasi atau dengan kata lain sebagai fasilitator.

“Kami tidak ada keinginan mengintervensi dan kami bukan yang paling mengerti. Ini adalah domain ulama, kami umara sebagai fasilitator,” katanya.

Menag Lukman mengatakan, hal yang tidak kalah penting dari standardisasi khatib Jumat adalah adanya pedoman bersama terkait acuan khatib Jumat. Pedoman itu nantinya akan menjadi acuan bagi para khatib agar khutbah yang disampaikan tidak memicu perpecahan bangsa.”Khutbah seharusnya berisi ajakan bertakwa bukan justru diisi hal-hal yang dapat memecah belah, menjelek-jelekkan nama orang tertentu dan membuat keresahan,” kata dia.

Muhammadiyah Siap

Sebelumnya, Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Muhammadiyah Muhammad Ziyad mengatakan, pihaknya sudah ada kualifikasi-kualifikasi dalam menyampaikan materi khotbah. “Jadi, tidak bisa sembarang orang khotbah,” katanya kepada Republika, Rabu (1/2) lalu.

Ziyad menuturkan, sejumlah kualifikasi yang sudah jelas ada seperti memahami Islam, akidah, ahklak ataupun muamalah dinaqiyah. Malah, kata dia, Muhammadiyah di dalam tabloid-tabloid Jumat sudah membuat suatu panduan terhadap khatib salat Jumat.

Selain itu, di dalam tabloid-tabloid Muhammadiyah terdapat satu suplemen khusus yang cukup penting, karena menjelaskan materi khotbah Jumat. Hal itu bertujuan bisa dikonsumsi semua dai-dai Muhammadiyah di seluruh Indonesia. “Itu dengan harapan bisa dikonsumsi seluruh dai di pelosok Tanah Air dan memberikan update (perkembangan) pengetahuan,” ujar Ziyad.

Karena itu, dia menegaskan, kesiapan Muhammadiyah untuk melakukan standarisasi khatib, jika memang pemerintah sudah memutuskan. Menurut Ziyad, standarisasi khatib sudah bisa dilakukan apabila pemerintah atau secara khusus Kementerian Agama, sudah melakukan dialog atau komunikasi dengan Ormas-Ormas Islam. hud, ud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry