Ana Abdillah, Direktur WCC Jombang.

Keamanan dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender sering dipahami dengan berbagai konotasi, seperti kebebasan bertindak, ketenangan, kewaspadaan, perlindungan privasi, dan kehati-hatian, termasuk aspek digital dan psikososial. Keamanan tidak hanya mencakup dimensi fisik, tetapi juga melibatkan perlindungan dalam ranah digital dan psikososial, serta kestabilan finansial yang turut mempengaruhi keseluruhan konsep keamanan.

Misalnya, seorang perempuan yang memilih berjalan di jalanan ramai daripada yang sepi, mencerminkan strategi bertahan dalam menjaga keamanan. Setiap individu memiliki cara sendiri dalam merencanakan strategi untuk menjaga keselamatan.

Dengan pesatnya perkembangan dunia digital, kemajuan teknologi membawa banyak manfaat, seperti mempermudah komunikasi, mempercepat akses informasi, dan meningkatkan peluang ekonomi. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pula tantangan baru yang lebih kompleks, salah satunya adalah kekerasan seksual berbasis elektronik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dan platform digital, perilaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual, juga semakin banyak terjadi di dunia maya.

Hal ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih jelas bagi korban. Sebagai respons terhadap fenomena ini, Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur dengan tegas dalam Pasal 14 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak :

1. Melakukan perekeman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual diluar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar tangkapan layar.
2. Mentransmisikan informasi dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual diluar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau.
3. Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan system elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Data 3 tahun terakhir (2021 -2023) sebanyak 74 kasus kekerasan berbasis elektronik didampingi WCC Jombang terdiri dari Ancaman Distribusi Konten Intim (melicious distribution), Pendekatan Untuk Memperdaya (cyber grooming), Rekrutmen Online (online recruitment), Pelecehan Online(cyber harassment), Konten Ilegal (illegal content).

Namun, sayangnya, langkah pendampingan kasus tersebut menemui berbagai hambatan khususnya dalam upaya penyelesaian proses hukum. WCC Jombang mencatat sepanjang 2024 ada 112 kasus kekerasan berbasis gender, sebanyak 56 kasus adalah kekerasan seksual, dan sebanyak 11 kasus kekerasan seksual adalah berbasis elektronik yang di tangani unit tindak pidana tertentu total 1 kasus dan 4 kasus ditangani oleh Unit PPA Polres Jombang, sementara 6 diantaranya memilih tidak berproses hukum.

Pelaku Kekerasan sering kali memanipulasi korban dengan menciptakan rasa nyaman, sehingga korban tanpa sadar mengikuti permintaan pelaku. Hambatan utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik meliputi minimnya alat bukti yang dapat mendukung proses hukum, karena sering kali pelaku menggunakan akun palsu atau teknologi untuk menyembunyikan identitas mereka. Selain itu, rendahnya tingkat literasi digital di kalangan korban dan masyarakat juga menjadi tantangan, membuat mereka kesulitan dalam memahami cara melindungi diri dan melaporkan tindak kekerasan. Kurangnya pemahaman tentang keamanan digital juga menyebabkan korban sulit mengidentifikasi dan mengatasi ancaman sebelum terjadi. Proses hukum yang rumit dan lambat, serta keterbatasan sumber daya dalam mendalami bukti digital, semakin memperburuk upaya pendampingan dan penyelesaian kasus ini.

Pentingnya Mengubah Mitos Keamanan Digital

Untuk membangun budaya yang sadar terhadap keamanan, penting untuk menghilangkan mitos tentang keamanan digital yang sering berkembang, seperti “keamanan digital itu sulit”, “perlu perangkat canggih”, “keamanan digital mahal”, atau anggapan bahwa “aku tidak terlalu aktif di internet, jadi itu tidak penting bagiku”. Padahal, keamanan digital bukan hanya soal perangkat, melainkan soal strategi yang dapat dikembangkan setiap individu. Dalam konteks penanganan kekerasan berbasis gender, keamanan digital menjadi sangat penting, karena setiap orang, terutama perempuan, berpotensi menjadi korban serangan digital, baik dari pihak asing maupun sesama warga negara. Setiap individu memiliki kontrol atas data pribadi yang tidak boleh dikendalikan oleh orang lain. Serangan digital dapat menimbulkan dampak nyata, sama seperti kekerasan fisik, yang dapat memengaruhi keselamatan dan kesejahteraan seseorang.

Dalam konteks pendampingan kelompok rentan, keamanan terhadap kebebasan berekspresi menjadi perhatian utama bagi aktivis, terutama dalam menentukan cara mengkurasi ekspresi dan standar kemanfaatan saat mengkampanyekan isu di ruang digital. Hal ini disebabkan oleh berbagai ancaman yang sering dihadapi oleh aktivis, termasuk ancaman kekerasan berbasis gender yang semakin marak di dunia maya. Aktivis yang berjuang untuk hak-hak perempuan dan kelompok rentan sering kali harus mempertimbangkan risiko serangan digital dan pelecehan, yang dapat menghambat perjuangan mereka dalam menciptakan perubahan sosial.

Keamanan digital dan resiliensi menjadi kunci utama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender online, yang semakin kompleks dengan pesatnya perkembangan teknologi. Penting untuk mengatasi mitos tentang keamanan digital yang menghambat pemahaman dan penguatan strategi perlindungan, serta mengedepankan kesadaran kolektif dan proaktif dalam menjaga privasi dan data pribadi. Di tengah meningkatnya ancaman seperti kekerasan seksual berbasis elektronik, doxing, dan sextortion, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi bagi aktivis juga menjadi tantangan besar. Agar strategi keamanan ini efektif, dibutuhkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan literasi digital, dukungan lingkungan positif, dan kesadaran bahwa keamanan bukanlah jaminan permanen, melainkan usaha berkelanjutan yang harus dilakukan bersama untuk melindungi individu dan kelompok rentan dalam dunia digital yang penuh ancaman.

Oleh : Ana Abdillah / Direktur Woman’s Crisis Center (WCC) Jombang/advokat

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry