“Menjadi aneh, jika rintisan perjuangan Gus Dur saat ini kemudian dicela, dijadikan bahan kambing hitam untuk memperoleh simpati dalam muktamar oleh mereka yang mengaku sebagai pengagumnya.”
Oleh : Dr H Ahmad Fahrur Rozi*
MENUJU perhelatan muktamar NU ke 34 di Lampung, entah kenapa tiba-tiba nyaring terdengar kasak kusuk tentang Yahudi dan Israel. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba muncul statement seorang tokoh usai keluar dari istana tentang sikapnya yang tegas menolak pergi ke Israel.
Cuplikan pidato dan aneka statement berseliweran di WAG dan media sosial lainnya. Kekhawatiran aliran dana asing mengobok-obok muktamar melengkapi serangkaian tudingan miring kepada Gus Yahya, salah kandidat terkuat calon Ketum PBNU sebagai kawan Israel.
Penulis melihat tudingan itu terkesan absurd dan kedaluwarsa, karena Gus Yahya hanyalah penerus perjuangan Gus Dur.
Bukankah jauh sebelumnya, Gus Dur sudah dekat dengan Israel? Gus Dur pernah menjadi anggota The Peres Center for Peace and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan oleh bekas presiden Israel Shimon Peres, pada awal 1990-an. Lalu pada 1994, ia diundang oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Dan surat kabar Haaretz di Israel telah menyematkan julukan pada presiden Abdurrahman Wahid sebagai “A Friend of Israel in the Islamic World” lewat judul sebuah wawancara pada tahun 2004.
Gus Dur memang unik. Ia seorang tokoh Islam yang memimpin ormas Islam terbesar di dunia, lahir dan dibesarkan dari keluarga kiai, pemimpin pondok pesantren tradisional pendiri NU. Meski demikian, ia jauh dari stereotipe bahwa pemimpin Islam harus memusuhi Israel. Sebaliknya, ia dikenal dekat dengan Israel.
Bahkan jika ditarik kisah lebih jauh lagi, pergumulan Gus Dur dengan orang-orang Yahudi telah terjadi ketika dia mengenyam pendidikan di Baghdad, Irak. Pada 1966, Gus Dur berkesempatan belajar di Universitas Baghdad, setelah sebelumnya batal menamatkan pendidikan di Mesir.
Di sana, Gus Dur berteman dengan seorang Yahudi dari komunitas Yahudi-Irak bernama Ramin. Dari Ramin, Gus Dur mendalami garis politik, budaya, dan ekonomi Yahudi. Satu hal yang membuat Gus Dur penasaran adalah bagaimana cara Yahudi bisa mempengaruhi elite Amerika hingga kini. Gus Dur melihat Yahudi sebagai kekuatan besar yang mesti dipertimbangkan.
“Kita mesti belajar dari semangat orang-orang Yahudi,” kata Gus Dur sebagaimana diceritakan oleh Mahfudz Ridwan, dalam ‘Satu Jam Lebih Dekat’ dengan 11 Tokoh Paling Inspiratif di Indonesia (2010).
Tentunya Gus Dur bukan tidak tahu bagaimana penderitaan rakyat Palestina. Ia paham benar konflik yang terjadi di sana, karena pernah tinggal di timur tengah dalam waktu lama. Justru karena itu, pada saat ia menjadi presiden, Gus Dur mewacanakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel, jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya, upaya kekerasan hanya terus menorehkan luka berdarah.
Djohan Effendi menceritakan dalam bukunya ‘Damai Bersama Gus Dur’ (2012) bahwa Gus Dur tersentuh hatinya ketika berkunjung ke Israel dan menemui rakyat di kedua kubu yang bertikai. Ia bertemu dengan orang Yahudi dan warga Palestina, yang Islam maupun Kristen. Kedua pihak sebenarnya menginginkan perdamaian. Mereka mengatakan pada Gus Dur, “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang tahu persis apa makna damai.”
Dari situlah Gus Dur mulai mewacanakan perlunya win-win solution bagi Palestina dan Israel.
Inilah yang kemudian menjadi landasan kebijakan PBNU masa Gus Dur dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Solusi moderat ini memang terkesan mendua dan kurang tegas bagi kalangan ‘Islam Keras’ yang, lantang menyuarakan Israel harus enyah sama sekali dari tanah Palestina.
Namun, dengan pertimbangan realitas politik dan faktor kemanusiaan mencegah terjadinya pertumpahan darah, Gus Dur lebih memilih jalan tengah untuk perdamaian dengan diplomasi bukan konfrontasi, dan terbukti langkah Gusdur itu telah dipilih oleh banyak negara arab muslim yang mulai membuka hubungan dengan Israel pada saat ini.
Meneruskan jejak Gus Dur, dengan pembawaan yang kalem, tenang, dan runut Gus Yahya menjawab pertanyaan-pertanyaan Rabi David Rosen, sang moderator kegiatan diskusi yang diprakarsai oleh American Jewish Committee (AJC) Global Forum di Yerusalem.
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan bahwa kedatangannya ke israel merupakan upaya memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina. “Saya berdiri di sini untuk Palestina, saya berdiri di sini atas dasar bahwa kita semua harus menghormati kedaulatan Palestina sebagai negara merdeka,” tegas Gus Yahya sebagaimana dikutip media NU online 11/06/2018.
Selamanya NU akan selalu bersama palestina, sejak Gus Dur memimpin NU pada 1984, isu Palestina sudah mendapat porsi perhatian besar di tubuh kaum nahdiyin. Bahkan Sebelum menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Dur sudah dikenal sebagai salah satu tokoh Indonesia yang aktif menyuarakan isu-isu pembebasan Palestina. Acara pembacaan puisi di TIM pada 1982 yang digagas Gus Dur adalah salah satu buktinya. Kesan pro-Palestina Gus Dur memang agak tertutupi oleh langkah-langkah kontroversialnya yang memicu tuduhan bahwa ia pro-Israel. Tapi itu tidak pernah mengurangi sedikit pun solidaritas Gus Dur terhadap Palestina, Gusdur punya cara sendiri untuk membela rakyat Palestina.
Perjuangan Gus Dur untuk Palestina sudah dirintis dengan baik, dipahami oleh warga nahdliyyin dan kini diteruskan oleh Gus Yahya sebagai kadernya. Tentu menjadi hal yang aneh, jika rintisan perjuangan Gus Dur saat ini kemudian dicela dan dijadikan bahan kambing hitam untuk memperoleh simpati dalam muktamar oleh mereka yang mengaku sebagai pengagumnya. (*)
Banyuwangi, 7 Nopember 2021.
*Dr H Ahmad Fahrur Rozi adalah pengasuh pondok pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Ketua Yayasan IAI Al Qolam , wakil ketua PWNU Jatim, wakil sekjen DP MUI.