JAKARTA | duta.co — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Habib Jindan bin Novel bertemu di Kantor Kementerian Agama, Jakarta. Keduanya mendiskusikan pentingnya penguatan Islam wasathiyah atau moderat di Indonesia.

Menurut Habib Jindan, para ulama, da’i, ustadz, harus kembali kepada fungsi semestinya. “Kembali ke arah moderat,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (05/04/2018).

Menag dan Habib Jindan mendiskusikan rencana kerjasama dalam pembinaan para da’i dan ustadz agar turut mengembangkan Islam Moderat. Menurut Habib Jindan, ada empat ribuan da’i dan ustadz yang mengadakan pertemuan berkala membahas perkembangan dakwah dan tugas-tugas ke depan.

“Dan kita ingin bekerjasama dengan Kemenag untuk menjalankan misi ini. Sehingga, kita para ulama, dapat bekerjasama dengan umara dengan wilayah masing-masing,” tutur Habib Jindan.

Menag Lukman menyambut baik dan mendukung ide Habib Jindan. “Cocok sekali dengan apa yang dikembangkan oleh Kementerian Agama. Prinsipnya, kita di Kementerian Agama, sangat mendukung,” ungkap Menag.

Seturut dengan itu, Menag menjelaskan, Kementerian Agama juga tengah mengembangkan Ma’had Aly. Lembaga pendidikan keagamaan tinggi Islam ini mengembangkan program studi khusus keagamaan, misalnya tafsir, hadist, dan lainnya. Dari Ma’had Aly, diharapkan lahir para ulama, kiai yang menguasai secara mendalam khazanah keislaman yang spesifik“(jika tidak demikian) kita khawatir, ke depan kita akan kehabisan ulama seperti antum,” jelas Menag.

Hadir mendampingi Menag, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi  Mastuki, serta Kepala Bagian TU Pimpinan Khoirul Huda.

Di sisi lain, Kementerian Agama tengah menggencarkan kampanye Islam Moderat di Indonesia melalui kampus. Staf Ahli Menteri Agama Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi Oman Fathurahman  mendorong Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk menyuarakan karakter Islam Indonesia dalam riset dan tulisan ilmiah.

“Penting bagi civitas akademika di kampus-kampus PTKIN untuk menyuarakan dan mempromosikan karakter Islam Indonesia yang moderat dalam bentuk-bentuk riset, tulisan ilmiah, serta aktifitas akademik lainnya,” tegas Oman saat menjadi Keynote Speech pada “The 1st International Conference on Islamic Civilization (ICOIC)”, yang digelar Faculty of Adab and Humanities UIN Sunan Gunung Djati Bandung di Bandung, Kamis (05/04).

Seminar ini diikuti oleh para dosen dan peneliti di berbagai kampus. Tampil sebagai narasumber, Prof. Dr. H. Agus Salim Mansyur, M.Pd. (UIN SGD Bandung), Prof. Dr. Sulasman, M.Hum (UIN SGD Bandung), Dr. Kevin W. Fogg (Oxford University), Dr. Azhar Ibrahim Alwee  (NUS, Singapore), dan Dr. Abdulaziz Abbachi (MIU, Iran).

Menurut Oman, salah satu ciri moderasi Islam Indonesia adalah kemampuannya berdialog dengan berbagai keragaman tradisi, budaya, dan agama di Indonesia. Dalam konteks tradisi intelektual Islam, adaptasi dan interaksi Islam dengan keragaman Indonesia itu telah turut melahirkan kekayaan sumber primer berupa teks-teks tulisan tangan (manuscripts), yang menjadi bagian penting dari peradaban Islam (islamic civilization) Indonesia, dan bahkan dunia.

“Promosi Islam Indonesia dengan karakternya yang khas tersebut tidak cukup dilakukan di Indonesia sendiri, melainkan harus menjangkau masyarakat akademik global, dan itu hanya dapat dilakukan, jika civitas akademika PTKIN melakukan riset yang baik serta menuliskan dan mempublikasikannya dalam Bahasa internasional, khususnya Inggris dan Arab,” terangnya.

Oman menilai, saat ini studi-studi tentang moderasi Islam Indonesia belum menjadi bagian integral dari arus utama kesarjanaan kajian Islam (Islamic scholarship) global. Menurutnya, dalam kesempatan diskusi dengan Prof. Natana Delong-Bas, President of American Council for the Study of Islamic Societies, di Boston College, Boston, Amerika, awal Maret 2018 lalu, terungkap bahwa ada gap pengetahuan yang cukup besar di kalangan mahasiswa jurusan Islamic studies di kampus tersebut.

“Mereka lebih mengenal peradaban Islam di Arab, Iran, Turki, dan Afrika, ketimbang peradaban Islam di Indonesia atau Asia Tenggara,” ujarnya.

Menurut Oman, ada dua solusi yang harus dilakukan civitas akademika PTKIN dalam kampanya Islam Indonesia yang moderat. Pertama, memperkuat riset dan publikasi internasional terkait peradaban Islam Indonesia, termasuk riset dan publikasi ilmiah kajian Islam yang berbasis pada teks (text-based Islamic studies).

Kedua,  melakukan kerjasama internasional untuk memperjuangkan agar Bahasa Indonesia/Melayu dijadikan sebagai salah satu Bahasa pilihan di kampus-kampus di luar Negeri yang menyelenggarakan kajian Islam. Dengan demikian, mereka lebih mengenal lagi kekhasan dan keunikan peradaban Islam Indonesia melalui bacaan berbahasa Indonesia, demi untuk melengkapi pengetahuan mereka tentang peradaban Islam Arab, Turki, Iran, Afrika, dan lainnya.

“Promosi Islam Indonesia ke dunia akademik internasional perlu dilakukan dengan satu modal keyakinan bahwa Indonesia adalah Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, plus sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga yang sukses menyandingkan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi,” tuturnya.

“Meski di Indonesia terdapat ribuan etnis, ratusan Bahasa, serta ragam agama dan kepercayaan, namun terbukti bahwa secara umum harmoni tertap terjaga,” sambungnya.

Untuk mewujudkan misi promosi Islam Indonesia dalam konteks perguruan tinggi Islam tersebut, Oman menilai kampus PTKIN harus dapat menjadi pusat strategis kajian Islam dan masyarakat yang menyelenggarakan riset-riset berciri khas, bermutu, mengedepankan masing-masing kearifan lokalnya, serta mempublikasikannya dalam bentuk karya-karya ilmiah.

“Kementerian Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, kini tengah mempersiapkan berdirinya Universitas Islam Internaisonal Indonesia (UIII), yang diproyeksikan untuk menjadi corong promosi peradaban Islam Indonesia melalui jalur pendidikan tinggi Islam, ke dunia internasional,” tandasnya.  (kmg)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry